KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SOCIO-CULTURAL CAPITAL UNTUK MENANGKAL GERAKAN TERORISME DI INDONESIA
Oleh
I Made Pageh
Abstrak
Terorisme merupakan kejahatan
kemanusiaan yang bisa mengancurkan eksistensi Negara Indonesia. Faktornya sangat
kompleks, antara lain faktor modal sosial- budaya
fundamentalisme agama. Oleh karena itu, penanganan terorisme tidak
hanya bersifat
kuratif, tetapi memerlukan tindakan prepentif yaitu pelembagan ideologi Pancasila dan ideologi lokal yang ada pada komunitas enik di nusantara. Ideologi lokal merupakan social capital local genius yang sering tampak diaktualisasikan dalam kearifan lokal. Dua social
capital dilakukan secara sinergis sehingga
penanggulangan terorisme dan penyelamatan negara yang berbasis ideologi Pancasila menjadi memiliki fundamental kuat.
Kata-kata kunci: terorisme, ideologi Pancasila, kearifan lokal, modal social budaya
Abstract
Terorism is a human criminal
that could destroy the existance of Indonesian state. Its causes are very complex factors, such a socio-culture religion fundamentalism. That is why the
prevention of terorism is not only on its curative but also
preventive action, its need an
institusionalisation of ideology Pancasila and local ideology that is growing up
on an etnic community
in Indonesia. Local ideology is a socio-cultural capital from local genius that is often actualized on local
wisdom. On this way, there will be a sinergy approach in preventing terorism. For
that nation
state on ideology Pancasila will be stronger.
Keywords: terorism, ideology, local wisdom, cultural capital.
1.
Pendahuluan
Kehidupan
komunitas
di Indonesia, pada dasarnya berada
pada berbagai masalah sosial-budaya. Terlihat
pada eksistensi bangsa Indonesia
yang tidak henti-hentinya terjebak
pada tumpukan
masalah antara lain
terorisme, yang dikait-kaitkan dengan penganut islam garis
keras. Penanggulangan terorisme amat
penting, karena menyangkut bangsa sendiri, cara kekerasan yang digunakannnya, dan juga akibat yang ditimbulkannya. Bangsa selalu
merasa takut dan tidak
aman .
Rasa aman masalah yang sangat mendasar
karena rasa aman adalah kebutuhan dasar manusia. Atau sebagaimana dikemukakan
Haryatmoko (2003: 165) berbicara tentang terorisme memang secara mudah
memunculkan silang pendapat – ada yang mendukung, baik secara terbuka maupun
secara diam-diam atau sebaliknya, ada
pula yang mengecamnya. Kenyataan yang harus disadari bahwa “... fakta menunjukkan telah terjadi
kekerasan yang meninggalkan korban. Kebanyakan korban tidak bersalah dan dalam
posisi lemah. Mereka adalah korban kekerasan politik” (Haryatmoko, 2003: 165).
Masalah
ini dialami masyarakat Bali, ketika
Bom Bali 1 dan 2 terjadi di Bali
Selatan, rasa takut terjadi di seluruh Indonesia bahkan dunia pariwisata di
manapun berada. Peristiwa ini mengakibatkan
terjadi banyak korban jiwa, sehingga memunculkan trauma mendalam yang kemudian
memunculkan penguatan
etnosentrisme dan xenophobia di Bali. Karena itu, tidak
mengherankan jika negara mengambil kebijakan dalam mengatasi terorisme dengan menggunakan berbagai modal
yang dimilikinya, baik secara preventif maupun kuratif,
hasilnya terlihat belum maksimal, karena menyangkut bangsa
sendiri, dan dari penganut agama terbesar di Indonesia.
Artikel ini
mencoba menawarkan gagsan mengenai berbagai kemungkinan pendekatan dengan memanfaatkan kearifan lokal yang merupakan modal sosio-budaya sebagai
salah satu alternatif dalam menanggulangi terorisme. Sasarannya, tercipta
masyarakat Indonesia yang melek
literasi sosio-kultural,
“... mewujudkan yang utopis menjadi emperis, dari gagasan menjadi aksi konkrit” (cf. Saifuddin, 2011: 36).
Sosio-kultural
sebagai teks ideal (teoretis), bentuk, isi, dan maknanya amat kompleks. Berkenaan dengan itu, artikel ini lebih berkonsentrasi
memaparkan bagian dari sosial-kebudayaan sebagai pemaknaan kenyataan yang idealis berupa local wisdom. Topik
ini berpotensi menjadikan manusia
sebagai makhluk yang arif-bijaksana. Teori postmodernisme, sangat ganderung untuk memberikan ruang bagi narasi lokalitas, termasuk kearifan lokal di dunia timur,
untuk menyumbangkan munculnya narasi
pluralistik pada dunia akademik khususnya cultural studies
(Piliang, 2011).
2.
Pembahasan
Makna Terorisme
Masalah
terorisme berdimensi sangat luas dan kompleks, baik dilihat dari latar belakang kemunculan
(motif, tujuan, sistem nilai atau ideologi yang ada di baliknya), dimensi
historis atau aspek prosesual maupun implikasi bagi kehidupan masyarakat maupun
negara. Karena itu, menyebabkan pemaknaan terorisme menjadi sangat
beragaman. Belum terhitung lagi adanya perbedaan sudut padang di kalangan para
pakar yang melihatnya sehingga menambah keragaman pengertian terorisme (Hendropriyono,
2009; Permata, 2006; Laqueur, 2005). Bahkan, di kalangan para pelakunya, teror bisa
saja dimaknai sebagai hasil pilihan rasional dalam mengatasi berbagai rintangan
guna mewujudkan tujuan politik yang
diidealkan (Crenshaw, 2003; Bandura, 2003).
Gagasan l Permata (2006), memberikan makna
pada penekanan tipikal dari suatu
tindakan social-budaya yang bisa disebut terorisme, yakni: pertama, penggunaan budaya
kekerasan, yakni tindakan yang mengakibatkan kerusakan
baik fisik maupun psikologis. Kedua,
sasaran rakyat
sipil yang tidak bersenjata (non
combatant). Ketiga, tindakan
social-budaya yang memiliki
tujuan politis. Keempat, tindakan
social-budaya local ditujukan
kepada audiens yang internasional atau lebih luas dari sasarannya sendiri. Misalnya Bom Kuta yang takut Turis
internasional dimanapun dia berada.
Dari uraian di atas kalai dianalisis
dapat dikatakan bahwa terorisme menyatu dengan kekerasan,
kekerasan adalah alat teror,
korbannya rakyat sipil tidak bersenjata, kejadiannya lokal atau nasional,
sasarannya internasional, dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut, rasa
tidak aman, sehingga terwujud tujuan politiknya. Saifuddin (2011: 78-79) menunjukkan bahwa
teror bisa dipilahkan menjadi dua sebagai berikut. (1)
teror ekstrim keras (hard form) dengan
pengemboman yang dapat menimbulkan kepanikan dan ketakutan yang sangat
kuat.
Penyerangan tempat ibadah orang lain yang dianggap sesat
juga dapat dimasukkan ke dalam ekstrim ini. (2) Bentuk teror ektrim lunak (soft form),
dalam bentuk sosio-kulturaldesas-desus,
gosip-gosip, dan ancaman yang berusaha melemahkan hingga melumpuhkan mental
warga masyarakat tertentu (Saifuddin, 2011: 78-79).
Bangsa
Indonesia sering mengaitkan pelaku teror dengan kelompok radikalis-fundamentalis, yakni orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk
memaksakan gagasan dalam sebuah perubahan yang mendasar, mengakar,
dan menyeluruh dengan menghancurkan tatanan yang sudah ada mengganti dengan
gagasannya. Kaum radikal
dapat mengunakan teror ektrim keras maupun lunak secara bersamaan atau secara
bergantian guna mewujudkan tujuan yang diinginkan. Pencapaian tujuan ideal membutuhkan aktor disebut
teroris. Berkenaan dengan itu teroris
menarik dikemukakan dalam karya Pranowo (2011: 7) bahwa “hampir semua pelaku bom bunuh
diri adalah orang-orang yang menderita problem psikologis karena kebodohan,
penggangguran, teralienasi di masyarakat, dan hidup di dalam lingkungan sosial-budaya yang tidak benar/rusak”.
Pada
masyarakat informasi dewasa ini, kehancuran dan kematian yang ditimbulkan oleh
sebuah aksi teror yang tergolong ke dalam teror ekstrim keras secara mudah
tersebar lewat berbagai media sehingga secara cepat menjadi sebuah tanda (sign) dan citra (image). Akibatnya, timbul efek
ketakutan, kengerian, dan trauma yang semakin meluas jangkauan pengaruhnya. Di
dalam wujud citranya, aksi teror kini menjadi sebuah totonan global. Tujuan
utama terorisme memang bukanlah kehancuran atau kematian itu sendiri, melainkan
bagaimana kehancuran dan kematian tersebut menjadi sebuah penggung totonan –
lewat media cetak, elektronika atau digital. Semakin luas diseminasi aksi teror
yang dilakukan lewat media massa, maka semakin massal pula orang yang melihat
dan ketakutan, atau kengerian
(Piliang, 2003) yang menjadikan tujuan teroris sukses
melakukan teror.
Makna Kearifan Lokal
Kompleksitas masalah
terorisme dengan sendirinya membutuhkan berbagai cara untuk menanggulanginya. Salah
satu cara yang bisa digunakan adalah memanfaatkan kapital budaya dalam bentuk kearifan
lokal, baik yang berkembang dalam suatu komunitas
maupun negara. Adapun hakikat kearifan lokal, baik yang menyangkut asal-usul maupun substansinya dapat dilihat
pada Bagan 1.
Dengan berpegang pada
Bagan 1, dapat dikemukakan bahwa berbicara tentang kearifan lokal, tidak bisa
dilepaskan dari hakikat manusia sebagai makhluk individu yang berkedudukan
sebagai agen atau aktor dalam sistem
sosial – manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu
maupun makhluk sosial, dalam bertindak selalu terikat pada ruang (lokalitas,
ekosistem atau ekologi sebagai panggungnya) dan waktu (Giddens, 2005) - dalam budaya Bali disebut desa
(lokalitas, ruang) dan kala
(waktu, sejarah) (Atmadja, 1998). Ruang
sebagai panggung yang berwujud alam fisikal,
tidak saja dihuni oleh makhluk bio-sekala – makhluk hidup yang
nampak (rasional empirik), tetapi juga makhluk bio-niskala – makhluk hidup
yang tidak nampak, misalnya dewa dan
berbagai makhluk supernatural lainnya (bersifat nonrasional dan nonempirik).
Bagan 1
Hakikat kearifan lokal dilihat dari segi
substansi proses kelahirannya
Agama/ Budaya Agama
|
Aktor dalam Sistem Sosial-Budaya
|
Ruang, situasi waktu (Desa Kala Patra)
|
Ideologi
|
Teks
lokal
|
Local wisdom
|
Pengetahuan pengalaman
yang dihasilkan manusia dengan menggunakan potensinya - cipta, rasa, dan karsa atau manah, buddhi, kesadaran, dan
ketubuhan secara berdialektika seperti terlihat pada Bagan 1 adalah berbentuk
narasi.
narasi dapat dilihat sebagai wacana (narrative
discourse), yang di dalam aktor-aktor yang terlibat membangun sebuah cerita
dunia, berdasarkan pemahaman, pengetahuan, keyakinan dan ideologinya
masing-masing. Narasi menghasilkan cerita-cerita kehidupan yang beraneka ragam,
karena keanekaragaman gagasan, logika, dan pemaknaan masing-masing (Piliang,
2011: 480).
Narasi merupakan konsep sentral peradaban, baik sebagai
cara merepresentasikan, memahami, memaknai maupun melakoni dunia kehidupan. Ada
begitu banyak cara memahami dunia, baik secara sosial, politik ekonomi,
kultural, dan spiritual. Sehingga ada begitu banyak narasi: mitos, legenda,
dongeng, hikayat, novella, epik, sejarah, tragedi, drama, komedi,
lukisan, sinema, komik, percakapan (Piliang, 2003: 480-481).
Pada
Bagan 1 interaksi sosial-budaya ada dalam kondisi meruang dan mewaktu tidak bisa dilepaskan dari ideologi,
yakni “... aliran pemikiran yang terkait dengan pembentukan ide
dan kesadaran. Pembentukan
gagasan-gagasan tersebut maknanya dipacu realitas dari luar” (Haryatmoko, 2003:
13). Makna
ideology yang tidak jauh
berbeda dikemukakan oleh Takwin (2003: 10) yang menyatakan bahwa ideologi
adalah seperangkat ide tentang berbagai hal yang didapat manusia dari
pengalaman serta tertata dalam benak untuk kemudian membentuk kesadaran yang
mempengaruhi tingkah laku. Para penganut gagasan seperti ini lazim disebut
kelompok aliran empirisme-realis.
Berdasarkan gagasan aliran
empirisme-realis maka dapat disimpulkan bahwa ideologi pada dasarnya adalah narasi. Namun, tidak
semua narasi bisa disebut ideologi. Narasi sebagai ideologi bersifat khusus,
yakni membentuk kesadaran sebagaimana tercermin pada tingkah laku manusia dalam
sistem sosial-budaya. Bahkan
ada yang menyatakan, bahwa ideologi tidak sekedar membentuk kesadaran,
melainkan sepenuhnya menentukan tindakan manusia. Di
sisi lain ideologi dimaknai
sebagai resep tindakan
social-budaya manusia, baik dalam
kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Bagan 1 menunjukkan bahwa, selain
ideologi, manusia mengenal pula agama sebagai teks ideal bagi tindakan mereka
dalam kehidupan bermasyarakat. Agama pada dasarnya adalah narasi, namun bukan
ciptaan manusia, melainkan terberi oleh Tuhan dalam bentuk kitab suci. Agama
bisa menjadi ideologi, yakni difungsikan sebagai kerangka penafsiran religius
terhadap hubungan sosial (Haryatmoko, 2003: 64-65). Agama dan ideologi sebagai narasi, bisa
dipakai dasar untuk memahami realitas guna menghasilkan suatu narasi.
Dengan mengacu kepada
Piliang (2011: 483) narasi bisa berwujud
narasi kecil atau narasi lokal, yakni cerita tentang dunia lokal yang
dibentuk oleh institusi-institusi lokal,
berdasarkan nilai-nilai yang unik, dan mengacu kepada aturan-aturan main
yang bersifat partikular dan indigeneous. Sebagaimana terlihat pada Bagan di
atas, narasi kecil sebagai cerita
tentang dunia lokal bisa berwujud kearifan lokal. Menurut Rahyono (2009: 8) kearifan lokal
merupakan butir-butir kecerdasan atau kebijaksanaan “lokal
asli” yang dihasilkan oleh social-budaya masyarakat. Dalam konteks ini kata asli tentu tidak
bermakna ketertutupan – asli dalam arti tidak terpengaruh oleh kebudayaan dari
luar, melainkan bermuatan keterbukaan -
ada kemungkinan unsur budaya yang berasal dari luar yang disertai dengan
local genius dan berhibridasi di dalamnya atau
mimikri (Bhabha, dalam Martono 2011).
Pembentukan narasi kecil berwujud kearifan lokal bisa
melibatkan kecerdasan yang kreatif dan inovatif yang dimiliki oleh suatu
komunitas lokal. Hal ini dipadukan dengan olah cipta, rasa, dan karsa atau olah manah, buddhi, kesadaran, dan
daya indrawiah untuk menyeleksi dan sekaligus
mengolah unsur-unsur kebudayaan dari luar, dipadukan dengan unsur-unsur
kebudayaan dari dalam, guna menghasilkan
suatu ciptaan baru yang unik dan asli, karena
berbeda daripada apa yang ada pada pihak yang membawa kebudayaan tersebut
(Soebadio (1986: 23). Mulder (199: 4-5) menggunakan istilah
lokalisasi. Lokalisasi mengacu kepada inisiatif dan sumbangan-sumbangan
masyarakat lokal sebagai jawaban dan pertanggung jawaban atas suatu pertemuan
budaya.
Narasi
besar mencakup berbagai ide yang dianut oleh negara-negara di dunia, misalnya
berwujud agama-agama dunia, yakni Islam, Hindu, Buddha, Yahudi, Katolik,
Protestan. Bentuk lainnya berbagai gagasan yang dianut oleh Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya (negara pusat), misalnya
bidang filsafat ( (rasionalisme, logosentrisme), politik (imperialisme, liberalisme), ekonomi
(kapitalisme global, pasar bebas), dan kebudayaan (modernisme, globalisasi
budaya, patriarki). Aneka gagasan yang dianut oleh Amerika Serikat menghegemoni
negera-negara pinggiran, termasuk di dalamnya Indonesia. Sebaliknya, narasi
kecil atau narasi lokal sebagaimana dipaparkan di atas, mengacu pada cerita
tentang dunia sosial dan alam biofisik yang
berkembang pada suatu lokalitas.
Jika dilihat posisi
Indonesia dalam masyarakat dunia dia menjadi pendukung narasi besar, maka narasi yang berkembang di
Indonesia, termasuk di dalamnya berbagai kearifan yang menyertainya, bisa
dipandang sebagai narasi kecil, narasi
lokal atau kearifan lokal ala Indonesia.
Sebaliknya, jika Indonesia dilihat dari kebangsaan, dan etnik-etnik yang ada di dalamnya adalah
bagiannya – sesuai dengan kondisi Indonesia yang pluralistik (bhineka tunggal ika,
multikultural), maka narasi Indonesia berubah menjadi narasi besar atau
nasional. Kearifan lokal di Indonesia berubah
menjadi kearifan nasionalyaitu Pancasila. Sebaliknya, apa yang ada pada komunitas-komunitas etnik
nusantara
menjadi narasi kecil dengan
kearifan lokalnya.
Kearifan lokal meminjam
gagasan Rahyono (2009) memiliki aneka persyaratan, yakni: pertama, bersifat beku dimana unsur-unsur kata yang membentuknya tidak boleh diganti dengan kata lainnya. Kedua, memiliki pokok pikiran tentang social-kebudayaan yang dikomunikasikan. Ketiga, ungkapan
bukan sekadar rangkaian kata bersifat spontan, melainkan merupakan hasil pemikiran mendalam atas dasar
fakta empirik sehingga bisa diuji kebenarannya. Keempat, kearifan lokal
secara dekonstruktif memuat suatu ide-ide, nilai-nilai, norma-norma atau
ideologi yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Kelima,
kata-katanya
memiliki daya tarik, mudah diingat dan mempunyai daya provokatif untuk
mengaktualisasikan pesan yang dikomunikasikan.
(a) Kearifan lokal: Modal
Sosio-kultural Mengatasi Terorisme
Berkenaan dengan mengatasi teroris muncul pertanyaan meragukan, “mungkinkah terorisme ditanggulangi dengan menggunakan
pendekatan sosio-kultural berupa kearifan lokal di Indonesia?” Jawaban
atas pertanyaan ini secara konseptual adalah mungkin -
dengan catatan pendekatan sio-kultural bukan satu-satunya cara, mengingat masalah terorisme
bersifat kompleks (Reigh ed.,
2003; Hendropriyono, 2009;
Laqueur, 2005; Permata ed., 2006). Alasan, pertama, salah satu faktor penyebab terorisme adalah
ideologi. Ideologi bagian dari sistem sosio-kultural, yakni superstuktur ideologi.
Dalam bagan di atas, ideologi
sebagai kognisi agar mudah menerapkannya
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bisa dituangkan dalam ungkapan-
ungkapan kearifan lokal atau kearifan nasional. Kedua, dengan mengacu
kepada gagasan Ferracuti (2003: 80) secara umum penanggulangan terorisme dengan
cara-cara sederhana memang tidak memungkingkan – karena masalah
terorisme sangat kompleks,
namun
bukan berari terorisme sama sekali tidak bisa ditanggulangi. Berbagai cara yang
ada dalam masyarakat secara keseluruhan perlu dikembangkan, dengan
sistem formal maupun sosial-kultural. Karena teroris adalah manusia, tentu
memiliki latar belakang social dan budaya.
Bertolak dari gagasan tersebut maka dapat dikemukakan,
bahwa penanggulangan dengan penggunakan pendekatan budaya layak dikembangkan,
tanpa mengabaikan cara-cara lainnya. Jadi, “penyakit” ideologi yang menjangkiti
para teroris harus dilawan dengan ideologi atau berbagai kearifan lokal sebagai
penjabarannya. Sebagaimana dipaparkan pada uraian di atas, dalam kehidupan
berbangsa, kita mengenal kearifan nasional (bangsa), yakni Pancasila, bhineka
tunggal ika, dll. Dengan mengacu kepada gagasan local genius –
isi Pancasila itu sesungguhnya puncak-puncak kearifan lokal, maka dapat dikatakan
bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan berbagai ungkapan atau
proposisi yang menyertainya secara
substansial dapat dipandang sebagai
kearifan lokal menjadi kearifan nasional.
Berkenaan dengan itu bisa diasumsikan, jika Pancasila sebagai kearifan
lokal di
Indonesia – kearifan nasional/bangsa bisa
diinternalisasikan secara baik antara lain dengan menggunakan berbagai secara penanggulangan
sehingga menjadi lebih komprehensif.
Bangsa Indonesia yang bercorak pluralistik, setiap etnik
pasti memiliki kearifan lokal. Kearifan lokal suatu etnik tentu bersifat
lokalitas, yakni hanya cocok bagi etnik
yang bersangkutan. Namun di balik itu, tidak menutup kemungkinan ada kearifan
lokal yang bersifat universal. Bentuk kearifan lokal yang bersifat lokalitas
bisa diinternalisaikan pada tataran lokal, sedangkan yang bersifat universal
bisa diinternalisasikan ke tingkat nasional. Misalnya, terorisme yang menyatu
dengan kekerasan, secara reflektif bisa dikendalikan dengan suatu kearifan
lokal,
seperti ‘jagung pula jagung pupu (Bali)’
artinya buah perbuatan sesuai dengan yang kita tanam (Karma Phala); “jele melah gumi gelah” maknanya cinta tanah kelahiran; “nguduh wohing pakerti
(Jawa)”,
artinya, menuai buah perbuatan (cf.
Rahyono, 2009).
Kedua proposisi kearifan lokal ini memiliki makna yang
sama – jika dikaitkan dengan agama Hindu merupakan artikulasi
dari hukum karma phala, yakni menunjukkan suatu
realitas bahwa kehidupan manusia akan menuai hasil perbuatannya. Berkenaan dengan itu bisa dipastikan, jika
seseorang melakukan kekerasan, maka pasti akan memetik buah
kekerasannya. Sebagaimana
terlihat dalam kasus terorisme di Indonesia, buah yang dinikmati
adalah hukuman mati. Jadi, kekerasan berbuah kematian. Aneka bentuk teoro
dilontarkan lewat desas-desus, gosip-gosip atau bahkan
bisa pula berwujud ancaman sehingga melahirkan teror lunak. Sasaranya, melemahkan
mental warga masyarakat tertentu yang memiliki identitas sama dengan pelaku Bom
Bali (Atmadja, 2010). Berkenaan dengan itu maka seperti dikemukakan Haryatmoko
(2003) kekerasan
tidak bisa menghentikan kekerasan, bahkan kekerasan
justeru menghasilkan kekerasan lingkaran setan (vicious circle), kekerasan perlu dilawan
dengan deradikalisasi kekerasan itu sehingga melunak. Untuk itu hanya ideology sosial-budaya
yang paling
efektif.
Pembentukan manusia yang literasi sosio-kultural, dalam arti, pesan-pesan moralitas, baik dalam kearifan
lokal maupun kearifan nasional, tidak sebatas mengusi pikiran – aspek kognitif,
tetapi yang lebih penting adalah secara ideologis, manunggal dengan ucapan dan tindakan – meminjam gagasan
Abdullah (2010) melahirkan suatu bangunan sosio-kultural yang menjadikan Pancasila dan kearifan lokal
sebagai pola pikir, pola sikap dan pola tindak
secara otomatis, ini memerlukan pendidikan, pemahaman
social-budaya, politik, dan ekonomi yang baik. Gagasan ini tidak
bisa dilepaskan dari makna pendidikan sebagai ranah
pengideologian deradikalisasi melalui proses enkulturasi nilai-nilai Pancasila
dan kearifan lokal itu sendiri. Berkenaan
dengan itu maka pendidikan social-budaya, mencakup di
dalamnya pelembagaan kearifan lokal, tidak saja sangat penting, tetapi juga sangat strategis
bagi kelangsungan hidup suatu etnik dalam komunitas bangsa Indonesia secara lebih luas. Ada
berbagai faktor yang menjadikan pendidikan social-budaya, termasuk di dalamnya penanaman ideology,
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal memiliki
posisi yang strategis sebagai berikut.
1.
Kearifan lokal
merupakan pembentuk identitas yang inheren sejak lahir.
2.
Kearifan lokal
bukan sebuah keasingan bagi pemiliknya.
3.
Keterlibatan
emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal.
4.
Pemelajaran
kearifan lokal tidak memerlukan pemaksaan.
5.
Kearifan lokal
mampu menumbuhkan harga diri dan percaya diri.
6.
Kearifan lokal
mampu meningkatkan martabat bangsa dan negara (Rahyono, 2009: 9).
Dapat dipahami dengan
jelas bahwa kearifan lokal memiliki
posisi amat strategis bagi kelangsungan hidup bangsa
Indonesia yang bhienka tunggal ikha , baik bagi suatu etnik
maupun bangsa. Hal ini tidak saja menyangkut dimensi
bahwa kearifan lokal adalah modal social-budaya (Field, 2010) untuk menanggulangi kekerasan, termasuk di dalamnya
terorisme, tetapi memuat pula ideology, nilai-nilai tersembunyi yang secara historis dan sosiopsikologis terkait
dengan pemertahanan identitas etnik maupun bangsa Indonesia yang
berasal dari nenek moyang mayoritas dari bangsa Melayu Austronesia.
3.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa eksistensi bangsa
Indonesia, termasuk aneka komunitas berada di dalamnya, tidak terlepas dari
berbagai masalah antara lain adalah terorisme. Walaupun terorisme sulit
dutanggulangi secara tuntas mengingat kompleksitas latar belakang yang
menyebabkannya, namun mengingat ada
unsur budaya atau ideologi di dalamnya, maka penggunaan pendekatan budaya yang
bertumpu pada kearifan lokal ada peluang untuk menanggulanginya. Kearifan bisa menyangkut kearifan nasional,
yakni Pancasila atau bisa pula kearifan lokal yang berwujud aneka proposisi
yang berkembang dalam suatu komunitas lokal. Kearifan lokal bisa dipandang
sebagai modal budaya. Jika kearifan nasional dan kearifan lokal bisa
diinternalisasikan secara simultan, maka keajegan NKRI bisa terwujudkan secara
baik.
Daftar
Pustaka
Abdullah, I. 2010. Berpihak pada Manusia: Paradigma
Nasional Pembangunan Indonesia Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali Gerakan, Identitas
Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS.
Atmadja, N.B. dan Atmadja, A. 2011. Filsafat Ilmu
Pengetahuan (Ilmu, Teknologi, Kebudayaan, Agama, dan Marginalisasi Pengetahuan
Tradisional). Singaraja: Program Pascasarjana Undiksha.
Atmodjo, M. M. S. K. 1986. “Pengertian Local Genius dan
Relevansinya dalam Modernisasi”. Dalam
Ayatrohaedi (ed.). Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Halaman: 46-53.
Bandura, A. 2003. “Mekanisme Meranggangnya Moral”. Dalam
W. Reich. Origin of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan
Sikap Mental. [Penerjemah: S. Surayanto]. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Halaman:
205-246.
Crenshaw, M. 2003. “Logika Terorisme: Perilaku Terorisme
Sebagai Hasil Pilihan Strategis”. Dalam W. Reich. Origin of Terrorism:
Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental. [Penerjemah: S.
Surayanto]. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Halaman: 3-26.
Field,
John. 2010. Modal Sosial. Nurhadi
(Penerj.). Yogyakarta: Kreasi Wacana).
Ferracuti, F. 2003. “Ideologi dan Penyelesaian, Terorisme
di Italia”. Dalam W. Reich. Origin of Terrorism: Tinjauan Psikologi,
Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental. [Penerjemah: S. Surayanto]. Jakarta:
Raja Grafindo Perkasa. Halaman: 73-80.
Giddens, A. 2011. Teori Strukturasi untuk Analisis
Sosial. [Penerjemah: A.L. Soedjono]. Yogyakarta: Pedati.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan.
Jakarta: Penerbit Buku Penerbit Buku Kompas.
Hendropriyono. A.M. 2009. Terorisme Fundamentalis
Kristen, Yahudi, dan Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Irawan MN, A. dan I.A. Aziz. 2007. Dibalik Fatwa Jihad Imam Samudra Virus
Agama Tanpa Cinta. Yogyakarta: Sajadah Press.
Latif, Y. 2011. Negara Paripurna Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Laqueur, W. 2005. New Terrorism Fanatisme &
Senjata Pemusnah Massal. [Penerjemah: T. Febriyanto]. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mulder, N. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan
Perubahan Budaya Jawa, Muangthai, dan Filipina. [Penerjemah: S.
Widiatmoko]. Jakarta: Gramedia.
Mundardjito. 1986. “Hakikat Local Genius”. Dalam
Ayatrohaedi (ed.). Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Halaman: 39-45.
Piliang, A.Y. 2003. Hantu-hantu Politik dan Matinya
Sosial. Solo: Tiga Serangkai
Piliang, A.Y. 2011. Dunia yang Dilipat Tamasya
Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Permata, A.N. 2006. “Terorisme sebagai Fenomena Agama:
Sebuah Pembacaan Sosiologis”. Dalam A.N. Permata (ed). Agama dan Terorisme.
Surakarta: Muhamadiyah University Press. Halaman: v-xliii.
Permata, A.N. 2006 (ed). Agama dan Terorisme.
Surakarta: Muhamadiyah University Press.
Pespowardojo, S. 1986. “Pengertian Local Genius dan
Relevansinya dalam Modernisasi”. Dalam Ayatrohaedi ed. Kepribadian
Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman 28-39.
Pranowo, M.B. 2011. Orang Jawa Jadi Teroris.
Jakarta: Pustaka Alvabet.
Rahyono, F.X., 2009. Kearifan Budaya dalam Kata.
Jakarta: Wedatama Widyasastra.
Saifudin, AF. 2011. Catatan Reflektif Antropologi
Sosialbudaya. Jakarta: Ikatan Antropologi Indonesia.
Simpen AB., W. 1997. Basita Parihasa. Denpasar:
Upada Sastra.
Takwin, B. 2003. Akar-akar Ideologi. Yogyakarta:
Jalasutra.
Tapasyananda, S. 2008. Filosofis dan Keagamaan Swami
Vivekananda. Surabaya: Paramita.
Reich, W. (ed). 2003. Origin of Terrorism: Tinjauan
Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental. [Penerjemah: S. Surayanto].
Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Soebadio, H. 1986. “Kepribadian Budaya Bangsa”. Dalam
Ayatrohaedi ed. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius).
Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman 18-27.
Wright, L. 2011. Sejarah Teror. [Penerjemah: Hendra].
Yogyakarta: Kanisius.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda