SEJARAH PURA TEGEH KAURIPAN / PUCAK PENULISAN/ PANORAJON
Oleh
I Made Pageh
1. Pengantar
Pura Pucak Penulisan, disebut juga Pura Tegeh Koripan berlokasi di Desa Sukawana. Pura ini disebut dengan
berbagai nama yaitu Gunung Wangun Urip atau Gunung Kauripan, yang artinya “Pura
sumber Kehidupan” atau Gunung sumber kehidupan (Soebandi, 61: 1983), masyarakat
setempat menyebutnya Pura Tegeh saja, karena secara fisik pura ini berada di
tempat yang tertinggi yaitu puncak bukit Penulisan, nama Panulisan berasal dari
kata “tulis” yang mendapat awalan “pa” dan akhiran “an” sehingga menjadi
“Panulisan” nama ini dilatarbelakangi oleh ditemukannya banyak tulisan yaitu
berbagai prasasti singkat yang terdapat di pura itu.
Pura Tegeh Koripan di Bukit Penulisan sering
juga disebut“Ukir Padelengan” yang
artinya bukit atau gunung tempat memandang (deleng)
sumber kehidupan yaitu Ida Sang Hyang Widhi dan para leluhur yang telah
memasuki alam Dewata, dan senantiasa
memberikan tuntunan dalam menempuh kehidupan (IHD, 195: t.t). Di dalam Prasasti Bali Kuno (tanpa tahun),
Bukit Penulisan disebut dengan Bukit Tunggal dengan Pangemong pura ini adalah masyarakat Desa Adat Sukawana.
2. Pembahasan
Pura Tegeh Koripan sudah ada, atau masih ditemukan artefak Megelithikum, hal ini dapat
dilihat dari berbagai tempat pemujaan (pelinggih)
yang ada didominasi oleh bebatuan seperti lingga, yoni, dan beberapa bebatuan
kramat yang dipercayai memiliki kekuatan gaib, yang dijadikan tempat pemujaan
terhadap roh leluhur pada zaman tersebu. Pada zaman kerajaan Bali kuno
Pura Tegeh koripan dijadikan tempat pemujaan terhadap roh raja-raja Bali yang
sudah sidhidewata sehingga di Pura
Tegeh Koripan banyak ditemukan arca raja-raja pada zaman Bali kuno abad XI M
(Kampers, 159:19), dan struktur pura ini menggunakan konsep punden berundak yang merupakan kebudayaan zaman Megalithikum.
Dalam perjalanan Singha Mandawa
(804-864 Çaka atu 882-942 Masehi) yang merupakan kerajaan tertua di Bali,
sebagaimana diketahui kerajaan Bali kuno memeiliki tiga pura utama yaitu Pura
Gunung adalah Pura Tegeh Koripan di Sukawana, Pura Daratan adalah Pura
Penataran Sasih di Pejeng, dan Pura Laut adalah Pura Puser Tasik yang ada di
Pejeng Gianyar/ Pura Goa Gajah. Pura Tegeh Koripan kemungkinan dijadikan pusat pemerintahan
kerajaan Singha Mandawa hal ini dapat dilihat dari apa yang disebutkan dalam
tulisan Pandit Shatri (1963) yang menyebutkan Prasasti Sukwana (804 C) tertulis
mengenai pembebasan pajak dan hak waris bagi para biksu, Prasasti Sukawana
ditulis pada waktu sidang pengadilan oleh Sada Çiwa pada bulan magha (Januari) Çuklapaksa (bulan terang) pratipada
(tanggal 1) pecan wijaya pura
Çaka 804, namun tidak meyebutkan nama raja Singha Mandawa.
Dalam perkembangan selanjutnya kerajaan Singha
Mandawa tidak begitu populer di Bali namun prasasti yang di keluarkan oleh Çri
Ugra Çena memiliki hubungan dengan Singha Mandawa yaitu terdapat kesamaan
antara parasasti yang dikeluarkan oleh Çri Ugra Çena dengan prasasti Singha
Mandawa.
Perjalanan sejarah Pura
Tegeh Koripan seiring dengan perkembangan kerajaan Bali kuno, hal ini terlihat
pada berbagai arca raja-raja perwujudan yang terdapat di pura tersebut, namun
kebanyakan tidak bernama dan berangka tahun. Di dalam subuah tulisan yang
bertajuk Kumpulan Hasil Penelitian Sejarah Pura Dilaksanakan oleh Institut
Hindu Dharma (t.t) terdapat beberapa prasasti Gunung Penulisan yang menggambarkan
kepemerintahannya pada zaman Bali kuno yaitu sebagai berikut.
a.
Prasati
Gunung Penulisan 1 berangka tahun caka 933 atau 1011 Masehi terpahat di
belakang perwujudan arca perwujudan Raja Dharma Udayana dengan istrinya Çri
Ratu Gunapryadharmapatni dengan sikap berdiri.
b. Prasasti Gunung Penulisan 2 (angka tahunnya
sudah rusak/tidak bisa dibaca) dipahatkan dibelakang arca suami istri dalam
sikap duduk. Oleh karena angka tahunnya sudah rusak/rapuh maka sulit menduganya
raja siapa yang diarcakan itu.
c. Prasasti Gunung Penulisan 3 tahun Çaka
996 atau 1974 Masehi dipahatkan di belakang sepasang lingga dalam satu yoni
masing-masing lingga dikurung oleh suatu bingkai. Adanya lingga bentuk
sederhana itu dan juga beberapa buah lingga lainnya menunjukkan tanda-tanda pemujaam Matahari yang dalam hal ini sebagai Sanghyang Girinatha (Dewa pelindung gunung
yang berfungsi memberi kesuburan).
d. Prasasti Gunung Penulisan 4 tahun caka
1099 atau 1077 Masehi berbunyi “Bhatari Mandul” dipahatkan di belakang arca
perwujudan seorang tokoh wanita yang menurut Dr. R Goris wanita ini adalah
Premaesuri dari Raja Anak Wungsu yang bernama Bhatari Mandul (raja putri yang
tidak berputra)
e. Prasati
gunung Penulisan 5 tahun Çaka 1254 atau 1332 Masehi yang keadaannya sangat rusak, terpahat di belakang
arca perwujudan berbentuk Bhatara Guru dengan tahun yang dibuat secara
kronologis. Prasati itu menyebutkan nama Raja Astaratnabumi Banten yang artinya
“Delapan Dewa Mustikanya Pulau Bali”. Ini mengandung makna bahwa kemuliaan raja
itu bagaikan Dewa Astawasu (kelompok delapan Dewa Yang menjadi pelindung Pulau
Bali). Beberapa ahli sejarah Bali kuno bependapat bahwa perwujudan arca itu
adalah perwujudan Arca Raja Bali kuno yang terakhir yang dikalahkan oleh Gajah
Mada pada tahun 1343 Masehi.
Berdasarkan dengan penemuan arca di
Pura Panorajon yang berangka tahun 911-929 M yang menyebutkan nama Çri
Gunapryadharmapatni dan Çri Ratu Darmodanaya Warma Dewa, (para ahli tidak
menemukan asal usul raja tersebut) dalam perkembangannya Dharma Udayana
memiliki tiga orang putera yang pertama adalah Airlangga yang berkuasa di Jawa
Timur, yang kedua adalah Marakata, dan ketiga adalah Anak Wungsu hal ini
diperkuat oleh keberadaan Candi Gunung Kawi (Gianyar) terdapat kalimat pendek
berbunyi “Rwa Anak Hira” yang berarti
bahwa Aji Lumah Ning Jalu, yaitu
Udayana berputera dua orang yang di perkirakan kedua orang itu adalah Marakata
dan Anak Wungsu yang dimakamkan di candi tersebut, sedangkan Airlangga
dijadikan anak angkat oleh Dharma Wangsa dan berkuasa di Jawa Timur (Pandit,
51: 1963).
Dalam sebuah prasasti yang bertahun
Icaka 971 atau tahun 1049, antara lain disebutkan, yaitu “Anak Wungsu ira kalih Bhatari lumah I Buruan, Bhatar
Lumah I Bayu Wka (putra bungsu dari ibu yang telah dicandikan (wafat) di banyu wka (sungai oka)”, menurut
Soebandi (1983) mengatakan bunyi kalimat itu dipastikan bahwa yang dimaksud Anak
Wungsu itu adalah putra bungsu dari baginda raja suami istri yaitu Gunapriya
Dharmapatni/Udayana Warma Dewa yang
bertahta dan memerintah di Bali pada tahun sekitar Icaka 910 sampai dengan 933
atau tahun 988 sampai dengan 1011 M, jadi kurang lebih selama 23 tahun.
Untuklebih jelasnya Anak Wungsu ini di dalam Bhuana Tattwa Maha Rsi Markandea
diuraikan sebagai berikut.
"Pire ta kunang lawas ira Çri Ratu
Gunaprya Dharmapatni mwah swamin ira Çri Dharma Udayana Warmadewa angedeg ring
Balipulina mewastu Ratu Gunaprya anadang sungkan rahat, hyun agembas aken wijan
ira, apansira garbhini. Akweh sahananing maottama sidhi maka aguni wateking
sedaka dateng I Jro Agung, hyun anambanis ang kalalar. Apan sampun titahing
Hyang Widhi. Sire te Çri Ratu Gunaprya Dharmapatni, angembas aken wija
laki-laki, apekik wadanan ira pari purna nging ibun ira matemahan paratra
ngungsi Çiwa Loka. Kunang wijan ira embas ingaranan “Anak Wungsu” de sang para
jana. Sigra awurahan tang kadatwan tekeng dasa para desa umyang wretan ira ri
linan ira sang Ratu Gunaprya Dharmapatni. Ikang wadwa kasungkawan. Apan
tininggal dening Ratun ira. Wenten ira wus kabyaya keteka i Javadwipa mandala
irika sira Mpu Bharadah, sang pinaka Pandita Pirohita Çri Aji Airlangga i Jawa
dateng anglwad ka Bhumi Bali, hyun angatur aken bhaktya ri Ratun ira sang wus
muksa......".
Arti: Entah sudah beberapa lama Çri
Ratu Gunaprya Dharmapatni bersama suaminya Çri Dharma Udayana bertahta di Pulau
Bali, maka Ratu Gunaprya Dharmapatni menderita sakit keras dan akan melahirkan
putranya, sebab beliau sedang hamil. Banyak para Dukun yang terkenal karena
kemanjuran pengobatannya, termasuk juga para Sulinggih (rohaniawan) datang ke Keratonnya dengan maksud dan tujuan mengobati yang sakit tersebut. Oleh karena
kehendak dan takdir yang maha kuasa Çri Ratu Gunaprya Dharmapatni melahirkan
seorang bayi yang cakap (ganteng) parasnya serta sempurna. Akan tetapi ibunya
berakibat wafat dan arwahnya kembali kealam baka disebut putranya yang lahir
itu diberikan nama Anak Wungsu. Dalam tempo yang singkat kegaduhan terjadi di
istana sampai ke masing-masing desa sudah tersebar berita tentang wafatnya Çri
Ratu Gunapryadharmapatni, dan rakyat turut berduka cita karena ditinggalkan
oleh ratunya. Kabar ini telah terdengar sampai ke Pulau Jawa, itulah sebabnya
Mpu Bhradah sebagai Pandita Purohita (rohaniawan) raja Airlangga dari Jawa
datang melayat ke Bali tujuannya untuk menyatakan turut berduka cita terhadap
ratu yang telah wafat (Soebandi, 64-65:1983).
Berdasarkan isi dari Bhuwana Tattwa di
atas maka dapat disimpulkan bahwa Anak Wungsu adalah putra dari Udayana
Warmadewa dan Çri Ratu Gunapryadharmapatni Çri Dharma yang bertahta di Bali
(1049-1077 M).
Mengenai keberadaan arca perwujudan Jaya Pangus dan Kang Cing We di Pura
Panorajon, memberikan alasan bahwa Puri Balingkang memiliki hubungana dengan
Pura Tegeh Koripan, hal ini oleh masyarakat Desa Pinggan bahwa Pura Tegeh
Koripan Sebagai Hulu (kepala) dari Jro Gede Dalem Balingkang. Suatau data lain
yang mengatakan bahwa Jaya Pangus Beristana di Gunung Kauripan karena tempat
ini dikatakan sebagai tulang punggung pulau Bali (Inti Purana Dalem Balingkang,
t.t: 46).
Berdasarkan
sumber di atas Pura Tegeh Koripan berdasarkan perkembangannya sudah ada sejak
masa prasejarah dengan adanya bukti bahwa sebagai tempat pemujaan terhadap
Tuhan dan Rokh suci leluhur yang dihormati dengan konsep punden berundak, Lingga Yoni, tahta batu i(batu bertatah gambar matahari), seperti kepala suku atau tokoh pendiri pendiri
desa, dan dalam perkembangannya tempat suci ini masih hidup pada masa kerajaan
Bali kuno dengan fungsi yang sama yakni sebagai tempat pemujaan Tuhan dan para
rokh suci para raja-raja Bali kuno. Pura Tegeh Koripan merupakan alam atas atau
Pura Gunung dari kerajaan Bali kuno, alam tengah atau Pura Daratannya adalah
Pura Penataran Sasih di Pejeng, dan alam bawah atau Pura Lautnya adalah Pura
Pusertasik di Pejeng pula. Lihat pula Pura Ponjok Batu masih ditemukan Sarkopagus di Pura, juga di Pura Beratan Bedugul, di Selulung masih ditemukan Punden Berundak menjadi Pura Candi di Pura Mihu.
Sumber-sumber sejarah mengemukakan
bahwa pura ini mungkin merupakan wangsa Warma Dewa yang merupakan wangsa
raja-raja Bali Kuno adalah dengan ditemukannya sekumpulan arca raja-raja di
Pura Tegeh Koripan yang menggambarkan pribadi-pribadi dari masa kerajaan zaman
Bali Kuno. Di antara patung-patung tersebut derekan nama dengan angka tahun
diantaranya adalah Ratu Gunapryadarmapatni dengan suaminya Darmodayana (berangka
tahun. 991 A.D), Pendeta India Agastya (.1024 A.D), Batari Mandul (Istri raja
Anak Wungsu, 1078 A.D), Sri Aji Jaya Pangus dengan permaisurinya (tidak
bertanggal) dan Asta Suratna Bumi Banten (.1332 A.D) yang merupakan raja Bali
penduduk asli yang terakhir sebelum penaklukan Majapahit (Stutterheim, 1929).
Patung-patung ini bersama-sama dengan banyak patung raja-raja lain yang tidak
disebutkan namanya, dan sangat dihormati oleh penduduk setempat (Thomas A.
Reuter, 90: 2005)
Memperhatikan
struktur Pura Tegeh Koripan, terdiri dari 11 tingkat selain memang keadaan
alamnya yang merupakan sebuah bukit, maka memberikan pula sebuah petunjuk bahwa
pura itu sebagai kelanjutan dari bentuk teras pyramid dan punden berundak dan sisa-sisa kebudayaan Megalithik memang masih terdapat di pura itu dan masih dihormati
oleh penduduk setempat.
Adanya
arca-arca perwujudan di Pura Tegeh Koripan ini memberikan bahwa, pura itu
selain sebagai Pura Gunung dalam arti pemujaan Dewa Çiwa sebagai Sang Hyang Girinatha yang merupakan
kerajaan Bali kuno. Disamping itu pura ini dijadikan Pedharmaan raja-raja Bali Kuno dengan menempatkan arca dan prasati
di Pura Panorajon seperti: Bhatari Mandul, Astasuratna Bhumi Banten. Apabila di
Jawa Timur arca-arca Pratista
ditempatkan dalam suatu candi-candi pedharmaan
sebagai lambang gunung, maka yang terjadi di Bali arca-arca Pratista langsung di tempatkan pada
gunung di samping ada yang ditempatkan didalam suatu Candi. Penempatan arca pratistha di Gunung ditambah lagi dengan
adanya bekas jejak kebudayaan Megalithik
di tempat itu memberikan petunjuk adanya konsepsi alam pikiran prasejarah yang
melandasi hal itu dan di tingkatkan menurut konsepsi Hindu.
Dengan
data-data dan pendekatan arkeologis ini maka dapatlah dirumuskan bahwa Pura
Tegeh Koripan di Bukit Penulisan pada mulanya adalah suatu tempat suci yang
berbentuk teras pyramid pada zaman Megalithikum, fungsi utama pura ini
adalah untuk pemujaan kepada rokh suci leluhur, dan dalam perkembangannya
dengan kedatangan Agama Hindu masuk ke Bali, Pura Tegeh Koripan ditingkatkan
menjadi tempat arca pratista raja-raja
bali kuno dan pemujaan Dewa Gunung yaitu Sang Hyang Girinatha salah satu dari
fungsi Dewa Ciwa. Dalam zaman kerajaan Bali Kuno terbukti adanya Pura Ratu Daha
Tua yang terdapat di sekitar Bukit Penulisan di sebelah barat dan arca-arca
perwujudan dari berbagai periode, dengan demikian maka Pura Tegeh Koripan itu
adalah Pura Kerajaan Bali kuno.
Pura
Tegeh Koripan sebagai pura kerajaan Bali kuno mampu mempersatukan daerah-daerah
Bali dibawah kerajaan Singgha Mandawa dengan mengikat desa-desa dalam buntuk
sistem jaringan yang disebut dengan gebog
domas (pangempon Pura Tegeh
Koripan) dengan jaringan utama yaitu Gebog
Satak Desa Sukawana, Desa Selulung,
Desa Bantang, dan Gobog Satak Desa
Kintamani dan masing masing gebog satak
ini membawahi desa-desa lainnya yang tersebar di seluruh wilayah kecamatan
Kintamani.
3. Epilog
Tidak saya temukan dimana sesungguhnya lokasi kerajaan Singha Mandawa yang disebutkan dalam prasasti Balanjong Sanur. Gambaran pusat kerajaan di Bali Utara, untuk membuktikan bahwa pintu masuk pengaruh luar itu datang dari pantai utara Bali. Butuh rekonstruksi sejarah Bali agar dapat menjelaskan pengaruh luar itu memang berasal dari daerah Bali Utara. Penemuan Candi Bhuda di kalibukbuk dan stufika di Kalanganyar mulai memberikan tanda-tanda akan terbuktikan pengaruh laur itu di masa Bali Kuno berasal dari daerah Bali Utara.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda