Kamis, 14 Desember 2017

SEJARAH PURA TEGEH KAURIPAN / PUCAK PENULISAN/ PANORAJON



Oleh
 I Made Pageh

1. Pengantar 
Pura Pucak Penulisan, disebut juga Pura Tegeh Koripan berlokasi di Desa Sukawana. Pura ini disebut dengan berbagai nama yaitu Gunung Wangun Urip atau Gunung Kauripan, yang artinya “Pura sumber Kehidupan” atau Gunung sumber kehidupan (Soebandi, 61: 1983), masyarakat setempat menyebutnya Pura Tegeh saja, karena secara fisik pura ini berada di tempat yang tertinggi yaitu puncak bukit Penulisan, nama Panulisan berasal dari kata “tulis” yang mendapat awalan “pa” dan akhiran “an” sehingga menjadi “Panulisan” nama ini dilatarbelakangi oleh ditemukannya banyak tulisan yaitu berbagai prasasti singkat yang terdapat di pura itu.
Pura Tegeh Koripan di Bukit Penulisan sering juga disebut“Ukir Padelengan” yang artinya bukit atau gunung tempat memandang (deleng) sumber kehidupan yaitu Ida Sang Hyang Widhi dan para leluhur yang telah memasuki alam Dewata, dan senantiasa memberikan tuntunan dalam menempuh kehidupan (IHD, 195: t.t).  Di dalam Prasasti Bali Kuno (tanpa tahun), Bukit Penulisan disebut dengan Bukit Tunggal dengan Pangemong pura ini adalah masyarakat Desa Adat Sukawana.

2. Pembahasan 
Pura Tegeh Koripan sudah ada, atau masih ditemukan artefak Megelithikum, hal ini dapat dilihat dari berbagai tempat pemujaan (pelinggih) yang ada didominasi oleh bebatuan seperti lingga, yoni, dan beberapa bebatuan kramat yang dipercayai memiliki kekuatan gaib, yang dijadikan tempat pemujaan terhadap roh leluhur pada zaman tersebu. Pada zaman kerajaan Bali kuno Pura Tegeh koripan dijadikan tempat pemujaan terhadap roh raja-raja Bali yang sudah sidhidewata sehingga di Pura Tegeh Koripan banyak ditemukan arca raja-raja pada zaman Bali kuno abad XI M (Kampers, 159:19), dan struktur pura ini menggunakan konsep punden berundak yang merupakan kebudayaan zaman Megalithikum.
Dalam perjalanan Singha Mandawa (804-864 Çaka atu 882-942 Masehi) yang merupakan kerajaan tertua di Bali, sebagaimana diketahui kerajaan Bali kuno memeiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung adalah Pura Tegeh Koripan di Sukawana, Pura Daratan adalah Pura Penataran Sasih di Pejeng, dan Pura Laut adalah Pura Puser Tasik yang ada di Pejeng Gianyar/ Pura Goa Gajah. Pura Tegeh Koripan kemungkinan dijadikan pusat pemerintahan kerajaan Singha Mandawa hal ini dapat dilihat dari apa yang disebutkan dalam tulisan Pandit Shatri (1963) yang menyebutkan Prasasti Sukwana (804 C) tertulis mengenai pembebasan pajak dan hak waris bagi para biksu, Prasasti Sukawana ditulis pada waktu sidang pengadilan oleh Sada Çiwa pada bulan magha (Januari) Çuklapaksa (bulan terang) pratipada (tanggal 1) pecan wijaya pura Çaka 804, namun tidak meyebutkan nama raja Singha Mandawa.
 Dalam perkembangan selanjutnya kerajaan Singha Mandawa tidak begitu populer di Bali namun prasasti yang di keluarkan oleh Çri Ugra Çena memiliki hubungan dengan Singha Mandawa yaitu terdapat kesamaan antara parasasti yang dikeluarkan oleh Çri Ugra Çena dengan prasasti Singha Mandawa.
Perjalanan sejarah Pura Tegeh Koripan seiring dengan perkembangan kerajaan Bali kuno, hal ini terlihat pada berbagai arca raja-raja perwujudan yang terdapat di pura tersebut, namun kebanyakan tidak bernama dan berangka tahun. Di dalam subuah tulisan yang bertajuk Kumpulan Hasil Penelitian Sejarah Pura Dilaksanakan oleh Institut Hindu Dharma (t.t) terdapat beberapa prasasti Gunung Penulisan yang menggambarkan kepemerintahannya pada zaman Bali kuno yaitu sebagai berikut.
a.           Prasati Gunung Penulisan 1 berangka tahun caka 933 atau 1011 Masehi terpahat di belakang perwujudan arca perwujudan Raja Dharma Udayana dengan istrinya Çri Ratu Gunapryadharmapatni dengan sikap berdiri.
b.   Prasasti Gunung Penulisan 2 (angka tahunnya sudah rusak/tidak bisa dibaca) dipahatkan dibelakang arca suami istri dalam sikap duduk. Oleh karena angka tahunnya sudah rusak/rapuh maka sulit menduganya raja siapa yang diarcakan itu.
c.    Prasasti Gunung Penulisan 3 tahun Çaka 996 atau 1974 Masehi dipahatkan di belakang sepasang lingga dalam satu yoni masing-masing lingga dikurung oleh suatu bingkai. Adanya lingga bentuk sederhana itu dan juga beberapa buah lingga lainnya menunjukkan tanda-tanda pemujaam Matahari yang dalam hal ini sebagai Sanghyang Girinatha (Dewa pelindung gunung yang berfungsi memberi kesuburan).
d.       Prasasti Gunung Penulisan 4 tahun caka 1099 atau 1077 Masehi berbunyi “Bhatari Mandul” dipahatkan di belakang arca perwujudan seorang tokoh wanita yang menurut Dr. R Goris wanita ini adalah Premaesuri dari Raja Anak Wungsu yang bernama Bhatari Mandul (raja putri yang tidak berputra)
e.        Prasati gunung Penulisan 5 tahun Çaka 1254 atau 1332 Masehi yang  keadaannya sangat rusak, terpahat di belakang arca perwujudan berbentuk Bhatara Guru dengan tahun yang dibuat secara kronologis. Prasati itu menyebutkan nama Raja Astaratnabumi Banten yang artinya “Delapan Dewa Mustikanya Pulau Bali”. Ini mengandung makna bahwa kemuliaan raja itu bagaikan Dewa Astawasu (kelompok delapan Dewa Yang menjadi pelindung Pulau Bali). Beberapa ahli sejarah Bali kuno bependapat bahwa perwujudan arca itu adalah perwujudan Arca Raja Bali kuno yang terakhir yang dikalahkan oleh Gajah Mada pada tahun 1343 Masehi. 
Berdasarkan dengan penemuan arca di Pura Panorajon yang berangka tahun 911-929 M yang menyebutkan nama Çri Gunapryadharmapatni dan Çri Ratu Darmodanaya Warma Dewa, (para ahli tidak menemukan asal usul raja tersebut) dalam perkembangannya Dharma Udayana memiliki tiga orang putera yang pertama adalah Airlangga yang berkuasa di Jawa Timur, yang kedua adalah Marakata, dan ketiga adalah Anak Wungsu hal ini diperkuat oleh keberadaan Candi Gunung Kawi (Gianyar) terdapat kalimat pendek berbunyi “Rwa Anak Hira” yang berarti bahwa Aji Lumah Ning Jalu, yaitu Udayana berputera dua orang yang di perkirakan kedua orang itu adalah Marakata dan Anak Wungsu yang dimakamkan di candi tersebut, sedangkan Airlangga dijadikan anak angkat oleh Dharma Wangsa dan berkuasa di Jawa Timur (Pandit, 51: 1963).
Dalam sebuah prasasti yang bertahun Icaka 971 atau tahun 1049, antara lain disebutkan, yaitu “Anak Wungsu ira kalih Bhatari lumah I Buruan, Bhatar Lumah I Bayu Wka (putra bungsu dari ibu yang telah dicandikan (wafat) di banyu wka (sungai oka)”, menurut Soebandi (1983) mengatakan bunyi kalimat itu dipastikan bahwa yang dimaksud Anak Wungsu itu adalah putra bungsu dari baginda raja suami istri yaitu Gunapriya Dharmapatni/Udayana Warma Dewa  yang bertahta dan memerintah di Bali pada tahun sekitar Icaka 910 sampai dengan 933 atau tahun 988 sampai dengan 1011 M, jadi kurang lebih selama 23 tahun. Untuklebih jelasnya Anak Wungsu ini di dalam Bhuana Tattwa Maha Rsi Markandea diuraikan sebagai berikut.
"Pire ta kunang lawas ira Çri Ratu Gunaprya Dharmapatni mwah swamin ira Çri Dharma Udayana Warmadewa angedeg ring Balipulina mewastu Ratu Gunaprya anadang sungkan rahat, hyun agembas aken wijan ira, apansira garbhini. Akweh sahananing maottama sidhi maka aguni wateking sedaka dateng I Jro Agung, hyun anambanis ang kalalar. Apan sampun titahing Hyang Widhi. Sire te Çri Ratu Gunaprya Dharmapatni, angembas aken wija laki-laki, apekik wadanan ira pari purna nging ibun ira matemahan paratra ngungsi Çiwa Loka. Kunang wijan ira embas ingaranan “Anak Wungsu” de sang para jana. Sigra awurahan tang kadatwan tekeng dasa para desa umyang wretan ira ri linan ira sang Ratu Gunaprya Dharmapatni. Ikang wadwa kasungkawan. Apan tininggal dening Ratun ira. Wenten ira wus kabyaya keteka i Javadwipa mandala irika sira Mpu Bharadah, sang pinaka Pandita Pirohita Çri Aji Airlangga i Jawa dateng anglwad ka Bhumi Bali, hyun angatur aken bhaktya ri Ratun ira sang wus muksa......".
Arti: Entah sudah beberapa lama Çri Ratu Gunaprya Dharmapatni bersama suaminya Çri Dharma Udayana bertahta di Pulau Bali, maka Ratu Gunaprya Dharmapatni menderita sakit keras dan akan melahirkan putranya, sebab beliau sedang hamil. Banyak para Dukun yang terkenal karena kemanjuran pengobatannya, termasuk juga para Sulinggih (rohaniawan) datang ke Keratonnya  dengan maksud dan tujuan mengobati yang sakit tersebut. Oleh karena kehendak dan takdir yang maha kuasa Çri Ratu Gunaprya Dharmapatni melahirkan seorang bayi yang cakap (ganteng) parasnya serta sempurna. Akan tetapi ibunya berakibat wafat dan arwahnya kembali kealam baka disebut putranya yang lahir itu diberikan nama Anak Wungsu. Dalam tempo yang singkat kegaduhan terjadi di istana sampai ke masing-masing desa sudah tersebar berita tentang wafatnya Çri Ratu Gunapryadharmapatni, dan rakyat turut berduka cita karena ditinggalkan oleh ratunya. Kabar ini telah terdengar sampai ke Pulau Jawa, itulah sebabnya Mpu Bhradah sebagai Pandita Purohita (rohaniawan) raja Airlangga dari Jawa datang melayat ke Bali tujuannya untuk menyatakan turut berduka cita terhadap ratu yang telah wafat (Soebandi, 64-65:1983).

Berdasarkan isi dari Bhuwana Tattwa di atas maka dapat disimpulkan bahwa Anak Wungsu adalah putra dari Udayana Warmadewa dan Çri Ratu Gunapryadharmapatni Çri Dharma yang bertahta di Bali (1049-1077 M).
Mengenai  keberadaan arca perwujudan  Jaya Pangus dan Kang Cing We di Pura Panorajon, memberikan alasan bahwa Puri Balingkang memiliki hubungana dengan Pura Tegeh Koripan, hal ini oleh masyarakat Desa Pinggan bahwa Pura Tegeh Koripan Sebagai Hulu (kepala) dari Jro Gede Dalem Balingkang. Suatau data lain yang mengatakan bahwa Jaya Pangus Beristana di Gunung Kauripan karena tempat ini dikatakan sebagai tulang punggung pulau Bali (Inti Purana Dalem Balingkang, t.t: 46).
          Berdasarkan sumber di atas Pura Tegeh Koripan berdasarkan perkembangannya sudah ada sejak masa prasejarah dengan adanya bukti bahwa sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan dan Rokh suci leluhur yang dihormati dengan konsep punden berundak, Lingga Yoni, tahta batu i(batu bertatah gambar matahari), seperti kepala suku atau tokoh pendiri pendiri desa, dan dalam perkembangannya tempat suci ini masih hidup pada masa kerajaan Bali kuno dengan fungsi yang sama yakni sebagai tempat pemujaan Tuhan dan para rokh suci para raja-raja Bali kuno. Pura Tegeh Koripan merupakan alam atas atau Pura Gunung dari kerajaan Bali kuno, alam tengah atau Pura Daratannya adalah Pura Penataran Sasih di Pejeng, dan alam bawah atau Pura Lautnya adalah Pura Pusertasik di Pejeng pula. Lihat pula Pura Ponjok Batu masih ditemukan Sarkopagus di Pura, juga di Pura Beratan Bedugul, di Selulung masih ditemukan Punden Berundak menjadi Pura Candi di Pura Mihu. 
Sumber-sumber sejarah mengemukakan bahwa pura ini mungkin merupakan wangsa Warma Dewa yang merupakan wangsa raja-raja Bali Kuno adalah dengan ditemukannya sekumpulan arca raja-raja di Pura Tegeh Koripan yang menggambarkan pribadi-pribadi dari masa kerajaan zaman Bali Kuno. Di antara patung-patung tersebut derekan nama dengan angka tahun diantaranya adalah Ratu Gunapryadarmapatni dengan suaminya Darmodayana (berangka tahun. 991 A.D), Pendeta India Agastya (.1024 A.D), Batari Mandul (Istri raja Anak Wungsu, 1078 A.D), Sri Aji Jaya Pangus dengan permaisurinya (tidak bertanggal) dan Asta Suratna Bumi Banten (.1332 A.D) yang merupakan raja Bali penduduk asli yang terakhir sebelum penaklukan Majapahit (Stutterheim, 1929). Patung-patung ini bersama-sama dengan banyak patung raja-raja lain yang tidak disebutkan namanya, dan sangat dihormati oleh penduduk setempat (Thomas A. Reuter, 90: 2005)
       Memperhatikan struktur Pura Tegeh Koripan, terdiri dari 11 tingkat selain memang keadaan alamnya yang merupakan sebuah bukit, maka memberikan pula sebuah petunjuk bahwa pura itu sebagai kelanjutan dari bentuk teras pyramid dan punden berundak dan sisa-sisa kebudayaan Megalithik memang masih terdapat di pura itu dan masih dihormati oleh penduduk setempat.
      Adanya arca-arca perwujudan di Pura Tegeh Koripan ini memberikan bahwa, pura itu selain sebagai Pura Gunung dalam arti pemujaan Dewa Çiwa sebagai Sang Hyang Girinatha yang merupakan kerajaan Bali kuno. Disamping itu pura ini dijadikan Pedharmaan raja-raja Bali Kuno dengan menempatkan arca dan prasati di Pura Panorajon seperti: Bhatari Mandul, Astasuratna Bhumi Banten. Apabila di Jawa Timur arca-arca Pratista ditempatkan dalam suatu candi-candi pedharmaan sebagai lambang gunung, maka yang terjadi di Bali arca-arca Pratista langsung di tempatkan pada gunung di samping ada yang ditempatkan didalam suatu Candi. Penempatan arca pratistha di Gunung ditambah lagi dengan adanya bekas jejak kebudayaan Megalithik di tempat itu memberikan petunjuk adanya konsepsi alam pikiran prasejarah yang melandasi hal itu dan di tingkatkan menurut konsepsi Hindu.
      Dengan data-data dan pendekatan arkeologis ini maka dapatlah dirumuskan bahwa Pura Tegeh Koripan di Bukit Penulisan pada mulanya adalah suatu tempat suci yang berbentuk teras pyramid pada zaman Megalithikum, fungsi utama pura ini adalah untuk pemujaan kepada rokh suci leluhur, dan dalam perkembangannya dengan kedatangan Agama Hindu masuk ke Bali, Pura Tegeh Koripan ditingkatkan menjadi tempat arca pratista raja-raja bali kuno dan pemujaan Dewa Gunung yaitu Sang Hyang Girinatha salah satu dari fungsi Dewa Ciwa. Dalam zaman kerajaan Bali Kuno terbukti adanya Pura Ratu Daha Tua yang terdapat di sekitar Bukit Penulisan di sebelah barat dan arca-arca perwujudan dari berbagai periode, dengan demikian maka Pura Tegeh Koripan itu adalah Pura Kerajaan Bali kuno.

      Pura Tegeh Koripan sebagai pura kerajaan Bali kuno mampu mempersatukan daerah-daerah Bali dibawah kerajaan Singgha Mandawa dengan mengikat desa-desa dalam buntuk sistem jaringan yang disebut dengan gebog domas (pangempon Pura Tegeh Koripan) dengan jaringan utama yaitu Gebog Satak  Desa Sukawana, Desa Selulung, Desa Bantang, dan Gobog Satak Desa Kintamani dan masing masing gebog satak ini membawahi desa-desa lainnya yang tersebar di seluruh wilayah kecamatan Kintamani. 

   3.  Epilog
        Tidak saya temukan dimana sesungguhnya lokasi kerajaan Singha Mandawa yang disebutkan dalam prasasti Balanjong Sanur. Gambaran pusat kerajaan di Bali Utara, untuk membuktikan bahwa pintu masuk pengaruh luar itu datang dari pantai utara Bali. Butuh rekonstruksi sejarah Bali agar dapat menjelaskan pengaruh luar itu memang berasal dari daerah Bali Utara. Penemuan Candi Bhuda di kalibukbuk dan stufika di Kalanganyar mulai memberikan tanda-tanda akan terbuktikan pengaruh laur itu di masa Bali Kuno berasal dari daerah Bali Utara. 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda