Rabu, 29 November 2017

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SOCIO-CULTURAL CAPITAL UNTUK MENANGKAL  GERAKAN TERORISME  DI INDONESIA



Oleh
I Made Pageh

Abstrak
Terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan yang bisa mengancurkan eksistensi Negara Indonesia. Faktornya sangat  kompleks, antara lain faktor modal sosial- budaya fundamentalisme agama. Oleh karena itu, penanganan terorisme tidak hanya bersifat kuratif, tetapi memerlukan tindakan prepentif yaitu pelembagan ideologi Pancasila dan ideologi lokal yang ada pada komunitas enik di nusantara. Ideologi lokal merupakan social capital local genius yang sering tampak diaktualisasikan dalam kearifan lokal. Dua social capital dilakukan secara sinergis sehingga penanggulangan terorisme dan penyelamatan negara yang berbasis ideologi Pancasila menjadi memiliki fundamental kuat.

Kata-kata kunci: terorisme, ideologi Pancasila, kearifan lokal,  modal social budaya   

Abstract
Terorism is a human criminal that could destroy the existance of Indonesian state. Its causes are very complex factors, such a socio-culture religion fundamentalism. That is why the prevention of terorism is not only on its curative but also preventive action, its need an institusionalisation of  ideology Pancasila and local ideology that is growing up on an etnic community in Indonesia. Local ideology is a socio-cultural capital from local genius that is often actualized on local wisdom. On this way, there will be a sinergy approach in preventing terorism. For that nation state on ideology Pancasila will be stronger.

Keywords: terorism, ideology, local wisdom, cultural capital.



1.      Pendahuluan
            Kehidupan komunitas di Indonesia, pada dasarnya berada pada berbagai masalah sosial-budaya. Terlihat pada eksistensi bangsa Indonesia yang tidak henti-hentinya terjebak pada tumpukan masalah antara lain terorisme, yang dikait-kaitkan dengan penganut islam garis keras. Penanggulangan terorisme amat penting, karena menyangkut bangsa sendiri, cara kekerasan yang digunakannnya, dan juga akibat yang ditimbulkannya. Bangsa selalu merasa takut dan tidak aman . Rasa aman masalah yang sangat mendasar karena rasa aman adalah kebutuhan dasar manusia. Atau sebagaimana dikemukakan Haryatmoko (2003: 165) berbicara tentang terorisme memang secara mudah memunculkan silang pendapat – ada yang mendukung, baik secara terbuka maupun secara diam-diam atau sebaliknya,  ada pula yang mengecamnya. Kenyataan yang harus disadari bahwa “... fakta menunjukkan telah terjadi kekerasan yang meninggalkan korban. Kebanyakan korban tidak bersalah dan dalam posisi lemah. Mereka adalah korban kekerasan politik”  (Haryatmoko, 2003: 165).
            Masalah ini dialami masyarakat Bali, ketika Bom Bali 1 dan 2 terjadi di Bali Selatan, rasa takut terjadi di seluruh Indonesia bahkan dunia pariwisata di manapun berada. Peristiwa ini mengakibatkan terjadi banyak korban jiwa, sehingga memunculkan trauma mendalam yang kemudian memunculkan penguatan etnosentrisme dan xenophobia di Bali. Karena itu, tidak mengherankan jika negara mengambil kebijakan dalam mengatasi terorisme dengan menggunakan berbagai modal yang dimilikinya, baik secara preventif maupun kuratif, hasilnya  terlihat belum maksimal, karena menyangkut bangsa sendiri, dan dari penganut agama terbesar di Indonesia.
            Artikel ini mencoba menawarkan gagsan mengenai berbagai kemungkinan pendekatan dengan memanfaatkan kearifan lokal yang merupakan modal sosio-budaya  sebagai salah satu alternatif dalam menanggulangi terorisme. Sasarannya, tercipta masyarakat Indonesia yang melek literasi sosio-kultural, “... mewujudkan yang utopis menjadi emperis, dari gagasan menjadi aksi konkrit” (cf. Saifuddin, 2011: 36).
            Sosio-kultural sebagai teks ideal (teoretis), bentuk, isi, dan maknanya amat kompleks. Berkenaan dengan itu, artikel ini lebih berkonsentrasi memaparkan bagian dari sosial-kebudayaan sebagai pemaknaan kenyataan yang idealis berupa local wisdom. Topik ini berpotensi menjadikan manusia sebagai makhluk yang arif-bijaksana. Teori postmodernisme, sangat ganderung  untuk memberikan ruang bagi narasi lokalitas, termasuk kearifan lokal di dunia timur, untuk menyumbangkan munculnya narasi pluralistik pada dunia akademik khususnya cultural studies (Piliang, 2011).


2.      Pembahasan
Makna Terorisme
            Masalah terorisme berdimensi sangat  luas dan  kompleks, baik dilihat dari latar belakang kemunculan (motif, tujuan, sistem nilai atau ideologi yang ada di baliknya), dimensi historis atau aspek prosesual maupun implikasi bagi kehidupan masyarakat maupun negara. Karena itu, menyebabkan pemaknaan terorisme menjadi  sangat beragaman. Belum terhitung lagi adanya perbedaan sudut padang di kalangan para pakar yang melihatnya sehingga menambah keragaman pengertian terorisme (Hendropriyono, 2009; Permata, 2006; Laqueur, 2005). Bahkan, di kalangan para pelakunya, teror bisa saja dimaknai sebagai hasil pilihan rasional dalam mengatasi berbagai rintangan  guna mewujudkan tujuan politik yang diidealkan (Crenshaw, 2003; Bandura, 2003).
            Gagasan l Permata (2006), memberikan makna pada penekanan tipikal dari suatu tindakan social-budaya yang bisa disebut terorisme, yakni: pertama, penggunaan budaya kekerasan, yakni tindakan yang mengakibatkan kerusakan baik  fisik maupun psikologis. Kedua, sasaran rakyat sipil yang tidak bersenjata (non combatant). Ketiga, tindakan social-budaya yang memiliki tujuan politis. Keempat, tindakan social-budaya local ditujukan kepada audiens yang internasional atau lebih luas dari sasarannya sendiri. Misalnya Bom Kuta yang takut Turis internasional dimanapun dia berada.
            Dari uraian di atas kalai dianalisis dapat dikatakan bahwa terorisme menyatu dengan kekerasan, kekerasan adalah alat teror, korbannya rakyat sipil tidak bersenjata, kejadiannya lokal atau nasional, sasarannya internasional, dengan tujuan  untuk menimbulkan rasa takut, rasa tidak aman, sehingga terwujud tujuan politiknya. Saifuddin (2011: 78-79) menunjukkan bahwa teror bisa dipilahkan menjadi dua sebagai berikut. (1) teror ekstrim keras (hard form) dengan pengemboman yang dapat menimbulkan kepanikan dan ketakutan yang sangat kuat. Penyerangan tempat ibadah orang lain yang dianggap sesat juga dapat dimasukkan ke dalam ekstrim ini. (2) Bentuk teror ektrim lunak (soft form), dalam bentuk sosio-kulturaldesas-desus, gosip-gosip, dan ancaman yang berusaha melemahkan hingga melumpuhkan mental warga masyarakat tertentu (Saifuddin, 2011: 78-79).
            Bangsa Indonesia sering mengaitkan pelaku teror dengan kelompok radikalis-fundamentalis, yakni orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk memaksakan gagasan dalam sebuah perubahan yang mendasar,  mengakar, dan menyeluruh dengan menghancurkan tatanan yang sudah ada mengganti dengan gagasannya. Kaum radikal dapat mengunakan teror ektrim keras maupun lunak secara bersamaan atau secara bergantian guna mewujudkan tujuan yang diinginkan. Pencapaian tujuan ideal membutuhkan aktor disebut teroris. Berkenaan dengan itu teroris menarik dikemukakan dalam karya Pranowo (2011: 7) bahwa “hampir semua pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang menderita problem psikologis karena kebodohan, penggangguran, teralienasi di masyarakat, dan hidup di dalam lingkungan sosial-budaya yang tidak benar/rusak”.
            Pada masyarakat informasi dewasa ini, kehancuran dan kematian yang ditimbulkan oleh sebuah aksi teror yang tergolong ke dalam teror ekstrim keras secara mudah tersebar lewat berbagai media sehingga secara cepat menjadi sebuah tanda (sign)  dan citra (image). Akibatnya, timbul efek ketakutan, kengerian, dan trauma yang semakin meluas jangkauan pengaruhnya. Di dalam wujud citranya, aksi teror kini menjadi sebuah totonan global. Tujuan utama terorisme memang bukanlah kehancuran atau kematian itu sendiri, melainkan bagaimana kehancuran dan kematian tersebut menjadi sebuah penggung totonan – lewat media cetak, elektronika atau digital. Semakin luas diseminasi aksi teror yang dilakukan lewat media massa, maka semakin massal pula orang yang melihat dan ketakutan, atau kengerian (Piliang, 2003) yang menjadikan tujuan teroris sukses melakukan teror.
     
Makna Kearifan Lokal
            Kompleksitas masalah terorisme dengan sendirinya membutuhkan berbagai cara untuk menanggulanginya. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah memanfaatkan kapital budaya dalam bentuk kearifan lokal, baik  yang berkembang dalam suatu komunitas maupun negara. Adapun hakikat kearifan lokal, baik yang menyangkut  asal-usul maupun substansinya dapat dilihat pada Bagan 1.
            Dengan berpegang pada Bagan 1, dapat dikemukakan bahwa berbicara tentang kearifan lokal, tidak bisa dilepaskan dari hakikat manusia sebagai makhluk individu yang berkedudukan sebagai agen atau aktor  dalam sistem sosial – manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, dalam bertindak selalu terikat pada ruang (lokalitas, ekosistem atau ekologi sebagai panggungnya) dan waktu (Giddens, 2005) -  dalam budaya Bali disebut desa (lokalitas, ruang)  dan kala (waktu, sejarah) (Atmadja, 1998).  Ruang sebagai panggung yang berwujud alam fisikal,  tidak saja dihuni oleh makhluk bio-sekala – makhluk hidup yang nampak (rasional empirik), tetapi juga makhluk bio-niskala – makhluk hidup yang tidak nampak, misalnya  dewa dan berbagai makhluk supernatural lainnya (bersifat nonrasional dan nonempirik).
Bagan 1
Hakikat kearifan lokal dilihat dari segi
substansi proses kelahirannya

Agama/ Budaya Agama


Aktor dalam Sistem Sosial-Budaya


Ruang, situasi waktu (Desa Kala Patra)

Ideologi

Teks lokal

Local wisdom
 
            
            Pengetahuan pengalaman yang dihasilkan manusia dengan menggunakan potensinya  - cipta, rasa, dan karsa atau  manah, buddhi, kesadaran, dan ketubuhan secara berdialektika seperti terlihat pada Bagan 1 adalah berbentuk narasi.
narasi dapat dilihat sebagai wacana (narrative discourse), yang di dalam aktor-aktor yang terlibat membangun sebuah cerita dunia, berdasarkan pemahaman, pengetahuan, keyakinan dan ideologinya masing-masing. Narasi menghasilkan cerita-cerita kehidupan yang beraneka ragam, karena keanekaragaman gagasan, logika, dan pemaknaan masing-masing (Piliang, 2011: 480).

            Narasi merupakan konsep sentral peradaban, baik sebagai cara merepresentasikan, memahami, memaknai maupun melakoni dunia kehidupan. Ada begitu banyak cara memahami dunia, baik secara sosial, politik ekonomi, kultural, dan spiritual. Sehingga ada begitu banyak narasi: mitos, legenda, dongeng, hikayat, novella, epik, sejarah, tragedi, drama, komedi, lukisan, sinema, komik, percakapan (Piliang, 2003: 480-481).

            Pada Bagan 1 interaksi sosial-budaya ada dalam kondisi meruang dan mewaktu tidak bisa dilepaskan dari ideologi, yakni “... aliran pemikiran yang terkait dengan pembentukan ide dan kesadaran. Pembentukan gagasan-gagasan tersebut maknanya dipacu realitas dari luar” (Haryatmoko, 2003: 13). Makna ideology yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Takwin (2003: 10) yang menyatakan bahwa ideologi adalah seperangkat ide tentang berbagai hal yang didapat manusia dari pengalaman serta tertata dalam benak untuk kemudian membentuk kesadaran yang mempengaruhi tingkah laku. Para penganut gagasan seperti ini lazim disebut kelompok aliran empirisme-realis.
            Berdasarkan gagasan aliran empirisme-realis maka dapat disimpulkan bahwa ideologi  pada dasarnya adalah narasi. Namun, tidak semua narasi bisa disebut ideologi. Narasi sebagai ideologi bersifat khusus, yakni membentuk kesadaran sebagaimana tercermin pada tingkah laku manusia dalam sistem sosial-budaya. Bahkan ada yang menyatakan, bahwa ideologi tidak sekedar membentuk kesadaran, melainkan sepenuhnya menentukan tindakan manusia. Di sisi lain ideologi dimaknai sebagai resep tindakan social-budaya manusia, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Bagan 1 menunjukkan bahwa, selain ideologi, manusia mengenal pula agama sebagai teks ideal bagi tindakan mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Agama pada dasarnya adalah narasi, namun bukan ciptaan manusia, melainkan terberi oleh Tuhan dalam bentuk kitab suci. Agama bisa menjadi ideologi, yakni difungsikan sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (Haryatmoko, 2003: 64-65).  Agama dan ideologi sebagai narasi, bisa dipakai dasar untuk memahami realitas guna menghasilkan suatu narasi.
            Dengan mengacu kepada Piliang (2011: 483) narasi bisa berwujud  narasi kecil atau narasi lokal, yakni cerita tentang dunia lokal yang dibentuk oleh institusi-institusi lokal,  berdasarkan nilai-nilai yang unik, dan mengacu kepada aturan-aturan main yang bersifat partikular dan indigeneous.  Sebagaimana terlihat pada Bagan di atas, narasi kecil sebagai cerita tentang dunia lokal bisa berwujud kearifan lokal.  Menurut Rahyono (2009: 8) kearifan lokal merupakan butir-butir kecerdasan atau kebijaksanaan “lokal asli” yang dihasilkan oleh social-budaya masyarakat. Dalam konteks ini kata asli tentu tidak bermakna ketertutupan – asli dalam arti tidak terpengaruh oleh kebudayaan dari luar, melainkan bermuatan keterbukaan  - ada kemungkinan unsur budaya yang berasal dari luar yang disertai dengan local genius dan berhibridasi di dalamnya atau mimikri (Bhabha, dalam Martono 2011).
            Pembentukan narasi kecil berwujud kearifan lokal bisa melibatkan kecerdasan yang kreatif dan inovatif yang dimiliki oleh suatu komunitas lokal. Hal ini dipadukan dengan olah cipta, rasa, dan karsa  atau olah manah, buddhi, kesadaran, dan daya indrawiah untuk menyeleksi dan sekaligus  mengolah unsur-unsur kebudayaan dari luar, dipadukan dengan unsur-unsur kebudayaan dari dalam,  guna menghasilkan suatu ciptaan baru yang unik dan  asli, karena berbeda daripada apa yang ada pada pihak yang membawa kebudayaan tersebut (Soebadio (1986: 23).  Mulder (199: 4-5) menggunakan istilah lokalisasi. Lokalisasi mengacu kepada inisiatif dan sumbangan-sumbangan masyarakat lokal sebagai jawaban dan pertanggung jawaban atas suatu pertemuan budaya.
            Narasi besar mencakup berbagai ide yang dianut oleh negara-negara di dunia, misalnya berwujud agama-agama dunia, yakni Islam, Hindu, Buddha, Yahudi, Katolik, Protestan. Bentuk lainnya berbagai gagasan yang dianut oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya (negara pusat), misalnya  bidang filsafat ( (rasionalisme, logosentrisme),  politik (imperialisme, liberalisme), ekonomi (kapitalisme global, pasar bebas), dan kebudayaan (modernisme, globalisasi budaya, patriarki). Aneka gagasan yang dianut oleh Amerika Serikat menghegemoni negera-negara pinggiran, termasuk di dalamnya Indonesia. Sebaliknya, narasi kecil atau narasi lokal sebagaimana dipaparkan di atas, mengacu pada cerita tentang dunia sosial dan alam biofisik  yang berkembang pada suatu lokalitas.
            Jika dilihat posisi Indonesia dalam masyarakat dunia dia menjadi pendukung narasi besar, maka narasi yang berkembang di Indonesia, termasuk di dalamnya berbagai kearifan yang menyertainya, bisa dipandang sebagai  narasi kecil, narasi lokal  atau kearifan lokal ala Indonesia. Sebaliknya, jika Indonesia dilihat dari kebangsaan, dan etnik-etnik yang ada di dalamnya adalah bagiannya – sesuai dengan kondisi Indonesia yang pluralistik (bhineka tunggal ika, multikultural), maka narasi Indonesia berubah menjadi narasi besar atau nasional.  Kearifan lokal di Indonesia  berubah menjadi kearifan nasionalyaitu Pancasila. Sebaliknya, apa yang ada pada komunitas-komunitas etnik nusantara menjadi narasi kecil dengan kearifan lokalnya
            Kearifan lokal meminjam gagasan Rahyono (2009) memiliki aneka persyaratan, yakni: pertama,  bersifat beku dimana unsur-unsur kata yang membentuknya tidak boleh  diganti dengan kata lainnya.  Kedua, memiliki pokok pikiran tentang social-kebudayaan yang dikomunikasikan. Ketiga, ungkapan bukan sekadar rangkaian kata bersifat spontan, melainkan  merupakan hasil pemikiran mendalam atas dasar fakta empirik sehingga bisa diuji kebenarannya. Keempat, kearifan lokal secara dekonstruktif memuat suatu ide-ide, nilai-nilai, norma-norma atau ideologi yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.  Kelima, kata-katanya memiliki daya tarik, mudah diingat dan mempunyai daya provokatif untuk mengaktualisasikan pesan yang dikomunikasikan.

(a)   Kearifan lokal: Modal Sosio-kultural Mengatasi Terorisme
Berkenaan dengan mengatasi teroris muncul pertanyaan meragukan, “mungkinkah terorisme ditanggulangi dengan menggunakan pendekatan sosio-kultural berupa kearifan lokal di Indonesia?”  Jawaban atas pertanyaan ini secara konseptual adalah mungkin -  dengan catatan pendekatan sio-kultural bukan satu-satunya cara, mengingat masalah terorisme bersifat kompleks (Reigh ed.,  2003;  Hendropriyono, 2009; Laqueur, 2005; Permata ed., 2006). Alasan, pertama,  salah satu faktor penyebab terorisme adalah ideologi. Ideologi bagian dari sistem sosio-kultural, yakni superstuktur ideologi. Dalam bagan di atas, ideologi sebagai kognisi  agar mudah menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bisa dituangkan dalam ungkapan- ungkapan kearifan lokal atau kearifan nasional. Kedua, dengan mengacu kepada gagasan Ferracuti (2003: 80) secara umum penanggulangan terorisme dengan cara-cara sederhana memang tidak memungkingkan – karena masalah terorisme sangat kompleks,  namun bukan berari terorisme sama sekali tidak bisa ditanggulangi. Berbagai cara yang ada dalam masyarakat secara keseluruhan perlu dikembangkan, dengan sistem formal maupun sosial-kultural. Karena teroris adalah manusia, tentu memiliki latar belakang social dan budaya.
Bertolak dari gagasan tersebut maka dapat dikemukakan, bahwa penanggulangan dengan penggunakan pendekatan budaya layak dikembangkan, tanpa mengabaikan cara-cara lainnya. Jadi, “penyakit” ideologi yang menjangkiti para teroris harus dilawan dengan ideologi atau berbagai kearifan lokal sebagai penjabarannya. Sebagaimana dipaparkan pada uraian di atas, dalam kehidupan berbangsa, kita mengenal kearifan nasional (bangsa), yakni Pancasila, bhineka tunggal ika, dll. Dengan mengacu kepada gagasan local genius isi Pancasila itu sesungguhnya puncak-puncak kearifan lokal,  maka dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan berbagai ungkapan atau proposisi  yang menyertainya secara substansial  dapat dipandang sebagai kearifan lokal menjadi kearifan nasional.  Berkenaan dengan itu bisa diasumsikan, jika Pancasila sebagai kearifan lokal di Indonesia – kearifan nasional/bangsa bisa diinternalisasikan secara baik antara lain dengan menggunakan berbagai secara penanggulangan sehingga menjadi lebih komprehensif.
Bangsa Indonesia yang bercorak pluralistik, setiap etnik pasti memiliki kearifan lokal. Kearifan lokal suatu etnik tentu bersifat lokalitas, yakni  hanya cocok bagi etnik yang bersangkutan. Namun di balik itu, tidak menutup kemungkinan ada kearifan lokal yang bersifat universal. Bentuk kearifan lokal yang bersifat lokalitas bisa diinternalisaikan pada tataran lokal, sedangkan yang bersifat universal bisa diinternalisasikan ke tingkat nasional. Misalnya, terorisme yang menyatu dengan kekerasan, secara reflektif bisa dikendalikan dengan suatu kearifan lokal, seperti ‘jagung pula jagung pupu (Bali)’ artinya buah perbuatan sesuai dengan yang kita tanam (Karma Phala); “jele melah gumi gelah” maknanya cinta tanah kelahiran;nguduh wohing pakerti (Jawa), artinya, menuai buah perbuatan (cf. Rahyono, 2009).
Kedua proposisi kearifan lokal ini memiliki makna yang sama – jika dikaitkan dengan agama Hindu merupakan artikulasi dari hukum karma phala, yakni menunjukkan suatu realitas bahwa kehidupan manusia akan menuai hasil perbuatannya. Berkenaan dengan itu bisa dipastikan, jika seseorang melakukan kekerasan, maka pasti akan memetik buah kekerasannya. Sebagaimana terlihat dalam kasus terorisme di Indonesia, buah yang dinikmati adalah hukuman mati. Jadi, kekerasan berbuah kematian. Aneka bentuk teoro dilontarkan lewat desas-desus, gosip-gosip atau bahkan bisa pula berwujud ancaman sehingga melahirkan teror lunak. Sasaranya, melemahkan mental warga masyarakat tertentu yang memiliki identitas sama dengan pelaku Bom Bali (Atmadja, 2010). Berkenaan dengan itu maka seperti dikemukakan Haryatmoko (2003) kekerasan tidak bisa menghentikan kekerasan, bahkan kekerasan justeru menghasilkan kekerasan lingkaran setan (vicious circle), kekerasan perlu dilawan dengan deradikalisasi kekerasan itu sehingga melunak. Untuk itu hanya ideology sosial-budaya yang  paling efektif.
Pembentukan manusia yang literasi sosio-kultural, dalam arti, pesan-pesan moralitas, baik dalam kearifan lokal maupun kearifan nasional, tidak sebatas mengusi pikiran – aspek kognitif, tetapi yang lebih penting adalah secara ideologis, manunggal dengan ucapan dan tindakan – meminjam gagasan Abdullah (2010) melahirkan suatu bangunan sosio-kultural yang menjadikan Pancasila dan kearifan lokal sebagai pola pikir, pola sikap dan pola tindak secara otomatis, ini memerlukan pendidikan, pemahaman social-budaya, politik, dan ekonomi yang baik.  Gagasan ini tidak bisa dilepaskan dari makna pendidikan sebagai ranah pengideologian deradikalisasi melalui proses enkulturasi nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal itu sendiri. Berkenaan dengan itu maka pendidikan social-budaya,  mencakup di dalamnya pelembagaan kearifan lokal, tidak saja   sangat penting, tetapi juga sangat strategis bagi kelangsungan hidup suatu etnik dalam komunitas bangsa Indonesia secara lebih luas. Ada berbagai faktor yang menjadikan pendidikan social-budaya, termasuk di dalamnya penanaman ideology, nilai-nilai luhur yang  terkandung dalam kearifan lokal memiliki posisi yang strategis sebagai berikut.
1.      Kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheren sejak lahir.
2.      Kearifan lokal bukan sebuah keasingan bagi pemiliknya.
3.      Keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal.
4.      Pemelajaran kearifan lokal tidak memerlukan pemaksaan.
5.      Kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan percaya diri.
6.      Kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan negara (Rahyono, 2009: 9).

Dapat dipahami dengan jelas bahwa kearifan lokal memiliki posisi amat strategis bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang bhienka tunggal ikha , baik bagi suatu etnik maupun bangsa. Hal ini tidak saja menyangkut dimensi bahwa kearifan lokal adalah modal social-budaya (Field, 2010) untuk menanggulangi kekerasan, termasuk di dalamnya terorisme, tetapi memuat pula ideology, nilai-nilai tersembunyi  yang secara historis dan sosiopsikologis terkait dengan pemertahanan identitas etnik maupun bangsa Indonesia yang berasal dari nenek moyang mayoritas dari bangsa Melayu Austronesia.  


3.   Penutup
Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa eksistensi bangsa Indonesia, termasuk aneka komunitas berada di dalamnya, tidak terlepas dari berbagai masalah antara lain adalah terorisme. Walaupun terorisme sulit dutanggulangi secara tuntas mengingat kompleksitas latar belakang yang menyebabkannya,  namun mengingat ada unsur budaya atau ideologi di dalamnya, maka penggunaan pendekatan budaya yang bertumpu pada kearifan lokal ada peluang untuk menanggulanginya.  Kearifan bisa menyangkut kearifan nasional, yakni Pancasila atau bisa pula kearifan lokal yang berwujud aneka proposisi yang berkembang dalam suatu komunitas lokal. Kearifan lokal bisa dipandang sebagai modal budaya. Jika kearifan nasional dan kearifan lokal bisa diinternalisasikan secara simultan, maka keajegan NKRI bisa terwujudkan secara baik.


Daftar Pustaka
Abdullah, I. 2010. Berpihak pada Manusia: Paradigma Nasional Pembangunan Indonesia Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS.
Atmadja, N.B. dan Atmadja, A. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan (Ilmu, Teknologi, Kebudayaan, Agama, dan Marginalisasi Pengetahuan Tradisional). Singaraja: Program Pascasarjana Undiksha.
Atmodjo, M. M. S. K. 1986. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”.  Dalam Ayatrohaedi (ed.). Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman: 46-53.
Bandura, A. 2003. “Mekanisme Meranggangnya Moral”. Dalam W. Reich. Origin of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental. [Penerjemah: S. Surayanto]. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Halaman: 205-246.
Crenshaw, M. 2003. “Logika Terorisme: Perilaku Terorisme Sebagai Hasil Pilihan Strategis”. Dalam W. Reich. Origin of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental. [Penerjemah: S. Surayanto]. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Halaman: 3-26.
Field, John. 2010. Modal Sosial. Nurhadi (Penerj.). Yogyakarta: Kreasi Wacana).

Ferracuti, F. 2003. “Ideologi dan Penyelesaian, Terorisme di Italia”. Dalam W. Reich. Origin of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental. [Penerjemah: S. Surayanto]. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Halaman: 73-80.
Giddens, A. 2011. Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. [Penerjemah: A.L. Soedjono]. Yogyakarta: Pedati.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Penerbit Buku Kompas.
Hendropriyono. A.M. 2009. Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, dan Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Irawan MN, A. dan I.A. Aziz. 2007.  Dibalik Fatwa Jihad Imam Samudra Virus Agama Tanpa Cinta. Yogyakarta: Sajadah Press.
Latif, Y. 2011. Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Laqueur, W. 2005. New Terrorism Fanatisme & Senjata Pemusnah Massal. [Penerjemah: T. Febriyanto]. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mulder, N. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya Jawa, Muangthai, dan Filipina. [Penerjemah: S. Widiatmoko]. Jakarta: Gramedia.
Mundardjito. 1986. “Hakikat Local Genius”. Dalam Ayatrohaedi (ed.). Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman: 39-45.
Piliang, A.Y. 2003. Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga Serangkai
Piliang, A.Y. 2011. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Permata, A.N. 2006. “Terorisme sebagai Fenomena Agama: Sebuah Pembacaan Sosiologis”. Dalam A.N. Permata (ed). Agama dan Terorisme. Surakarta: Muhamadiyah University Press. Halaman: v-xliii.
Permata, A.N. 2006 (ed). Agama dan Terorisme. Surakarta: Muhamadiyah University Press.
Pespowardojo, S. 1986. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”. Dalam Ayatrohaedi ed. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman 28-39.
Pranowo, M.B. 2011. Orang Jawa Jadi Teroris. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Rahyono, F.X., 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra.
Saifudin, AF. 2011. Catatan Reflektif Antropologi Sosialbudaya. Jakarta: Ikatan Antropologi Indonesia.
Simpen AB., W. 1997. Basita Parihasa. Denpasar: Upada Sastra.
Takwin, B. 2003. Akar-akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra.
Tapasyananda, S. 2008. Filosofis dan Keagamaan Swami Vivekananda. Surabaya: Paramita.
Reich, W. (ed). 2003. Origin of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental. [Penerjemah: S. Surayanto]. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Soebadio, H. 1986. “Kepribadian Budaya Bangsa”. Dalam Ayatrohaedi ed. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman 18-27.
Wright, L. 2011. Sejarah Teror. [Penerjemah: Hendra]. Yogyakarta: Kanisius.





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda