SEJARAH PERJUANGAN RAKYAT BULELENG: MONUMEN BHUWANA KERTHA SIMBOL PERJUANGAN PADA MASA REVOLUSI FISIK (1945-1948)
SEJARAH PERJUANGAN
RAKYAT BULELENG:
MONUMEN BHUWANA KERTHA SIMBOL PERJUANGAN
PADA MASA REVOLUSI FISIK
PADA MASA REVOLUSI FISIK
(1945-1948)
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rakhmat-Nya yang dilimpahkan, sehingga
tulisan ini dapat diselesaikan, walaupun masih jauh dari sempurna. Tulisan ini
dipersembahkan kepada para pejuang kemerdekaan khususnya pada masa revolusi
fisik, dalam mendokumentasi peristiwa sejarah yang terjadi di Buleleng, sebagai
wujud penghormatan saya kepada para pejuang yang telah mengorbankan
jiwa-raganya demi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ide pendokumentasian
peristiwa sejarah sejarah di daerah ini pernah datang dari pejabat birokrat
yang peduli terhadap masa lalu daerah Buleleng yang pernah jaya dan menghilang
dalam catatan sejarah, seolah-olah daerah ini tidak memiliki masa lalu
cemerlang yang dapat dijadikan panutan menuju kejayaannya. Untuk itu, penulisan
diawali dari pembahasan sejarah perjuangan Buleleng pada masa revolusi fisik
1945-1948, dengan menggunakan Monumen Bhuwana Kertha land mark-nya.
Pembahasan monumen perjuangan Bhuwana Kertha diawali dengan pembahasan
latar belakang sejarah perjuangan rakyat Buleleng pada masa revolusi fisik,
terutama sejarah yang terkait langsung dengan perjuangan di daerah monumen
tersebut, sampai akhirnya dapat dipahami secara jelas duduk perkaranya sampai
monumen perjuangan itu berdiri di daerah Panji, yang populer desangan sebutan Monumen
Bhuwana Kertha.
Penulisan sejarah perjuangan yang dipergunakan untuk
memunculkan kebanggaan suatu masyarakat di daerah sudah tentu diawali dengan
mengadakan pemilihan dan pengungkapan peristiwa yang ada hubungannya dengan
sifat-sifat patriotik dan heroik sebuah anak bangsa dimana saja berada. Secara
akademik dapat dipahami munculnya persoalan subyektivitas dalam penulisan sejarah.
Berdasarkan kesadaran tersebut, diusahakan menuliskan bagian-bagian yang lebih
mendekat ke wilayah penggambaran secara umum atau mendekat ke kajian yang
secara teoretis tidak menjadi persoalan bagi masyarakat umumnya. Penggambaran
secara kritis menyimpang dari paradigma pendirian monumen dapat memunculkan
polemik yang dapat diartikan mementahkan dan mencederai semangat patriotisme
para pahlawan yang dengan keikhlasannya berjuang demi berdirinya sebuah negara
merdeka yang dicita-citakan yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penulisan karya ini menggunakan beberapa hasil penelitian
sejarah secara tematis yang telah saya teliti dan juga teman-teman sejawat, dan
mahasiswa di Jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha Singaraja. Di samping itu,
juga menggunakan karya sejarah yang telah dibukukan, hasil sarasehan sejarah,
terutama kesaksian dari para pejuang pelaku langsung. Kritik intern dan ekstern
tetap dipergunakan dalam tulisan ini, karena menggunakan sumber dari berbagai
sudut pandang diperlukan metodologis eklektik untuk dapat menghasilkan sebuah
cerita sejarah yang dapat dipertanggungjawakan secara akademik. Penulisan
sejarah yang sumbernya tidak ditemukan dalam dokumen tidak dapat
dipungkiri sering dalam uraiannya
melebar ke aras teoretis bahkan mengarah rada-rada tulisan berbau filosofis
(filsafat kritis).
Penulisan ini juga telah diawali dengan mengadakan
pembacaan terhadap tulisan sejarah yang membahas Bali Utara semasa revolusi
fisik (1945-1948). Dari hasil pembacaan itu lalu dibanding-bandingkan antarpembahasan
yang sejenis baik dalam buku yang telah tercetak maupun dokumen yang didapat
dari rekaman kesaksian pelaku dalam bentuk tulisan. Terutama yang ditulis oleh
pelaku langsung ketika masih hidup. Baik berupa kesaksian dalam bentuk
autobiografi, makalah, hasil sarasehan,
hasil penelitian secara tematis dan laporan pembangunan sebuah monumen yang
dibuat lengkap dengan beberapa peristiwa sejarah sebagai latar belakang
pembuatannya. Berbagai sumber bahan penulisan tersebut, sangat berguna untuk
menggambarkan perjuangan di daerah sekitar Monumen Bhuwana Kertha, dalam usaha
mewujudkan pewarisan nilai-nilai yang dikandungnya.
Dengan latar belakang sejarah Kota Singaraja sebagai
daerah keresidenan Bali dan Lombok, memberikan banyak keuntungan pada masa
revolusi fisik, karena banyak peristiwa sejarah genting terkait dengan
mati-hidupnya sebuah perjuangan di Bali, berawal dari daerah Buleleng.
Pembahasan beberapa peristiwa yang terjadi masa revolusi fisik di Bali Utara
tidak semuanya dapat dilakukan, mengingat penulisan ini mengaitkan perjuangan
dengan monument Bhuana Kertha. Dengan demikian, beberapa kasus yang menewaskan
beberapa pejuang yang belum termuat dalam dokumen dan buku-buku tidak dapat
dituliskan dalam kesempatan ini, semoga nantinya butir-butir yang tercecer
dapat terungkap dalam penelitian lebih lanjut, sehingga dapat ditambahkan dalam
edisi berikutnya.
Penulisan karena dimaksudka untuk mewariskan nilai-nilai
perjuangan tahun 1945, maka sepantasnya beberapa nilai yang dipesankan oleh
para pejuang untuk direkontruksi dan direproduksi dalam tulisan ini, seperti
harapan Ida Bagus Tantra yang berpesan lewat tulisannya agar beberapa nilai-nilai perjuangan 1945
diwariskan pada generasi penerusnya.
Dengan demikian tulisan ini lebih bernuansa sejarah
pewarisan yang berfungsi edukatif bagi anak bangsa ini. Walaupun pada efilog
dalam tulisan ini menyarankan agar Bhuwana Kertha dikembangkan menjadi objek
wisata monumen. Maksudnya mengembangkan Bhuana Kertha sebagai objek wisata yang
berwawasan sejarah yaitu mengaitkan berbagai peristiwa perjuangan pemuda masa
revolusi fisik di daerah interland-nya,
dengan Bhuwana Kertha sebagai basis pengembangannya. Sebuah ide hanyalah sebuah uraian gagasan
yang dikembangkan oleh seorang pemilik gagasan, namun jika tidak
ditindaklanjuti oleh pemegang kebijakan, maka ide itu hanyalah sebuah gagasan
yang dalam realitasnya bisa jadi musnah ditelan zaman. Namun sebuah cerita
sejarah faktual sangat penting dalam pengembangan sebuah kawasan bersejarah
yang memiliki dasar kesejarahan, sehingga tidak terjadi pemutar-balikan fakta
sejarahnya.
Karya
ini masih perlu penyempurnaan dengan menambahkan foto-foto monumen, tokoh-tokoh
penting perjuangan, pejuang yang menjadi korban yang tertera dalam monument
yang sudah ada dilokasi daerah-daerah perjuangan yang dibahas dalam tulisan ini.
Penulis sangat mengharap kritik, saran dan komentar dari
pembaca, terutama fakta-fakta tercecer yang ada pada pelaku dan keluarga pelaku
demi kesempurnaan tulisan ini. Penulis sadar betul bahwa sejarah tidak pernah
berakhir untuk ditulis sesuai dengan kepentingan zamannya. Karena adanya usaha
untuk membangun Museum Sunda Kecil maka perjuangan di Bali pada masa revolusi
fisik yang diangkat dalam tulisa ini menjadi sangat penting, sebagai awal
untukmelanjutkan perjuangan lainnya di wialayah Sunda Kecil yang wialayahnya
dari Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, sampai Timor. Tulisan mengenai
revolusi fisik di daerah sunda kecil memang sangat minim, oleh karena itu ada
semboyan yang dipegang dalam penulisan ini “tiada rotan akar pun berguna”.
Walaupun
karya ini tidak sempurna, namun untuk mengisi kekosongan buku bacaan terkait
dengan heroisme pemuda berjuang melawan kolonial masa revolusi fisik mejadi
sangat dibutuhkan, sehingga kekurangan itu posisikan pada pepatah yang mengatakan “tak ada gading yang tak retak”.
Akhir kata anggaplah ini sebagai sebuah canang
sari persembahan kepada pahlawan bangsaku, karena sejarah akan mencatat dan memberikan makna dari
kesederhanaan karya sejarah ini, sesuai dengan jiwa dan ikatan budaya zamannya
yang penulis alami. Terimakasih.
BAB
I
PERJUANGAN RAKYAT BULELENG PADA
MASA REVOLUSI FISIK
Dilihat dari sosio-kultural, sebuah perjuangan tentu
memiliki ide, gagasan, dan cita-cita yang melatarbelakanginya. Karena aksi dan
reaksi dalam tindakan perjuangan memiliki penjelasan tersendiri, dengan sudut
pandangnya masing-masing. Jadi latar belakang sebuah perjuangan sangat penting
untuk dikuak secara tuntas, baik berupa latar belakang berupa sebab-sebab umum
maupun sebab khusus (necessery conditions).
1.1
Latar Belakang Perjuangan
Perjuangan nasional memiliki beberapa faktor penyebabnya,
namun pendidikan merupakan faktor utama pendorong munculnya kesadaran Nasional
di Indonesia, karena dengan pendidikan dapat memunculkan elit modern di
Indonesia (Niel:984). Latar belakang sejarah pendidikan di Indonesia erat
kaitannya dengan politik etis, politik balas budi Ratu Juliana Belanda, namun
di Bali dilaksanakan secara pragmatis paraktis (realitas kolonial di Bali) mulanya
diperuntukkan mengisi kekosongan birokrasi atau pegawai rendahan di Hindia
Belanda, yang dipersiapkan melakukan modernisasi birokrasi di Bali. Namun
insane terdidik dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitungnya, kemudian secara
autodidak dapat berkembang mengikuti minatnya.
Tampak
jelas dengan pendidikan mendorong tumbuhnya kesadaran kenbersamaan,
senasib dan sepenanggungan, bahwa dirinya sebagai bagian dari bangsa terjajah,
yang merasa wajib ikut memperjuangkan. Muncullah berbagai organisasi yang
bercorak kebangsaan dengan tujuan menuju kemerdekaan, yang diawali dengan
berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908.
Tokoh-tokoh
pejuang kebangsaan hampir sebagian besar merupakan hasil pendidikan di sekolah
barat. Dengan adanya golongan terpelajar yang mendapat didikan di lembaga
pendidikan kolonial, sehingga kesadarannya untuk mencapai kemerdekaan tidak
harus sepenuhnya dengan senjata api, tetapi harus diikuti dengan strategi
gerakan massa melalui organisasi perjuangan.
Jadi
dapat dikatakan bahwa kesadaran sebagai bangsa terjajah, dengan cita-cita
kemerdekaan adalah tumbuh pertama-tama di kalangan rakyat terdidik, demikian
juga dalam perjuangan di Buleleng dilatari oleh kesadaran dari golongan
terpelajar.
Kekuasaan Belanda secara tiba-tiba
di Indonesia pada tahun 8 Maret 1942 digantikan oleh pemerintahan meliter
Jepang. Kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia disambut baik oleh masyarakat
luas, dari tanggal 1 s.d 8 Maret 1942 Belanda telah bertekuk lutut melalui
perjanjian Kali Tuntang 8 Maret 1942, kedatangan Jepang sudah diawali dengan propaganda
bahwa dirinya sebagai saudara tua Indonesia dan datang ke Indonesia igin
membantu mewujudkan tujuan Indonesia menuju kemerdekaan, dengan menghancurkan
bersama penjajah berkulit putih. Awalnya banyak pemuda terkecoh olehnya karena
penyerahan Belanda terhadap Jepang begitu singkatnya.
Untuk memasung para pemuda pejuang
melakukan kegiatan politik, pemerintah darurat Jepang di Bali menghapuskan
semua bentuk organisasi pergerakan di Indonesia, dengan mengalihkan semua
kekuatan masyarakat Indonesia untuk melawan kekutan sekutu. Organisasi
pergerakan yang sudah ada diubah mejadi organisasi pergerakan yang dikehendaki
pemerintah Jepang, sehingga perjuangan para pejuang Indonesia bergerak di bawah
tanah. Perjuangan kooperasi zaman Jepang merupakan bentuk yang paling aman
dalam sistem pemerintahan darurat yang bercorak facis militer, dari tahun
1942-1945. Bentuk perjuangan bawah tanah di antaranya berjuang dengan sistem
bergerilya (nyilib), berpura-pura dan
dengan tegas di hati mau melawannya. Hanya karena keadaan terpaksa memilih
jalan tidak frontal, karena jalan perjuangan “seharusnya” itu dianalisis, pasti
akan memunculkan kehancuran dan dapat memunculkan banyak korban manusia.
1.2
Pendudukan Tentara Jepang di Bali Utara
Jepang mendarat pertama kali di Bali tanggal 19 Februari
1942, kebijakan melarang semua bentuk organisasi pergerakan kemerdekaan diganti
dengan organisasi yang dikehendakinya seperti, Seinendan, Keibodan, PETA
(Pembela Tanah Air), Fujiinkai, BPSB (Badan Pekerja Sukarelawan Bali), dan
sebagainya. Semua kekuatan ekonomi di arahkan untuk mendukung pemerintahan
Jepang di garis belakang. Sistem ekonomi perang dijadikan alasan mengumpulkan
padi rakyat, uang perak dan kepeng rakyat untuk diangkut ke daerah-daerah
sentral kekuatan logistik Jepang. Rakyat dilarang makan beras, uang bolong dan
perak kekayaan rakyat diangkut ke kapal-kapal Jepang, rakyat diwajibkan
berswadaya dalam pakaian, penerangan, dan berbagai kebutuhan vital sehari-hari
lainnya. Rakyat menggunakan minyak kelapa, minyak kemiri, dan minyak jarak
sebagai bahan penerangan rumah tangga, dan makan makanan yang tidak bergizi
dalam kesehariannya.
Rakyat juga berswasembada dalam pembuatan pakaian, walaupun
banyak penduduk yang membuat pakaian dengan kulit kayu dan serat daun nenas,
bagu dan bahkan ada yang merobek pakaian sanggah, kasur dan sebagainya untuk
sekadar menutupi aurat.
Penyakit busung lapar, kudis, luka-luka lama (koreng) dan penyakit lainnya sangat
akarab dengan rakyat, karena gizi memakannya sangat minim. Makanan pengganti
beras seperti ketela, sagu, nangka, dan tiwul yang tuna gizi itu dibudayakan
karena beras telah diambil Jepang dengan alasan untuk persiapan perang melawan
sekutu. Ditambah kewajiban kerja rodi yang sangat berat dalam menyiapkan sarana
perang seperti lubang-lubang perlindangan, goa-goa yang dipersiapkan menghadapi
sekutu dalam Perang Dunia II. Pendudukan Jepang yang hanya seumur jagung itu
membawa penderitaan rakyat luar biasa, karena adanya pengorbanan fisik dan
psikologis mendalam pada rakyat Indonesia, bahkan ada yang mengatakan
penjajahan Jpang yang hanya 3,5 tahun lebih menderita dari penjajahan Belanda
yang 3,5 abad.
Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu
karena dua kotanya yaitu Hirosima dan Nagasaki dibom atom. Penyerahan Jepang
tanpa sayarat di serukan oleh Kaisar Hirohito kaisar Jepang ketika itu.
Penyerahan tanpa syarat ini mengakibatkan pasukan Jepang dan persiapan perang
Jepang dalam Perang Dunia II di daerah Bali sia-sia, karena satu peluru tentara
Jepang pun belum terpakai.
Kesempatan emas karena adanya kekosongan kekuasaan (vacuum of
power) setelah Jepang menyerah, dipergunakan oleh bangsa Indonesia
untuk memproklamirkan diri pada tanggal 17 Agustus 1945 di Gedung Pegangsaan
Timur No.56 Jakarta oleh Soekarno-Hatta atas nama Indonesia. Pernyataak
kemerdekaan ini bukanlah tanpa rencana, karena jauh sebelumnya Jepang telah
memberikan sinyal agar Indonesia mempersiapkan diri untuk merdeka dengan
membentuk Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hanya
tanggal pelaksanaannya akan diatur kemudian, hal ini adalah waktu karet yang
dalam realitasnya janji itu belum tentu dapat diwujudkan kalau tidak sedikit
paksaan dan Jepang dalam keadaan terjepit. Politik untuk menarik simpati hati
rakyat Indonesia ini sebenarnya telah disadari betul oleh para pejuang
kemerdekaan, karena janji seperti itu sudah pernah dibuat oleh bangsa Belanda
tahun 1918 (janji Limburg Stirum) bahwa Indonesia akan diberikan kemerdekaan di
kelak kemudian hari. Kata diatur kemudian dan di kelak kemudian hari sebenarnya
sangat bergantung pada situasi, jika situasi tidak memaksa karena kemerdekaan
itu adalah sangat merugikan penjajah, tidak mungkin akan diberikan. Dengan
kekerasan atau dengan paksaan pun masih susah apa lagi mengharap ujan dari
langin diberikan hadiah ini adalah sesuatu yang mustahil.
Berita kekalahan Jepang secara resmi baru diakui oleh
pemerintah Jepang di Bali tanggal 23 Agustus 1945 (Cilik,1989:5, bandingkan
dengan Pendit, 1979). Sedangkan berita proklamasi terlambat tersebar ke seluruh
Indonesia, diakibatkan oleh terbatasnya sarana telekomunikasi baik radio,
telegram, televisi, dan sarana komunikasi jarak jauh linnya. Berita proklamasi
Indonesia di Bali beritanya baru sampai tanggal 23 Agustus 1945 dibawa langsung
oleh Mr. I Gusti Ketut Pudja dari Jakarta, sekaligus membawa mandat sebagai
Gubernur Sunda Kecil yang berkedudukan di kota Singaraja, kota bekas
Keresidenan Bali dan Lombok (YKP Daerah Bali,1954:107. Berita Proklamasi itu
akhirnya tersebar ke seluruh pelosok di Bali. Jasa terbesar yang didak dapat
dilupakan adalah peranan beberapa orang pemuda yang bekerja di Kantor Berita
Jepang di Singaraja (Domei) dan peran
organisasi pemuda bernama Angkatan Muda Indonesia (AMI), organisasi ini berdiri
akhir Agustus 1945 di Denpasar, memang dibentuk bertujuan untuk menyebarkan
berita ide dari proklamasi itu agar secara merata mendapat dukungan dari
seluruh rakyat Indonesia, organisasi ini berkedudukan di Badung dan Singaraja.
Bentuk kegiatannya adalah membagi-bagikan Lencana Merah-Putih, aksi pemasangan Bendera
Merah-Putih di tembok-tembok strategis, dan mengibarkan Bendera Merah Putih
sebagai gerakan awal untuk menarik perhatian dan kesadaran masyarakat.
Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID) dibentuk, sebagai wujud pembenahan struktur
kekuasaan di tingkat negara. Dengan pernyataan proklamasi perlu segera disambut
dan konsolidasi untuk mempertahankannya, inilah ditindak lanjut pembenhan
struktur penyangga kemerdekaan di tingkat nasional. Di samping berdiri Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID) juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan
Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk mengisi negara secara struktural pada
tingkat awal. Jika dukungan rakyat tidak ada dan tidak merata adanya maka
pernyataan proklamasi itu akan menjadi sejarah yang tanpa makna, bahkan hilang
tidak ada rimbanya. Proklamasi adalah titik kulminasi perjuangan rakyat
Indonesia, pernyataan proklamasi dilontarkan oleh anak bangsa yang jiwa
zamannya memang menghendaki kemerdekaan itu sesegera mungkin, terutama ambisi
dari golongan pejuang muda. Karena sebuah pernyataan politik memiliki
konsekuensi politik pula maka apapun resikonya pasti didukung sepenuh hati oleh
bangsa Indonesia yang memang jiwanya telah mendidih ingin merdeka, pematangan
situasi dan kondisi bangsa yang selalu sebagai warga negara nomor tiga setelah
bangsa kulit putih dan golongan timur asing di negeri sendiri.
1.3 Penyebaran Berita Proklamasi
dan Reaksi Masyarakat di Bali
Penyebaran berita proklamasi keseluruh tanah air,
termasuk dukungannnya pada awal kemerdekaan serta bagaimana intrik-intrik yang
ada dalam dokumen yang dicatat oleh Belanda, tentang kerja seorang propagandis
Soekarno ke Bali dalam Officiele
Bescheiden Betreffende de Nederlands-Indonesische Betrekkingen 1945-1950,
disusun oleh Dr. S.L. Van der Wal (1972:122)
yang dilukiskan tentang kesan-kesan Sukardani mengenai reaksi masyarakat Bali
terhadap Proklamasi Kemerdekaan sebagai berikut:
Tanggal 28 September: tiba di Negara dan menginap di
sana di rumahnya Gusti Gede Winaya. Hanya di kantor-kantor saja berkibar
bendera merah putih, sudah jelas bahwa rakyat menginginkan merah-putih,
menginginkan suatu rapat propaganda. Para pemuda menyatakan siap untuk
mengikuti jejak rekan-rekannya di Jawa. Secepat mungkin akan didirikan BKR
(Badan Keamanan Rakyat); AM (Angkatan Muda) telah ada di bawah naungan putra
raja Negara. Setelah rapat propaganda terlihat merah-putih dimana-mana.
Hampir sebulan (28 September 1945) setelah proklamasi
rakyat Bali masih menunggu situasi yang ada di Jawa, karena merasakan perlunya
koordinasi dari pimpinan pusat. Kerajaan Negara dan para pemudanya telah siap
menerima instruksi dari atasannya di Jawa (a.n. Soekarno-Hatta). Rapat
propaganda dimaksudkan adalah sosialisasi secara umum dari pimpinan resmi,
sehingga rakyat tidak salah langkah dalam situasi genting seperti itu.
Bandan-badan penyangga seperti Badan Keamanan Rakyat, Organisasi Pemuda dan
organisasi politik lainnya, seperti Partai Nasional Indonesia yang bertujuan
merdeka telah disiapkan).
Tanggal 29
September: berangkat ke Singaraja dan tinggal di sana di rumahnya I Made
Putu (Ketua muda KNI (Komite Nasional
Indonesia) Di Singaraja belum banyak ditemukan merah-putih. Belum terjadi
peristiwa- peristiwa seperti di Jawa. Minseibu (Pemerintah Sipil di
WilayahAngkatan laut) masih memegang kekuasaan. Dari kedelapan raja Bali, hanya
seorang yang mengikuti jejak Sola dan Yogya; akhirnya mereka semua setuju untuk
mengirim utusan-utusan ke Solo, Yogya, dan Jakarta untuk melihat keadaan di
sana. Kemudian mengadakan kunjungan ke rumahnya Mr. Pudja (Gubernur Sunda
Kecil). Mr. Pudja sangat gembira mendengar berita-berita dari Jawa. Bali dapat
diumpamakan sebuah dokar, saisnya adalah Mr. Pudja, kudanya kedelapan raja,
penumpangnya rakyat. Dari 1.300.000 orang Bali hanya 300 orang dapat mengikuti
jiwa zaman baru.
Kunjungan
itu (ke rumahnya Mr. Pudja) dilakukan untuk dapat mengirim seorang pemimpin
penting dari Jawa untuk mengikat hati raja-raja di Bali, oleh karena KNI di
Singaraja masih sedikit pengikutnya. Ketua muda KNI setempat, I Made Putu, akan
melakukan kegiatan-kegiatan agar Singaraja menjadi pro kemerdekaan Indonesia.
Pengumpulan
informasi untuk menyikapi reaksi rakyat, pimpinan pusat mengirim kurir sebagai
perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk mengumpulkan data dan merekan situasi
nyata apa yang terjadi di daerah-daerah, seperti di Singaraja sampai tanggal 29
September 1945 belum banyak masih latah yang menyadari betapa pentingnya
kemerdekaan itu (hanya sekitar 300 orang dari 1.300.000 orang). Pemuda I Made
Putu salah satu pemuda yang ketika itu menyambutnya dengan rela menunjukkan
dirinya sebagai Komite Nasional Indonesia Daerah dan sekaligus sebagai ketua
BKR Buleleng (Ngurah,1989:59). Selain dia masih mencari orang lagi untuk ikut
sebagai anggota KNID dan BKR, (nampaknya tidak seperti perebutan sebagai
anggota DPR sekarang pada jiwa zaman ekonomi pasar) pada saat itu KNID memang
betul-betul mewakili rakyat dalam konteks situasi yang gawat. Raja-raja di Bali
masih setengah hati mendukung kemerdekaan, karena dukungannya akan menghancurkan
status quo-nya sebagai raja, dan
harus mengakui kekuasaan lain yang ada di atasnya. Oleh karena itu Mr. Pudja
sebagai mandataris pusat untuk daerah Sunda Kecil berusaha untuk menyadarkan
para raja di Bali (Dewan Raja-raja) agar mendukung proklamasi ini, sebagai
wujud kehendak rakyat untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Tanggal 30-9:
berangkat ke Denpasar dengan mobil KNI; dalam perjalanan ketemu T.N. Mitra. Di
Denpasar tinggal di rumahnya Ketut Kaot; tidak banyak bendera merah-putih;
dilaporkan dalam minggu sebelumnya pernah selama beberapa hari sama sekali
tidak terlihat merah-putih, oleh karena seorang Eropah tinggal di tempat. Malam
harinya menghadiri pertemuan di rumahnya raja Badung, yang diadakan oleh KNI
Denpasar, dimana kira-kira hadir 100 orang.
Tanggal 1
Oktober : dalam rapat propaganda diputuskan, bahwa dengan bantuan para guru dan
lain-lain orang terkemuka akan didirikan cabang BKR, hal mana terlaksana pada
tanggal 2 -10. Murid-murid jalan keliling untuk menempelkan plaket-plaket dan
memasang bendera-bendera merah-putih kecil di rumah-rumah, toko-toko,
mobil-mobil dan lain-lain kendaraan, setelah mana Denpasar kelihatan
merah-putih. Malamnya atas permintaan murid-murid dari pelbagai sekolah
menghadiri rapat di Sekolah Taman Dewasa. Hadir 300 murid dengan para gurunya
dari SM, SP, dan SG. Jam 9 malam Dasuki datang membawa berita, bahwa oleh radio
Jakarta diumumkan bahwa pada 30-9 Kemerdekaan Indonesia diakui oleh
“Internasional” (Rusia, Amerika, Cina). Setelah itu dalam suasana gembira
dinyanyikan Lagu Indonesia Raya sambil berdiri.
Tanggal 2-10:
Jam 10 pagi timbul aksi kontra untuk menurunkan merah-putih di Denpasar, hal
mana segera dapat dicegah oleh BKR yang baru didirikan.
Dari Denpasar
via Gianyar dan Kelungkung ke Padangbai, dimana menginap pada Mantri Boom
(pegawai duane).
Di Gianyar sama
sekali tidak terlihat merah-putih. Atas pertanyaan, raja menerangkan tidak
dapat memberi perintah untuk mengibarkan merah-putih, selama ia tidak menerima
perintah untuk itu dari atasan, dari Minseibu atau dari Gubernur Mr. Pudja.
Lebih jauh raja
merasa gembira atas perubahan-perubahan di Denpasar, Kelungkung sama dengan
Gianyar.
Di Padangbai
tidak ada kelihatan merah-putih. Orang-orang Jepang di sana bersikap sangat
baik terhadap orang-orang Indonesia. Banyak pemuda menggunakan lencana
merah-putih. Seorang Jepang menyatakan sangat berkeinginan menggunakan lencana
merah-putih.
Sangat berbeda di Denpasar yang menunjukkan pro dan
kontra dalam pemasangan bendera merah-putih dan atribut kemerdekaan lainnya.
Aksi pemasangan bendera pernah dilarang oleh golongan elit tertentu dalam hal
ini golongan status quo. Hal ini
dapat dilihat dari pemasangan bendera tanggal 2 Oktober 1945 ada reaksi agar
dilakukan pencabutan terhadap pemasangan semua atribut itu, untuk BKR dengan
sigap dapat mengantisipasinya sehingga tidak terjadi trust. Ini juga secara maknawi ada golongan tertentu yang masih
home di dalam penjajahan, karena dengan penjajahan dapat menikmati kursi empuk
tanpa melihat akibat yang ditimbulkan oleh kursi empuk itu. Bahkan di daerah
Kelungkung, Gianyar, dan Karangasem sama sekali tidur, diam tidak melakukan
apa-apa, atas pertanyaan dari kurir mengapa pasif dijawab dengan berdalih tidak
ada perintah dari pemerintah Jepang dan atau Sunda Kecil Mr. Pudja.
Dari sini kita dapat belajar, ternyata kedudukan/kursi
empuk dapat melupakan segala-galanya termasuk penderitaan rakyat, raja dalam
hal ini dapat dijelaskan dengan mudah karena memang serba sulit, dia selalu
menjadi incaran dari semua kekuatan
untuk dibantu menanamkan dan mempertahankan kekuasaannya, raja sebagai panutan
rakyat memegang peranan yang sangat penting. Kepengikutan rakyat pada rajanya
di Bali sangat erat kaitannya dengan sifat masyarakat feodalistik/
paternalistik bahkan dibeberapa daerah masih bersifat “kultus dewa raja”, yaitu
mendewakan raja sebagai dewa nyalantara
yang patut disungsung di dunia ini.
Dari kesaksian Sukardani ini dapat diketahui bahwa
sambutan terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak merata. Hanya 300
orang yang diperkirakan sangat antosias terhadap perubahan zaman dari
penjajahan ke kemerdekaan. Sedangkan 1.000.000 orangnya lagi tidak tahu menahu
(apatis). Di Denpasar masih terjadi pro dan kontra, terbukti dari aksi beberapa
mayarakat menurunkan merah-putih hasil jerih payah anak-anak sekolah dan para
guru untuk memasangnya pada tanggal 2 Oktober 1945. Peranan BKR walaupun baru
didirikan ternyata sangat penting dalam situasi genting seperti itu, walaupun
baru saja didirikan. Raja-raja sangat taat pada perintah karena mereka memiliki
peranan sebagai mediator dari berbagai kepentingan.
Mr. I Gusti Ketut Pudja sebagai Gubernut Sunda Kecil pada saat itu nampaknya penuh
keraguan untuk memberikan instruksi untuk mengibarkan bendera merah putih dan
menggunakan lencana dan atribut kemerdekaan lainnya. Sehingga raja Gianyar dan
Kelungkung, bahkan sampai ke Karangasem, hingga tanggal 2 Oktober1945 belum
berani mengintruksikan atau madedauh
pada rakyatnya untuk mengibarkan bendera merah putih sebagai simbol dukungan
masyarakat luas terhadap pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta pada saat
itu, yang merupakan penjeamaan dari Proklamasi 17 Agustus 1945.
Negara yang baru berdiri memerlukan pemerintahan yang
dapat menjalankan ketertiban umum dan kepentingan umum, seperti halnya
pemerintahan di Sunda Kecil tidak luput dari berbagai permasalahan. Masalah
yang muncul pada pemerintahan Gubernur Sunda Kecil saat itu, antara lain: (1)
apakah berita proklamasi itu diumumkan atau tidak, (2) bagaimana caranya mengambil
alih kekuasaan dari tangan pemerintahan Jepang yang memegang mandat dari sekutu
ke pemerintah Republik Indonesia, (3) bagaimana kedudukan masing-masing
swapraja yang di bawah kekuasaan raja-raja yang ada di Bali. Semuanya itu
menjadi persoalan karena pemerintahan Jepang di Bali masih kuat dan mendapat
mandat dari sekutu untuk mempertahankan status
quo. Sebagai negara kalah perang, sulit melepaskan tanggung jawab yang
dimadatkan padanya. Sementara di pihak lain, desakan para pemuda agar
pernyataan proklamasi itu harus diumumkan, dan kekuasaan dari tangan Jepang
harus direbut sebelum sekutu datang. Desakan itu disampaikan kepada pemerintah
pusat, namum semuanya diserahkan pada daerah untuk mengambil weweng penuh utuk
melakukannya mandat perjuangan bersama dalam revolusi fisik itu. Dengan
demikian langkah-langkah yang diambil oleh Gubernur Sunda Kecil saat itu
adalah:
1.
mengajukan tuntutan pada pemerintahan
mandataris Jepang Cookan (kepala
pemerintahan Sunda Kecil Jepang) agar bendera Matahari Terbit Jepang diganti
dengan Bendera Merah Putih.
2.
Pemberlakuan Waktu Jepang diganti dengan
Waktu Indonesia.
3.
Situasi perang dihentikan di
kantor-kantor pemerintahan.
4.
Pemerintahan dikantor-kantor dipegang
oleh bangsa Indonesia dengan mengnonaktifkan pegawai asing Jepang.
Tuntutan itu ditolak oleh Cookan Jepang, dengan alasan pemerintah Jepang di Indonesia
menpertahankan mandat sekutu untuk mempertahankan status quo sampai sekutu datang ke Indonesia. Dengan demikian maka
jalan damai diangap gagal, maka diputuskan untuk menggunakan jalan kekerasan
(revolusi). Mulailah muncul gerakan pengambil-alihan secara paksa dikenal
dengan revolusi fisik di Bali. Diawali dengan mengadakan pendekatan pada
swapraja di bawah Raja-raja di Bali.
Badan Keamana
Rakyat (BKR) di Bali di bawah pimpinan I Made Putu bekas daidanco dari daidan
negara, asrama BKR Buleleng ada di Desa Beratan Singaraja. Sedangkan I Nyoman
Pegeg sebagai ketua BKR Badung yang didirikan 14 Oktober 1945 memiliki peranan
yang amat penting, karena dia mengajak I Gusti Ngurah Rai dengan datang ke
Carang Sari (kediamannya) untuk ikut bergabung dalam BKR, dan beliau menyatakan
kesiapannya untuk mengabdi pada RI walaupun sebelumnya dia telah disumpah oleh
Belanda dalam Pasukan Prayoda. Selanjutnya dia keliling ke seluruh swapraja di
Bali untuk menemui bekas prayoda untuk bergabung dalam BKR sehingga anggota BKR
menjadi bertambah banyak dan mendapat anggota pasukan yang telah profesional
karena telah mendapat latihan dari tentara Belanda sebelumnya. BKR Tabanan
dibentuk Oktober 1945 terpilih sebagai Ketua adalah I Gusti Wayan Debes, dengan
Wakilnya I Ketut Widjana (Pak Item Banjar dari Petak Buleleng). Menyusul
pendirian BKR di daerah swapraja lainnya.
Persenjataan BKR sangat minim sehingga usaha untuk
mendapatkan senjata diputuskan untuk mengirim utusan ke Jawa pertama ke
Surabaya dengan dr Mustopo dari BPRI gagal mendapatkan senjata karena sedang
ada pertempuran 10 Nopember 1945. Pertemuan Bongkasa (Bandung) memutuskan
perjuangan untuk mendapatkan senjata akan dilanjutkan dengan mengirim utusan ke
Jawa melalui Celukan Bawang 19 Desember 1945. Sementara di Bali konsolidasi
terus dilakukan.
Tanggal 2 Maret 1946 pasukan Gajah Merah dari kesatuan
Brigade X dan XI mendarat di Sanur , kemudian menyebar ke seluruh Bali
menduduki semua Tangsi Jepang. Membagi diri menjadi tiga bagian Gianyar di
bawah komando Kapten Cassa; Kelungkung Karangasem dan Bangli di bawah Letnan
Groet; Tabanan Negara dan Singaraja di bawah komando Kapten Ter Wilde (Pusdok
Kebudayaan Bali, 1989: 63).
mendesak Gubernur Sunda
Kecil untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang. Dari desakan itu
akhirnya ke luar ultimatum bahwa perintahan Sunda Kecil “tidak dapat menjamin
keselamatan Cookan”. Dilanjutkan
adanya demontrasi menuntut “kemerdekaan” dan penyerahan kekuasaan Jepang
sehingga Cookan menyerahkan
kekuasaannya pada Gubernur Sunda Kecil pada tanggal 8 Oktober 1945.
Selanjutnya untuk kelengkapan badan negara dalam situasi
darurat KNID Sunda Kecil dibentuk bulan Oktober 1945 keanggotaannya ditambah
dari beberapa daerah yang tidak terwakili. Tambahannya adalah muncul nama-nama
I Gusti Bagus Oka dan I Nengah Metra. Dengan tugas menbantu pemerintahan Gubernur
Sunda Kecil dalam melaksanakan fungsinya sehari-hari. Pimpinan KNID di
masing-masing daerah adalah Ida Bagus Indra (Buleleng), I.G.A Putu Pemahayun
(Jembrana), I Kt. Buwana (Tabanan), I Gusti Putu Merta (Bandung), I Made Otar
(Gianyar), I Putu Gede (Kelungkung), Ida Bagus Made Kaler (Bangli) dan I Ketut
Gebun (Karangasem) (Pusdok Kebudayaan Bali, 1989:60).
Oleh karena status swapraja belum jelas, maka pelaksanaan
pemerintahan RI di daerah-daerah swapraja dilaksanakan oleh swapraja dan KNID
yang ada di masing-masing swapraja, dengan aparat pemerintahan dari swapraja,
kecamatan sampai ke desa-desa.
Kedatangan Widjakusuma dari Surabaya pada akhir September
1945, pemuda yang bergabung dalam AMI, Perprim dan sebagainya yang bergerak di
bawah tanah, sepakat untuk melebur diri menjadi satu organisasi yang bernama
PRI, karena AMI dirasakan masih berbau Jepang. Akhirnya disetujui untuk
membentuk organisasi PRI, dengan susunan kepengurusannya sebagai berikut.
Ketuanya I Made Widjajakusuma. Wakil
ketua Cokorda Ngurah Agung, Seksi keamanannya Ida bagus Tantra dan Nyoman Mantik.
Seksi perlengkapannya I Made Sugita dan Gede Windia. Dan Seksi Penerangan Ida
Bagus Sadnya dan Suetja. Bermarkas di Alun-alun Denpasar. Dari markas inilah
aksi-aksinya dilanjutkan seperti yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Selanjutnya dibentuk organisasi di masing-masing swapraja
saat itu. Di Jambarana pimpinan dipegang oleh I Gusti Ngr. Sumarma, Tabanan
oleh Ida bagus Sadnya, Gianyar Cokorda Anom Sandat, Bangli Ida bagus Oka
Yadnya, Klungkung Ida Bagus Asigawa, dan Karangasem I Made Ngurah Yudana
(Pusdok Kebudayaan Bali, 1989:61).
Situasi gawat itu memunculkan banyak terjadi bentrokan dan pertempuran terbuka dan secara
gerilya antara pejuang dengan penjajah baik Jepang maupu NICA. Beberapa
pertempuran yang terjadi di Bali Utara dalam mempertahankan kemerdekaan
diuraikan beberapa yang terekam. Sedangkan banyak pertempuran lainnya yang
belum bisa diuraiakan dalam tulisan ini, karena keterbatasan dana dan waktu
untuk itu. Karena penelitian sejarah memerlukan waktu khusus untuk membongkar
arsip dan wawancara mendalam dengan beberapa sisa pelaku revolusi itu. Berikut
akan dibahas beberapa pertempuran yang terjadi sebelum terjadinya Puputan
Margarana.
4. Pertempuran
Daerah Buleleng Sebelum Puputan Margarana
4.1
Peristiwa Bendera di Pelabuhan Buleleng
(27 Oktober 1945)
Setelah peristiwa menyerahnya Jepang kepada sekutu 15
Agustus 1945, bekas KNIL (Koninklijke
Netherland Indische Leger) tentara kerajaan Belanda setelah terlebih dahulu
dilatih di Singapura, datang ke Indonesia berjumlah sekitar 1000 orang. Di
antaranya ada pula yang dikirim ke Buleleng mendarat di Pelabuhan Buleleng yang
menimbulkan konflik pertama di Buleleng.
Kapal Serikat “Abraham Grijns” berlabuh di Pabean
Buleleng, serdadu KNIL banyak turun ke darat mengangkut aneka barang seperti
beras dan buah-buahan dibawa ke atas kapalnya. Perahu yang mengibarkan Sang
Dwiwarna ditrunkan oleh KNIL, demikian juga penduduk banyak yang diangkut ke
atas kapal, kemudian dilepaskan. Mendengar peristiwa ini maka para pemuda di
bawah pimpinan Ketua BKR bernama I Made Putu menjadi terpanggil untuk
membelanya.
Pada hari ketiga (27 Oktober 1945) situasi menjadi
memanas, karena para pemuda siap-siap membela Sang Merah-Putih. Aksi serdadu
KNIL pergi ke kantor-kantor Sunda Kecil menurunkan Bendera Merah Putih. Ketika
penurunan Bendera Merah-Putih di depan kantor Bea-Cukai KPM dilakukan oleh KNIL
dengan bendera Belanda Berwarna
Merah-Putih-Biru, para pemuda penurunkannya kembali diganti dengan Bendera
Merah-Putih. Serdadu KNIL menembakinya sehingga I Ketut Merta dalam peristiwa
itu gugur sebagai kusuma bangsa Indonesia, khususnya pahlawan Buleleng.
Para pemuda akhirnya mengundurkan diri sambil mengatur
strategi perjuangan berikutnya. Pemuda kembali menurunkan bendera mengganti
bendera triwarna Belanda dengan bendera dwiwarna Merah Putih, pihak KNIL tidak
berani turun. Selanjutnya kapal Abraham Grijns meninggalkan Pabean Buleleng
menuju Pelabuhan Benoa. Di Denpasar NICA
juga ditolak oleh para pemuda dengan mengadakan demontrasi para pemuda menolak
NICA berlabuh di Benoa.
Peristiwa 27 Oktober itu menjadi sejarah peristiwa
pertempuran pertama di Buleleng dan Bali dalam menolak kedatangan Sekutu yang
diboncengi NICA datang ke Bali. Semangat
proklamasi perlahan dan pasti mulai bertumbuh di kalangan hati rakyat
dipelopori oleh para pemuda dan pejuang Buleleng saat itu.
4.2 Pertempuran di Ringdikit (23 Maret 1946)
Adanya peristiwa Bendera di Pelabuhan Buleleng di atas
memberikan keyakinan pada masyarakat Ringdikit bahwa suatu ketika NICA akan
datang lagi ke Ringdikit. Apalagi stelah kemerekaan pasukan Jepang dengan para
pemuda pejuang sering terjadi bentrokan, seperti misalnya peristiwa bentrokan
fisik pemuda dengan pasukan Jepang di Tangsi Banyumala dan Banjar Tegal
Singaraja (Pendit,1979:97).
Usaha untuk merebut senjata oleh pejuang di berbagai
Tangsi Jepang dilakukan, seperti misalnya di Tangsi Seririt pada saat yang sama
dengan peristiwa Banyumala tanggal 15 Desember 1945. Perebutan itu dipimpin
oleh Putu Dana dari Bubunan. Sedangkan pemuda dari Ringdikit yang ikut
melakukan perebutan senjata saat itu adalah Made Mataram, Nyoman Gara, Made
Naliya dan sebagainya. Perebutan senjata di tangsi Jepang di Bali menglami
kegagalan, sehingga dicari alternatif untuk meminta Bantuan senjata dan
pasukan ke Jawa dipimpin oleh I Gusti
Ngurah Rai. Usahanya berhasil dan mendapat dukungan moral dan bantuan dari
pemerintah RI pusat. Terbukti pemerintah mengirim pasukan dengan senjata ke
Bali, yaitu pasukan M (Markadi) yang disiapkan di Malang oleh pemerintah pusat,
di bawah pimpinan Markadi. Juga pasukan Waroka (ALRI) yang dipersiapkan di
Banyuwangi. Dan Pasukan MGGSK (Markas Gabungan Gerakan Sunda Kecil) dipimpin
oleh Suryadi.
Awal peristiwa Ringdikit, suatu ketika terdengar kabar
bahwa Ringdikit akan dibakar oleh NICA, karena diketahui bahwa Desa Ringdikit
sebagai basis para pejuang di Buleleng Barat. Waktu itu markas Buleleng Barat
dipimpin oleh Dewa Made Rai, dengan Kepala Stafnya B.Putu Merta Pastima, dengan
pasukan yang terdiri dari dua regu. Tersebarnya berita tersebut, pasukan barat
melakukan perencanaan memutus Jembatan Mayong, strategi bumi hangus ini
dimaksudkan untuk mencegat pasukan di daerah itu. Rencana itu gagal karena para
pemuda terlambat datang sedangkan pasukan NICA sudah lewat beberapa menit
sebelumnya. Penghadangan itu dilakukan oleh Dewa Made Rai, Bung Ali (orang
Jepang), ditambah bantuan dari pasukan Waroka.
Pemuda langsung menuju Desa Ringdikit untuk menghadapi
secara gerilya pasukan NICA, karena diketahui oleh Belanda mereka menembaki
para pemuda. Mendengar adanya tembakan pasukan Dewa Made Rai memutar ke arah
bukit bagian barat. Di sana terjadi tembak menembak, untuk mendapatkan stelling
(tempat berlindung yang aman) Dewa Made Rai pindah ke bukit bagian timurnya
lagi, saat menyebrang ke timur bukit itulah Sersan Pele tertembak, karena stelling NICA sudah terlebih dahulu
menghadangnya di daerah itu (lihat Tim Jurusan Sejarah, 1982:180).
Pertempuran Ringdikit dapat dikatakan merupakan
pertempuran pemuda melawan NICA. Dapat dibuktikan dengan analisis vetran
pejuang Ringdikit yang mayoritas umurnya masih muda, lihat tabel berikut.
Tabel
01: Penggolongan Anggota Veteran Ringdikit Berdasarkan Umur Pada Waktu Berjuang
No.
|
Golongan
Umur
|
Banyaknya/Orang
|
Prosentase
|
1.
|
Di
bawah umur 21 tahun
|
-
|
-
|
2.
|
Umur
antara 21-45 tahun
|
115
|
82,73%
|
3.
|
Umur
di atas 45 tahun
|
24
|
17,27%
|
Total Veteran
|
139
|
100%
|
Sumber:
Daftar Anggota Veteran tahun 1959/1967; lihat Hasil Penelitian Tim Jurusan
Sejarah 1982:179).
Apabila diperhatikan tabel di atas maka dari 139 vetran
yang ada 115 Orang (82,73%) umur 21-45 tahun yang tergolong ke dalam kaula
muda, sisanya 24 orang (17,27%) dari golongan tua rata-rata umur di atas 45
tahun. Sehingga semangat berjuang dijiwai oleh emosi anak muda, sedangkan otak
perjuangannya, terutama disiplin berjuang dikendalikan oleh tokoh-tokoh
masyarakat Desa Ringdikit.
Dalam pertempuran itu Belanda jauh lebih banyak sehingga
pemuda kewalahan dalam pertempuran itu. Pemuda mundur perlahan-lahan dijaga
oleh tembakan Bung Ali. DICA juga mundur ke Singaraja, sambil membakar habis
pemukiman penduduk Desa Ringdikit. Di pihak pemuda gugur 5 orang pejuang, yaitu
Dewa Made Rai, Pele dan Suryadi ditambah 2 orang penduduk desa. Kemandan
pasukan Dewa Made Rai karena gugur diganti oleh Jaya. Pasukan Waroka kembali
menyebrangi selat Bali, karena lama terkatung-katung di laut sampai mengalami
kelaparan dan banyak meninggal, hanya
beberapa saja yang sampai kembali ke Banyuwangi, sedangkan pihak NICA tidak
diketahui secara pasti apakah ada yang gugur atau tidak (lihat Mirsha,
1985:60).
4.3
Pertempuran di Banjar Jawa Singaraja (4 April 1946)
Pasukan NICA sering juga disebut pasukan Gajah Merah,
telah menguasai Singaraja tanggal 5 Maret 1946. Mereka mengadakan kontak dengan
Pemerintahan Sipil Sunda Kecil. Kedatangannya disebut-sebut sebagai pasukan
bertugas melucuti tentara Jepang. Pejuang telah menyadari bahwa setelah Jepang
tidak ada maka yang melanjutkan pemerintahan adalah orang Belanda dengan baju
baru NICA. Kemudian mereka melakukan tindakan nekat, yaitu menangkap Gubernur
dan Ketua KNI Sunda Kecil dan beberapa pegawai lokalnya. Tindakannya ini sangat
membangkitkan rasa jengah para pemuda
di Banjar Jawa, apalagi tanggal 27 Oktober 1945, tentara NICA telah membuat
keonaran di kota Singaraja, yang sekarang dikenal dengan Peristwa Bendera di
Pabean Buleleng (YKP Daerah Bali, 1954:107).
Mengahadapi kesewenang-wenangan pasukan NICA yang semakin
hari menjengkelkan hati para pemuda terlihat dari perilakunya sehari-hari,
dengan aksinya menurunkan Sang Saka Duiwarna di kantor-kantor pemerintah,
menangkapi mereka yang dicurigai memliki ling dengan pejuang. Menaggapi situsi
seperti itu, pada tanggal 16 Maret 1946 para pemuda mengadakan pertemuan di
Banjar Jawa Singaraja di bawah pimpinan I Gede Muka Pandan dan Kompiang Sujana.
Dalam rapat itu dibicarakan bagaimana caranya mendapatkan senjata. Diputuskan
untuk menyerang Banyumala, dan mengirim utusn ke Jawa untuk minta bantuan
sejata. Pemuda Sumpena menjadi kurir penghubung antara pemuda dengan Gubernur
Sunda Kecil. Upaya mempermudah koordinasi pasukan digabungkan menjadi TKR untuk
memudahkan mengemandonya.
Kejengkelan pemuda Banjar Jawa memuncak melihat sepak
terjang NICA di Singaraja, sehingga tanggal 4 April 1946, I Gede Muka Pandan
dengan pasukannya berada di Banjar Jawa, mengadakan konsolidasi kekuatan
rakyat. Rupanya AP Gandek Belanda menciumnya sehingga sampai ke telinga NICA.
Kekuatan Belanda satu peleton dibantu oleh cecunguknya
melakukan penggrebegan terhadap tempat I Gede Muka Pandan. Akhirnya terjadilah
tembak menembak yang mengakibatkan I Gede Muka Pandan tewas dalam kontak
senjata itu. Peristiwa ini sangat mengagetkan para pemuda karena otak
pejuangannya dan orang yang diandalkan dalam perjuangan di Buleleng telah
gugur, sedangkan korban di pihak NICA tidak diketahui secara pasti (Mirsha,
1985:68).
Peristiwa ini tidak mengendorkan semangat para pejung untuk
memperjuangkan haknya. Dengan dasar keyakinan bahwa jika gugur dalam medan laga diyakini swarga
akan menjadi tempatnya yang abadi. Filosopi ini menjadi pegangan utama dan
menjadi sepirit para pejuang dalam melawan musuh yang bersenjata modern dan licik
menggunakan orang-orang kita sebagai kaki tangannya dengan iming-iming uang dan
kedudukan dalam pemerintahannya.
4.4
Pertempuran Bebetin ( 9 April 1946 )
Desa Bebetin dekat dengan daerah perjuangan Jagaraga,
para pejuang yang bergerak di daerah ini termasuk sektor timur, di bawah
pimpinan I Nengah Tamu (Cilik). Semenjak Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan
daerah ni telah menjadi basis perjuangan para pemuda. Bagaimanapun juga
semangat puputan Jagaraga yang terjadi tahun1849 di bawah pimpinan I Gusti
Ketut Jelantik trah Karanmgasem itu masih memberikan spirit pada para pejuang.
Basis perjuangan itu akhirnya sampai ke telinga NICA
berkat penghianatan para Anti Pejuang (AP Gandek) yang bertempat tinggal di
Desa Sangsit pada saat itu. Mengetahui adanya basis perjuangan di Bebetin, maka
NICA akhirnya memutuskan untuk menyerangnya pad tanggal 9 April 1946. Melihat
kondisi para tentara NICA dengan persenjataan modern, maka para pejuang
mengundurkan diri dan terus melakukan perlawanan dengan cara gerilya.
Perlu dijelaskan adanya AP (Gandek) yang secara umum
memunculkan gerakan reaksioner disebabkan oleh adanya gerakan faksionisme dalam
tubuh perjuangan atau orang barat menyebutnya sebagai “puri rivalries”.
Semuanya ini menunjukkan pentingnya peranan kelompok-kelompok (faksi-faksi)
bagian dalam perjuangan yang bersaing untuk mendapatkan kepentingan kelompoknya
(lihat Widja,1991).
4.5
Pertempuran di Kilometer 17 Daerah Pangkung Bangka Gitgit
Persenjataan yang dimiliki oleh Staf Selatan yaitu Markas
Kusuma Yuda sangat terbatas, dan sulit mendapatkan senjata, maka pada suatu
hari pasukan yang sedang melakukan tugas pengawalan dipanggil untuk berkumpul,
untuk menerima perintah baru yaitu melakukan pengadangan pasukan NICA di
Kilometer 17 dekat Pangkung Bangka di
Gitgit atas.
Semua senjata yang ada dikumpulkan menjadi satu, tetapi
karena akan dipakai melakukan penghadangan dibagikan kembali. Penembak mahis
mendapatkan senjata laras panjang , sedangkan yang lainnya mendapatkan geranat
tangan ebih banyak dari biasanya. Penembak mahirnya tercatat I Ketut Mas dari
Sukasada, yang sebelumnya sudah banyak melakukan tugas penembakan ketika masih
bergabung dengan Prayoda. Koordinasi dan strategi penghadangan dilakukan oleh
pucuk pimpinan Staf Selatan.
Waktu telah senja pasukan diberangkatkan menuju tujuan
(Km,17 Gitgit) dan tengah malam tiba di tujuan, cuaca sangat dingin, sehingga
besok paginya baru baru dilakukan pembagian tugas seperti telah direncanakan
dan arahan dari pimpinan Staf Selatan. Selanjutnya masing-masing mencari stelling yang strategis dan yang
memungkinkan tepat sasarannya. Tidak lama kemudian terdengar bunyi teruk NICA
dan derunya pun semakin jelas. Truk NICA satu per satu masuk perangkap para
pemuda, tetapi instruksi belum diberikan oleh I Gusti Ngurah Mayor, saat yang
baik kemudian baru instruksi diberikan. I Ketut Mas mengawali dengan menembak
sopir truk NICA yang mengakibatkan teruk NICA jatuh ke tebing, sedangkan
pasukan lainnya melemparinya dengan Geranat Tangan. Kemudian terjadi tembak-menembak,
pasukan NICA membalas dengan senjata otomatisnya. Pertempuran terjadi sangat
sengit beberapa jam. Pasukan penghadang kehabisan peluru dan geranat. Dalam
pertempuran ini I Ketut Mas sebagai penebak mahirnya gugur dalam pertempuran
itu, sedangkan pasukan NICA satu teruk dapat dihancurkan. Akhirnya pasukan
mengundurkan diri kembali ke markasnya. (Pendit, 1979:161, lihat Mirsha,
1985:82).
Pertempuran ini sangat seru, pasukan Markas Selatan
kekurangan peluru sehingga tidak sanggup menghadapi pasukan NICA yang
bersenjata otomatis. Keterbatsan amunisi terkadang mengakibatkan pasukan
gerilya RI selalu mengalami kekalahan dalam pertempuran frontal seperti
itu.Namun berkat kesigapan dan perencanaan yang matang walaupun dengan senjata
yang sangat terbatas selalu dapat membuat Belanda kalang kabut dalam berbagai
kesempatan.
5. Situasi Perjuangan Setelah Puputan Margarana
Setelah Puputan
Margarana tanggal 20 Nopember 1946, keadaan perjuangan di Bali (terutama di
Bali Selatan) mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan ini ditambah lagi dengan Politik
Separatis Belanda yang segera dilancarkan untuk tidak memungkinkan
pemuda-pemuda mengkonsolidasi diri. Oleh Belanda dibentuklah Dewan Raja-raja di
bawah naungan Republik Indonesia Serikat. Keadaan ini mempersulit gerakan pemuda
termasuk pemuda di Buleleng. secara fisik Belanda terus mengadakan
operasi-operasinya dengan blitskrieg
atau pasukan gerak cepat. Secara sosio-politis Belanda ingin menarik simpati
dengan mencari dukungan rakyat, tarutama golongan piodal dan terhadap para
pejuang kemerdekaan yang berjiwa avonturir ideologinya gampang luntur dengan
kebtuhan enak sesaat. Dalam keadaan yang serba sulit ini para pejuang tidak
bisa berbuat banyak kecuali bersifat depensif belaka dengan menciptakan
insiden-insiden kecil sebagai manover politik belaka. Pejuang ingin menunjukkan
pada dunia internasional bahwa perjuangan di Buleleng masih berjalan
terus-menerus, seperti ditunjukkan oleh perjuangan sporadis tersebut di atas.
Setelam puputan ini di daerah Buleleng, Jembarana, Gianyar
dan Bali umumnya berusaha untuk mengadakan konsolidasi ke dalam. Gugurnya I
Gusti Ngurah Rai dalam Puputan Margarana beserta pucuk pimpinan lainnya yang
berasal dari TRI Resimen Sunda Kecil memunculkan masalah di tubuh MBO.
Widjajakusuma mengeluarkan inisiatif untukmengadakan pertemuan di Buahan
Tabanan sehingga terbentuk MBO DPRI Sunda Kecil sementara tanggal 22 Nopember
1946, dipimpin oleh Wijakusuma sendiri, dan diwakili oleh Mataram dan Wijana,
Intlegennya terdiri dari Bapak Mantik, Bapak Sanu Bary (Poleng), Nurai, Cokorda
Agung, Puger; sekretarisnya Sujana dan Gusti Lanang Rai. Penerangan dipegang
oleh I Gusti Ngurah Anom, dan Alit. Urusan logistik dipegang oleh Putra, dengan
kepala gabungannya diurut, Mataram, Gelebes, Suwija, Mudita, Wija, Made Gede,
dan I Gusti Ngurah Djendra. Dengan penghubung diduduki oleh Subroto Aryo
Mataram.
Keanggotaan MBO DPRI yang masih sementara ini akhirnya
disusul dengan mengadakan pertemuan tanggal 4 sampai 6 April 1947 bertempat di
Banyuasri Singaraja. Pertemuan dihadiri oleh semua pimpinan MBO dan dalam
pertemuan itu berhasil dibentuk MBO DPRI Sunda Kecil lengkap dengan program
kerjanya. Susunan DPRI Sunda Kecil yang baru adalah sebagai berikut.
Struktur
Organisasi Markas Besar Oemum DPRI Sunda Kecil Setelah Puputan Margarana.
Pucuk
Pimpinan MBO I: Made Widjakusuma
Pucuk
Pimpinan MBO II : Nyoman Mantik
Pucuk
Pimpinan MBO III : Wayan Noor Rai
Sekretaris
dan Bendahara: Kompiang Sujana
Ketua
Strategi Perjuangan I dan II: I Gst. Ngr. Mataram
Ketua
Strategi Perjuangan II : Ketut Wijana
Pembantu
Umum I dan II: Poleng dan Jaya
Opsir
Penghubung : Subroto Aryo Mataram
Sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang dihadapi
oleh MBO Sunda Kacil, maka rencana kerjanya adalah sebagai berikut.
1. Program
yang dilaksanakan adalah berjuang atas kekuatan dan kelemahan persenjataan dan
politik perjuangan Pemerintah RI di Jawa yaitu dengan gerakan politik pasif dan
aktif , melakukan penerangan ke dalam untuk tetap menjaga semangat juang para
pemuda dan rakyat, serta masih menunjukkan diri sebagai organisasi yang tetap
memperjuangkan Republik Indonesia.
2. Pulau
Bali dibagi menjadi tiga daerah perjuangan dan di tiap-tiap daerah perjuangan
diangkat seorang wakil MBO . Pembagian daerah perjuangan itu adalah sebagai
berikut. Daerah Perjuangan I (DP I) meliputi: Keungkung, Karangasem, dan Bangli
di bawah koordinasi Ketut Widjajakusuma. Daerah Perjuangan II (DP II) meliputi
daerah Gianyar, Badung, dan Tabanan di bawah koordinasi Bapak Poleng. Dan
Daerah Perjuangan III (DP III) meliputi daerah Buleleng, Jembarana di bawah
koordinasi Noor Rai.
3. Mengirim
kurir ke Jawa untuk melaporkan peristiwa Puputan Margarana.
Masing-masing
Markas Besar mengadakan konsolidasi pada daerah kekuasaannya, untuk menyusun
kekuatan baru untuk mengadakan perjuangan kedua setelah Rai gugur.
Markas Besar Buleleng mengadakan konsolidasi organisasi, setelah
pimpinannya diangkat menjadi Pimpinan MBO Sunda Kecil. Sehingga susunan MB
Buleleng menjadi sebagai berikut.
Pimpinan : Ida Bagus Indra
Sekretaris : Wenten
Bendahara : Nyoman Sedana
Pembelaan : I Dw. Made Suwidja
Sosial Ekonomi : I Gusti Gede Penida
Penerangan : Oka Api
Perlengkapan : Wayan Mulana.
Markas Besar Buleleng
terbagi lagi menjadi tiga Markas Cabang, yaitu:
1. Markas
Cabang Timur bernama Markas Cabang Diponogoro dipimpin oleh Cilik.
2. Markas
Cabang Barat bernama Markas Brahma-Wisnu dipimpin oleh Bagus Putu Merta
Pastima, kemudian diganti oleh I Gusti Bagus Maraku Tirta Yasa
3. Markas
Cabang Selatan bernama Markas Kusuma Yuda dipimpin oleh Ida Komang Utara.
Pejuang terus terkepung, sehingga perjuangan dilakukan di
daerah pegunungan dengan menggunakan taktik penyingkiran (gerilya).Kondisi
inilah yang mengakibatkan para pejuang sering pengalami rasa pasrah dan
melakukan pemujaan-pemujaan agar mendapat perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang
Maha Esa. Seperti yang dilakukan oleh para pejuang di Buleleng, sehingga sampai
muncul kaul jika cita-citanya untuk mendirikan Negara Republik Indonesia
tercapai akan mendirikan sebuah Pura Republik yang berwujud Monumen Bhuwana
Kertha (dibahas di halaman berikutnya).
4.1 Ikrar Pemuda Pejuang Buleleng
Setelah
peristiwa Puputan Margarana 20 Nopember 1946 dan setelah Belanda berhasil
membentuk Negara Federal melalui perjanjian Renville, maka ruang gerak pemuda
pejuang terus bertambah sempit dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT)
yang benaung di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pejuang-pejuang di Bali
pada umumnya dan di Buleleng pada khususnya telah merasakan ruang gerak mereka
amat sempit. Ketika itu Bali diperintah oleh Dewan Raja-raja sebagai alat
pemerintahan Kolonial Belanda, telah menimbulkan banyak kesulitan bagi
pejuang-pejuang di Bali, terutama dalam usaha memobilisir kembali rakyat untuk
mengadakan perlawanan. Kendatipun demikian semangat perjuangan dalam mewujudkan
cita-cita perjuangan yaitu membentuk Negara Kesatuan Republi Indonesia (NKRI)
atau semangat tetap bernaung di bawah Republik Yogyakarta tetap menyala dan
hidup di kalangan rakyat. Hal ini terbukti dengan adanya demontrasi rakyat di
Buleleng pada Raja Buleleng yang menuntut agar Bali tetap masuk Republik
Yogyakarta. Kendatipun Demontrasi dihadang oleh pasukan Belanda bersenjata
lengkap, tetapi semangat rakyat tidak bisa dikendorkan oleh senjata modern
Belanda. Akhirnya Delegasi diijinkan menghadap Raja Buleleng untuk menyampaikan
inspirasi dan isi hati para pejuang.
Kejadian ini adalah sebagai bukti bahwa pejuang-pejuang
di Buleleng masih tetap mendapat dukungan rakyat. Tetapi melihat kondisi yang
tidak menguntungkan, pejuang tidak bisa berbuat lain kecuali bersifat Depensip,
sampai ada ketentuan pusat di Yogyakarta. Kondisi seperti inilah, yaitu pada
saat-saat sulitnya situasi dihadapi oleh pejuang yang telah merasa terjepit,
timbul ide dan dorongan dari salah seorang pejuang yang kebetulan sedang Rapat
di Panji bagian atas, untuk “berkaul kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk
mendirikan Pura Republik”, sebagai satu-satunya jalan menguatkan bathin para
pemuda pejuang untuk melanjutkan perjuangannya.
Setelah melalui serangkaian perundingan, disepakatilah
waktu untuk mengadakan” Kaul di Desa Panji “,
bunyi kaul yang disepakati pada saat itu adalah sebagai berikut.
Bila Perjuangan Republik Indonesia Menang,
Nanti Para Pejuang Akan Membangun Sebuah Pura Republik.
Sebagai simbol
Merah-Putih yang dibela oleh para pejuang pada tempat pura yang akan dibangun
itu, akan ditanam dua pohon beringin, sebatang di Jeroan dan sebatang lagi di Jabaan.
Demikian kaul itu disepakati dalam sebuah rapat yang tidak disebutkan lokasinya
karena rapat dilaksanakan berpindah-pindah sesuai dengan konsep perang perilya.
Tetapi penduduk menyebutnya daerah ‘Munduk Pengorengan”, adalah lokasi yang
dimaksudkan sebagai tempat menyampaikan kaul itu.
Kaul itu menjadi persoalan selanjutnya karena untuk mewujudkannya
muncul pertanyaan “dimanakah nanti kaul itu diikrarkan”, karena setelah ikrar
akan ditanam dua batang pohon beringan: sebagai lambang merah-putih, para
pejuang tidak punya tanah untuk itu, membeli juga tidak mungkin dalam kondisi
yang sedang terjepit.
Sebagai suatu takdir, atau kehendak Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, kebetulan perundingan pencarian tempat itu didengarkan oleh seorang
petani tua yang biasa ikut membantu perjuangan para pemuda, menunjukkan
sebidang tanah milik keluarganya, yang bisa dipergunakan untuk mewujudkan Ikrar
menanam pohon Beringin itu. Mendengar uluran tangan petani yang sangat tulus
dan patriotik ini diputuskanlah menerima tawaran itu, pada hari yang ditetapkan
yaitu pada tanggal 17 Januari 1948, di lokasi Monumen Bhuwana Kertha diadakan
Upacara Peringatan Tanggal 17, yaitu tanggal yang dianggap keramat sebagai
bagian dari hari Proklamasi RI, menyusul dengan mengadakan “ Ikrar “ bersama
yang berbunyi seperti telah disepakati dalam rapat-rapat sebelumnya, yaitu:
“ Bila Republik Indonesia Menang di Tempat Ini
Nanti Akan Dibangun Sebuah Pura Republik ”.
Pura Republik yang
diartikan kemudian adalah Monumen Perjuangan Bhuwana Kertha, namun komudian
setelah mewujudkannya ke dalam bangunan fisik konsep Bali masih harus diakomudasi
dengan membangun “Pura Republik” seperti layaknya pura lain yang ada di Bali,
di sebelah Barat Dayanya sekompleks dengan Monumen Bhuwana Kertha itu.
Pada tanggal 17 Januari 1948 setelah upacara bendera,
acara di lanjutkan dengan penanaman dua pohon beringin dengan jarak 17 meter arah
Utara-Selatan, kemudian para pejuang bubar setelah memberi penghormatan kepada
kedua pohon Beringin yang baru ditanam itu, dengan harapan akan mendatangkan
berkah bagi perjuangan rakyat Buleleng khususnya dan Indonesia umumnya, yang
mencita-citakan langgengnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah cikal
bakal dari lokasi pembangunan Monumen Bhuwana Kertha yang diawali dengan
menanam dua pohon Beringin pada sebidang tanah yang kemudian menjadi saksi
sejarah dalam wujud “Monumen Bhuwana Kertha“ yang berdiri kokoh sepanjang
sejarah.
3.2
Situasi Perjuangan Setelah Pengakuan Kedaulatan
Konsep pengakuan kedaulatan masih
dirancukan oleh banyak orang, karena sering dimaknai penyerahan kedaulatan.
Jika konsep penyerahan kedaulatan diakui, maka seharusnya peringatan Proklamasi
17 Agustus 1945 pun harus ikut diredifinisi, sesuai dengan kenyataan sejarah
bahwa dalam KMB adalah “pengakuan kedaulatan” oleh pemerintah Belanda, bukan
“penyeahan kedaulatan”.
Kita harus menyadari bahwa sebuah negara
diambil alih kekuasaannya pasti sudah tidak rela, masalahnya jika pejuang mengambil
hak negara sendiri dan penjajah tidak rela apakah kita akan mengikuti
kehendaknya, itu sudah tentu dijawab tidak. Oleh karena itulah dalam kesempatan
ini kami lebih memilih istilah pengakuan kedaulatan sebagai pengganti istilah
penyerahan kedaulatan. Bangsa Indonesia dalam sejarah tidak pernah penyerahkan
kedaulatannya pada negara manapun juga setelah direbut dan diproklamasikan
sendiri dengan kekuatan sendiri, Belanda mengambilnya secara paksa, maka
demikian pula kita harus merebutnya secara paksa juga, karena itu adalah hak
bangsa Indonesia.
Sebelum pengakuan kedaulatan oleh Belanda yaitu sebagai
akibat dari adanya Konfrensi Meja Bundar di Denhag, maka sebelumnya ketika pada
Tanggal 17 Januari 1947 ditanda tangani sebuah perjanjian Renville oleh
delegasi RI dan Belanda. Sejak tanggal 22 Januari 1948 pemerintah RI mengakui
NIT. Atas kejadian itu maka MBO Sunda Kecil mengadakan rapat dari tanggal 10-14
Maret 1948 di daerah Munduk Pengorengan, di sebelah selatan Bhuwana Kerta sekarang
yang menjadi wilayah perjuangan Markas Cabang Buleleng Barat. Hasil pertemuan
itu adalah menuntut pada Pemerintah RI Yogyakarta agar mendesak Negara Indonesia
Timur mengakui MBO DPRI Sunda Kecil ,
dengan tujuan:
1. Menghindari
terjadinya salah paham, sehingga tidak terjadi bentokan bersenjata.
2. Menghindari
adanya korban yang lebih banyak di dua belah pihak.
3. Turut
menyelenggaraka pembangunan untuk mencapai ketertiban dan kemajuan serta tujuan
NIT dalam bidang politik, ekonomi, dan sebagainya.
4. DPRI
juga meminta agar Staat van oorlog di Bali dan daerah lain selekas mungkin
dicabut.
5. Meminta
agar semua rakyat Sunda Kecil yang menentang haluan politik Belanda baik yang
masih ada di dalam tahanan dan dalam perjuangan dibebaskan dari segala
tuntutan.
Pasukan NICA masih saja melakukan pengurungan-pengurungan
pada pemuda desa (PD) saat itu, sehingga ke luar intruksi istimewa dari MBO
DPRI Sunda Kecil agar mengakan penurunan (berhenti bergerilya) secara umum, dan
menghadap pada Dewan Raja-raja di Bali untuk menghindari terjadinya korban pada
rakyat pedesaan yang mendukung perjuangan yang tidak berdosa. Untuk Buleleg
dikoordinir oleh Noor Rai, Badung Bangli dan Karangasem dikoordinir oleh
Wijakusuma. Daerah Tabanan oleh Ketut Wijana. Surat penurunan ini ditanda
tangani oleh Ketut Wijana dengan alasan pejuang harus tunduk pada haluan
politik Republik Indonesia pusat di Yogyakarta, di samping alasan keadaan
masyarakat pedesaan yang sangat menyedihkan dengan adanya gerilyawan (penyingkiran).
Hal ini sangt penting diuraikan untuk
melihat bagaimana hubungan Munduk Pengorengan dengan perjungan Bali Utara pada
masa revolusi fisik. Dengan demikian pembangunan monumen dan pengembangannya
yang menyejarah dapat direncanakan ke depan.
Perjanjian Renville ini memunculkan kesulitan konsolidasi
dari para pejuang karena terjadi pro dan kontra, antara tunduk pada perjanjian
itu, yang berarti bunuh diri atau melawan yang berarti melawan hukum
ketatanegaraan mewajibkannya untuk ditaati.
Setelah KMB
terjadi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, berbagai masalah telah
disiapkan secara hukum ketatanegaraan, menjadi bom waktu pada bangsa Indonesia.
Masalah yang disiapkan Belanda untuk menimbulkan berbagai perpecahan
antarbangsa Indonesia, ditambah dengan masalah-masalah persoalan sistem
pemerintahan yang diwarnai oleh kehendak zaman agar menerapkan demokrasi
libral, yang menghasilkan banyak partai dan pergolakan-pergolakan
antaragolongan satu dengan yang lain yang tidak dapat dihindarkan, menjadi
persoalan tersendiri di awal kemerdekaan itu.
Pergolakan-pergolakan
semacam ini terjadi juga di daerah Buleleng. Sebagai akibat pergolakan dan
perpecahan itu, sampai-sampai pro-kontra golongan tampak dalam pro-kontra
ketika penanaman Beringin di Tanggal 17 Agustus 1948 yang sudah mulai tumbuh
lebat.
Diyakini juga oleh pejuang pro-kontra itu berakibat, salah
satu pohon Beringin (yang ditanam di bagian Utara) dua kali mengalami perubahan
dan sekali dicabut. Tetapi karena pohon Bringin itu dikehendaki akan ikut
menjadi saksi sejarah, di samping ada golongan yang mencabut ada pula yang
berusaha menanam kembali. Nampaknya kelompok yang menghendaki adanya pohon
Beringin itu yang memiliki kekuatan lebih besar, sehingga pohon Beringin
tersebut masih hidup subur menyertai perjalanan sejarah perjuangan Buleleng
pada masa revolusi fisik.
Keadaan para pejuang yang terpecapecah-belah begitu juga
rakyat pendukungnya, sehingga praktis pohon Beringin itu tidak mendapat
perawatan maksimal sebagai mana mestinya, begitu pula masalah tanahnya tidak
mendapat penyelesaian setelah Indonesia merdeka, berlangsung sampai tahun 1961.
Sebagai suatu usaha mempersatukan potensi pejuang
kembali, maka pada tanggal 15 Juli 1961, atas inisiatif beberapa tokoh pejuang
diadakan rapat yang antara lain juga mengagendakan pembahasan pohon Beringin
ini. Acara-acara rapat pada waktu itu adalah :
a. Melanjutkan
Pengabenan para Pejuang
b. Pemeliharaan/Penyelesaian
masalah pohon Beringin
c. Mendaftar
Veteran/ Pejuang lanjutan.
Rapat
dihadiri hampir oleh segenap tokoh/ Pejuang 1945 bertempat di SD.3 Panji. Pada
rapat ini diputuskan akan mengadakan pengabenan lanjutan pada tanggal 17
Agustus 1961. Pembakaran Jenasah dilakukan di Kuburan Panji dengan Upacara
Meliter. Hasil Rapat yang lain ialah Pendaftaran Veteran dan pembelian tanah
sawah yang ditanami pohon Beringin itu seharga
Rp 100.000,00 (Seratus Ribu Rupiah). Karena bukan harga tanahnya yang
dilihat tetapi harga sebuah wujud ketulusan dan demi penyelesaian status tanah
itu secara hukum agar secara resmi menjadi milik negara dan rakyatnya dan
menjadi warisan sejarah yang berguna bagi kita semua. Sejak itulah masalah
Beringin sepi, tetapi sementara itu rakyat mulai banyak yang sembahyang (maturan) pada dua pohon Beringin itu.
Karena mereka percaya bahwa beringin itu
keramat dan bertuah, terutama oleh masyarakat sekitarnya. Banyak cerita yang
diungkapkan rakyat mengenai pohon Beringin ini. Demikianlah waktu berjalan
terus dan pohon Beringin hidup makin besar tetap dipercayai dapat memancarkan
tenaga gaib tersendiri, terutama bagi yang mempercayainya.
BAB II
MONUMEN BHUWANA KERTHA
SEBAGAI PERWUJUDAN KAUL PARA PEJUANG
2.1 Inspirasi Dari
Tragedi Nasional
Pembangunan monumen ini pada dasarnya dilatari oleh
situasi perpecahan dan pembunuhan besar-besaran di Bali yang tejadi sebagai
akibat dari pertentangan ideologi komunis dengan nasionalis yang mengalami
klimak pada tahun 1965. Pejuang sadar betapa parahnya keadaan yang tercipta
dengan adanya perpecahan di masyarakat. Jika kondisi ini tidak disikapi dengan
mewariskan nilai-nilai perjuangan kemerdekaan, maka bangsa Indonesia hasil jerih
payah para pejuang kemerdekaan bisa jadi tidak akan berumur panjang. Demikian ilham yang muncul pada para tokoh
pejuangan ketika merenungkan nasib bangsanya yang saling bunuh antarsesamanya.
Sebagaimana dalam beberapa bab terdahulu dibahas keadaan
sebelum puputan Margarana dan setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia
oleh Belanda, yang penuh dengan pertentangan antara golongan satu dengan
golongan yang lain. Keadaan masyarakat yang terbelah itu berlangsung terus
sampai meletus G. 30 S./1965, yang
merupakan klimak tragedi nasional yang menimpa bangsa Indonesia. Peristiwa G.30
S./1965 menyadarkan para pejuang, bahwa akibat pertentangan yang terus menerus,
apakah karena perselisihan paham semasa revolusi fisik ataukah karena perbedaan
ideologi, kalau tidak ditangani secara serius maka mala petaka ini bukan saja
akan merenggut nyawa banyak orang tetapi juga menghancurkan negara Indonesia.
Kondisi tercerai berai itu pejuang menanggapi secara politik, dan didukung oleh
kebanyakan rakyat dan tokoh-tokoh pejuang terutama oleh masyarakat Buleleng.
Kesadaran Nasional setelah G.30 S./1965 membawa pengaruh
pada para pejuang dan masyarakat untuk menyusun kembali tata kehidupan yang
sejiwa dengan cita-cita Revolusi 1945. Para pejuang dan masyarakat telah menyadari
kelelaiannya dalam memelihara jiwa persatuan dan kesatuan yang menjiwai
proklamasi 17 Agustus 1945.
Mengembalikan tata kehidupan yang sesuai dengan jiwa Revolusi 1945,
bukanlah soal ringan, karena mewujudkan persatuanitu merupakan agenda
perjuangan yang tidak pernah selesai. Karena persatuan, cinta tanah air, dan
semangat pengabdian untuk mencapai masyarakat adil dan makmur harus dipelihara
sesuai dengan semangat zaman dan kehendak rakyat banyak. Persoalannya dari mana
kita memulai dalam kondisi seperti ini, dan bagaimana cara untuk memulainya.
Lebih-lebih bila diingat masyarakat telah tercabik-cabik dan terkotak-kotak
oleh berbagai pertentangan kepentingan baik kepentingan politik untuk
mempertahankan kekuasaan, atau kepentingan sosial-ekonomi. Seperti masalah
penegakan demokrasi, membrantas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan
peningkatan kesejahtraan rakyat banyak yang di dalamnya banyak aparat bahkan
wakil rakyat ikut bermain kotor, sehingga sistem tidak dapat berjalan lancar.
Paling merisaukan adalah berbagai data pengambil keputusan dari penguasa puncak
yang telah dimanipulir sehingga sering petinggi negara memutuskan hal yang
tidak masuk akal. Atau memang dikehendaki demikian oleh penguasa, agar tidak
disalahkan oleh rakyat banyak (public). Semuanya itu kuasa punya ceria, mungkin
berkolaborasi dengan kepentingan ekonomi atau kepentingan lain yang ada di
baliknya.
Kondisi bangsa ini tidak banyak mengalami pergeseran
pemikiran dari sejak diproklamasikan hingga dewasa ini. Aliran berpikir tradisional
yang mementingkan kelompok tradisional (berdasarkan kepentingan klan dan
wangsa) masih tampak dalam berbagai stiuasi untuk mengambil keputusan genting
demi bangsa ini.
Cita-cita para pejuang tetap ajeg selalu berpikir demi persatuan
dan kesatuan bangsa yang tercinta ini. Merah-Putih adalah simbol sakral yang
tidak dapat ditukar dengan kepentingan sesaat, apa lagi hanya untuk kekuasaan
yang mengatasnamakan rakyat dan republik ini. Para pejuang berkorban sepenuh
hati (total), berupa arta benda, status, keluarga, tenaga, bahkan nyawa bila
perlu. Bagi pejuang wanita pengorbanan keperawanan adalah sesuatu yang terpaksa
dikorbankan demi republik ini. Seperti misalnya kasus Luh Sari di Desa Sepang
Kelod di masa perjuangan dulu, demi keselamatan para pejuang yang membawa arsip
perjuangan terpaksa mengorbankan keperawanannya pada seorang tentara keturunan Kulit
Hitam yang bekerja di pihak NICA pada saat itu. I Gde Widja (2000) membuatkan
derama nasional berjudul “Pengorbanan” yang mengambil nilai pengorbanan keperawanan,
dari kasus ini.
2.2
Para Pejuang Memenuhi Ikrarnya
Pada saat mencari inspirasi, untuk mencari jalan
bagaimana mengembalikan jiwa rakyat kearah Revolusi 17 Agustus 1945, pada saat
ini pula Wayan Nur Rai bekas anggota Markas Besar Oemun (M.B.O.) mendatangi
Ketut Wijana bekas anggota M.B.O. pula, menyatakan pergulatan bathinnya, bahwa
selalu merasa berhutang kaul kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah mengalami
beberapa diskusi lalu dipastikan hutang kaul yang dimaksud ialah ikrar yang diucapkan tempo hari di
tahun 1948. Kemudian Wayan Nur Rai
langsung bersembahyang ke tempat Ikrar diucapkan yaitu di Desa Panji
tempat penanaman Beringin dulu. Waktu
sembahyang beliau berjanji dengan teman-temannya akan berusaha menghubungi
teman-teman pejuang dulu untuk memenuhi ikrarnya pada masa revolusi fisik tahun
1948. Kemudian pada pertengahan Pebruari 1966, Ketut Wijana mengadakan
penjajagan ketempat ikrar diucapkan. Ditemukanlah pohon Beringin itu sudah
besar-besar dan hidup subur.
Setelah penjajagan ke lokasi ikrar dilanjutkan dengan
menghubungi ke empat Pimpinan Staf yang
ada di Buleleng semasa Revolusi 17 Agustus 1945. Tidak seorang pun ada halangan
dalam mewujudkan ikrar ini, semua bekas pimpinan setuju untuk dibangun sebuah
monumen perjuangan di lokasi itu. Diputuskanlah dalam waktu yang singkat agar
segera terwujud ikrar yang diucapkan pada masa revolusi fisik itu.
Setelah semua bekas Pimpinan Pejuang setuju untuk segera
memenuhi apa yang telah di ikrarkan tempo hari, disepakatilah mengadakan rapat pertama,
membicarakan segala sesuatu yang dianggap perlu secara formal. Diputuskanlan
undangan oleh Kanved Buleleng/Jembrana. Maka pada tanggal 28 Maret 1966.
diadakan rapat pertama di Gedung DPRD-GR Buleleng. Rapat dihadiri oleh selain
Staf Perjuangan di Buleleng, juga oleh kepala-kepala Jawatan yang ad di
Buleleng Rapat ini dipimpin oleh Ketut Wijana, keputusan rapat,“sepakat
memenuhi ikrar dan penbentukan panitia pelaksana pembangunan Monumen”. Untuk
Kabupaten Buleleng dibentuk Panitia Induk dan untuk Penitia Lokal ditempatkan
ikrar diucapkan, dibentuk panitia yang disebut Sub. Panitia Khusus berkedudukan
di Panji, kepanitiaannya terlampir. (Lampiran
01: Susunan Panitia Induk Pembangunan Monumen Bhuwana Kertha).
Keputusan lain adalah yang akan dibangun berupa sebuah
Monumen Perjuangan, dan untuk merencanakan segala sesuatunya mengenai bentuk,
motif dan nama Monumen dibentuk panitia kecil yang khusus menangani secara
detail monumen yang bagaimana mau dibangun di Panji itu (lihat Lampiran 02: Susunan Panitia Kecil)
Diputuskan juga peletakan Batu pertama dilakukan tanggal
31 Maret 1966. Peletakan Batu pertama ini dilakukan oleh Bupati Kdh. Kabupaten
Buleleng Bapak Ida Bagus Mahadewa, atas nama Panca Tunggal Buleleng. Peletakan
Batu pertama ini dihadiri oleh Panca Tunggal, Kepala-kepala Jawatan Kabupaten
dan Propinsi yang ada di Buleleng, bekas tokoh Pejuang di Buleleng dan massa
dari Sukasada, Panji, Pemaron, Galiran, Seraya, Bangkang, Tista, dan simpatisan
lainnya.
Peletakan batu pertama dihadiri oleh lebih kurang 3.000
Orang dengan diriahkan oleh Gong dan Angklung dari masyarakat Panji dan
sekitarnya. Kendatipum dalam suasana hujan yang amat lebat, tetapi Bapak Bupati
beserta rakyat dengan dijiwai semangat 1945, tetap tenang melangsungkan
perletakan batu pertama itu pada Pukul 13.00 Wita.
Pelaksanaan teknis pembangunan monumen dibuatkan panitia
khusus, sebagai Sub-panitia induk yang berkedudukan di Panji. Bertugas untuk
menjaga kelancaran pekerjaan pembangunan Monumen, yang anggotanya terdiri dari
beberapa pejuang an tokoh-tokoh masyarakat di daerah Panji dan sekitarnya
(lihat Lampiran 03: Susunan Sub-Panitia Pembangunan Monumen Bhuwana Kertha.).
Dalam pelaksanaan teknis di lapangan langsung ada di bawah panitia ini, yang
bertugas menjalankan apa yang dihasilkan oleh panitia khusus.
2.3 Nama Motif dan Bentuk Monmen.
Sebagai mana
telah ditentukan didepan untuk merencanakan dan meneliti nama, bentuk dan motif
Monumen, dibentuk panitia kecil, pada sidang panitia kecil ditetapkanlah
sebagai berikut :
a.
Nama Monumen : Monumen Bhuwana Kertha.
b.
Bentuk : Tugu Peringatan.
c.
Motif : Cita-cita Revolusi 17 Agustus 1945
d.
Relief : Kombinasi Daerah dan Nasional
Tentu kita bertanya apa sebab yang dibangun adalah
“Monumen” dus bukan “Pura” sebagaimana bunyi Ikrar yang dikumandangkan oleh
para pejuang dulu. Alasan Panitia ialah tidak menyimpang dari bunyi Ikrar, yang
berjanji akan membangun Pura Republik apabila tercapai Kemerdekaan Republik
Indonesia. Pura Republik Indonesia adalah Monumen Bangsa, yang menjadi pujaan
dan peringatan bangsa Indonesia, akan perjuangan bangsanya yang pernah dialami
semasa Revolusi fisik. Lagi pula Revolusi Indonesia adalan Revolusi Nasional
yang dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia dari segala suku dan keyakinan
agama, bahkan dari bangsa lain pun ada yang ikut memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia (dari bangsa Jepang).
Makna Nasional ini paling tepat diwujudkan dalam bentuk
Monumen, karena kalau Pura yang dibangun justru akan menjadi persoalan bagi
bangsa Indonesia ke depan. Terutama menjadi masalah besar bagi pejuang yang
beraga selain Hindu. Namun untuk mencari jalan tengahnya di bagian baratnya
masih dibangun pura khusus untuk pemujaan orang Hindu, yaitu pura sebagaimana
lazimnya pura di lain tempat di Bali. Sudah tentu masih ada kekhususannya
karena terkait dengan peringatan perjuangan para pahlawan yang diaben terkait
dengan perjuangan di masa revolusi fisik.
Pertanyaan yang lain mungkin timbul ialah mengapa Monumen
Bhuwana Kertha didirikan ditempat ini, padahal ditempat ini tidak pernah ada
pertempuran. Alasan Panitia ialah, Monumen bermakna peringatan akan sesuatu
kejadian besar. Sebagi diketahui Monumen ini dibangun sebagai realisasi Ikrar
yang pernah diucapkan oleh para pejuang berhubungan dengan nasib perjuangan
bangsa Indonesia. Pada saat-saat para pejuang kehilangan pegangan karena
kelumpuhan material dan fisik, maka berpalinglah pada Tuhan satu-satunya
kekuatan yang patut dimintai perlindungan
untuk dapat melanjutkan cita-cita perjuangan.
Menurut keyakinan masyarakat di sekitarnya dan panitia,
hasil perjuangan yang telah kita capai di samping karena semangat para
pemuda/bangsa Indonesia, juga karena perlindungan-Nya. Hal ini menurut
pengakuan para pejuang, sering dialami sendiri oleh banyak pejuang. Begitu juga
halnya dengan Ikrar para pejuang, adalah suatu kejadian besar, karena ditempat
inilah dicetuskan isi hati nurani para pejuang yang merupakan pengharapan
tertinggi disampaikan pada Tuhan Yang Maha Esa yang akhirnya terkabul dengan
selamat sesuai dengan harapan bangsa dan kita semua.
Anugrah Tuhan tidak terhingga karena betapapun para
pejuang yang begitu sulit dan terjepit, masih bisa melaksanakan kebulatan tekad
untuk berjuang sampai titik darah penghabisan, dengan kaul pembangunan monumen
dalam bentuk ikrar bersama. Inilah sebabnya di tempat ini dibangun Monumen
Bhuwana Kertha, bukan pura, dan bukan di tempat lain.
BAB III
REALISASI PEMBANGUNAN MONUMEN PERJUANGAN
BHUWANA KERTHA
3.1 Pelaksanaan Pembangunan.
Sejak
perletakan batu pertama yang dilakukan pada tanggal 31 Maret 1966 Pelaksanaan
pembangunan dilakukan oleh CV. Dharma dengan pengawas Teknik PU. Seksi
Buleleng. Segala pekerjaan yang bersifat maSsal dikerjakan secara Gotong Royong
oleh Masyarakat, begitu juga dalam pengumpulan batu-batu kali untuk fondasi
sepenuhnya hasil gotong royong masyarakat. Tenaga gotong royong masyarakat
sampai berjumlah 25.947 orang lebih, terdiri dari pelajar-pelajar SD, SLTP,
SLTA, Mahasiswa dan masyarakat dari berbagai golongan dan aliran. Kemudian
terjadi kesulitan biaya pembangunan, namun kesulitan itu langsung ditangani
oleh panitia kecil, di bawah pimpinan Bapak Hartawan Mataram dibantu oleh Dinas
Pekerjaan Umum Buleleng.
3.2 Biaya Pembangunan
Sampai
dengan tanggal 28 Januari 1968 biaya yang telah dikeluarkan untuk bangunan
induknya saja tidak kurang dari
Rp.1.000.000,00. Biaya ini di samping dalam bentuk uang juga dalam
bentuk bahan-bahan. Biaya dan bahan-bahan ini didapat atas usaha dan sumbangsi
para dermawan dari berbagai lapisan masyarakat
Dari
adanya sumbangan-sumbangan ini dapat disimpulkan bahwa simpati dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan Monumen Bhuwana Kertha sangat besar. Begitu juga
bila dilihat dari banyaknya tenaga gotong royong yang ikut menyumbangkan
tenaganya dalam pembangunan Monumen ini,
yang kadang-kadang masyarakat berjalan kaki berpuluh-puluh kilo meter
jauhnya. Demi sebuah partisipasi dapat
ikut berdarma bakti pada pembangunan monumen perjuangan yang menjadi kebanggaan
masyarakat Buleleng (sumber data, BukuTamu Pengunjung Pembangunan Monumen
Bhuwana Kertha, 1968).
3.3 Masalah Tanah Komplek Monumen Bhuwana Kertha
Di
atas telah disinggung bahwa tanah tempat penananaman 2 (dua) pohon beringin itu
adalah milik pribadi Bapak Wirta. Untuk tidak menimbulkan kesulitan dikemudian
hari, maka tanah itu kemudian dibeli oleh markas cabang Legiun Veteran seharga
Rp. 100.000,00 (Seratus Ribu Rupiah), dana didapat dari markas daerah sebesar
Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah), dan bantuan Bupati Buleleng (Cq. Ida
Bagus Mahadewa) Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Harga tanah ini tidak
memadai, pemerintah harus dapat mengharganya bahwa uang pembelian itu hanya
sekadar uang ucapan terimakasih atas ketulusan dan kerelaannya menyerahkan
tanahnya sebagai lokasi Monumen, dan bentuk pengorbanan seperti itu patut
dihargai dengan acungan jempol. Oleh karena areal tanah kompleks monumen masih
kurang maka diharapkan ada sumbangan-sumbangan tanah sekitar Monumen. Maka untuk itu
Meme Daning menyumbangkan sebagian tanahnya seluas 10 Are (di bagian
selatan Monumen ) dan Pan Halus menyumbangkan tanahnya kurang lebih seluas 15
Are (di bagian barat laut komplek Monumen. Dengan demikian areal tanah yang
dipergunakan seluruhnya 1, 350 hektar.
Sekali
lagi sumbangan tanah bagi masyarakat Bali yang agraris, apalagi sumbangannya
adalah setengah tanah miliknya, itu adalah wujud kesetiaan paling dalam bagi
masyarakat Bali dalam partisipasinya dalam pembangunan monument yang memiliki
nilai NKRI di balik monumen.
Tanah
bagi masyarakat Bali untuk dipindah tangankan apakah dijual, digadaikan atau
bentuk pengalihan hak kepemilikan lainnya memiliki makna tersendiri dan tidak
dapat dihargai dan diganti bentuk pengorbanannya itu dengan uang atau barang
lainnya. Sebagai anak bangsa yang memahami arti nilai perjuangan, maka akan
dapat mencucurkan air mata, dan atau sebaliknya bagi yang punya pemikiranlain
akan mengatakan “itu orang bodoh yang dapat dipropokasi menggunakan nilai-nilai
perjuangan yang sesungguhnya mengkonstruksi kebohongan demi mendapatkan hak
atas tanah penduduk dengan tidak mengeluarkan uang. Mana ada dewasa ini hal
seperti itu. Itulah jalan berpikir, kepala sama berbulu tetapi pikiran tidak
sama.
3.4 Perhatian Pejabat Pemerintah
Oleh
karena Monumen ini belum bersetatus Monumen Nasional, maka kegiatan
pembangunannya, masih ditangani oleh Panitia. Tetapi meskipun demikian
perhatian [para pejabat baik Nasional, Regional, apa lagi Lokal sangat besar
sekali.
Pangdam
XVI/Udayana Brigjen Soekertijo beserta Gubernur Bali mengadakan anjangsana ke
Mononumen ini pada tanggal 25 Januari 1967, berkenan pula memberikan petunjuk
dalam pembangunan Monumen Bhuwana Kertha ini agar dilaksanakan perencanaan
jangka panjang mengingat situasi Ekonomi bangsa saat itu.
Kastap
Pangdam XVI / Udayana bapak Kolonel Soetarjo telah pula megadakan anjangsana
kemonumen ini pada tanggal 16 Januari 1967, beserta rombongan peserta
Konverensi Vetran se Nusra yang diadakan di Panji pada tanggal 15 s/d 16
Januari 1967. Pada hari yang sama hadir pula Bapak Wakil Gubernur Gusti Ngurah
Pindha. Tim surve SUAD di bawah pimpinan Letkol Soepartijo, telah mengadakan
anjangsana pada tanggal 22 Desember 1966 .
Kendatipun
para pejabat yang anjangsana ke Monumen ini sekedar memberikan Restu dan
petunjuk-petunjuk panitia merasa sangat berbesar hati karena kunjungan dan
perhatian yang begitu besar dari para pejabat pemeritah memberi harapan cerah
akan masa depan Monumen ini, baik dilihat dari segi sejarah bangsa maupun dari
segi pengembangan industri pariwisata pada masa yang akan datang.
Perlu
dikomentari bahwa simpatisan masyarakat dalam pembangunan ini sangat besar,
tetapi pemerintah propinsi termasuk aparat pemerintah lainnya tidak banyak
tercatat memberiakan sumbangan dana, tetapi dengan kemampuan dan keuangannya
sendiri masyarakat Buleleng baik secara individu maupun kelompok mampu
mengatasi keuangannya secara gotong royong.
BAB IV
MAKNA MONUMEN BHUWANA
KERTHA
4.1 Nilai
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang Mendasari Monumen Bhuwana Kertha.
Untuk bisa menangkap
makna yang terkandung pada perwujudan Monumen Bhuwana Kertha, harus ditinjau
kembali cita-cita Revolusi 17 Agustus 1945, yang termaktub dalam Pembukaan U.U.D.
1945 yang berbunyi :
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa dan oleh karena itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dan selamat
sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan
negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah, yang
maha kuasa dan dengan didorongkan keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada: Ketuanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Demikianlah
bunyi pembukaan U.U.D. 1945 yang menjadi Back-Ground,
motif serta tujuan perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Cita-cita
inilah yang menjadi motor penggerak Revolusi 17 Agustus 1945.
Kalau
kita perhatikan alinia demi alinia apa yang tersurat dan tersirat dalam
pembukaan U.U.D. 1945 ini dapatlah kita ringkas sebagai berikut.
a. Kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa, sesuai dengan peri kehidupan dan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
b. Pergerakan Kemerdekaan Indonesia,
mengantarkan rakyat Indonesia kepada pintu gerbang Kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulatan adil dan makmur.
c. Kemerdekaan Indonesia adalah atas
berkah Rakhmat Tuhan YME.
d. Tujuan Kemerdekaan Indonesia
ialah: masyarakat adil makmur: dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila; ikut serta menyelenggarakan ketertiban dunia atas dasar
kemerdekaan dan perdamaian abadi.
Demikian
pokok-pokok pikiran yang terkandung pada pembukaan UUD 1945 yang menjadi dasar
dan tujuan perjuangan bangsa Indonesia.
Dengan
memahami dasar dan tujuan serta motif perjuangan bangsa, maka Monumen Bhuwana Kertha
yang merupakan pencerminan dari dasar, tujuan dan motif perjuangan 17 Agustus
1945, dibangun sesuai dengan pokok-pokok pikiran di atas. Sudah tentu nuansa
Bali sebagai latar arsitekturnya tidak dapat dipungkiri, karena cita rasa suatu
arsitektur selalu menampilkan lokal genius sebagai perasanya. Tampa demikian
sebuah banguan akan menjadi kaku dan hambar makna dan rasa penggunanya.
Bangunan
suci di Bali selalu akan diwarai oleh tri
angga, tri hita karana, atau
struktur berdasarkan dewa nawa sanga. Kesemuanya itu karena masyarakat Bali percaya
bahwa dunia ini memiliki struktur sebagaimana layaknya masyarakat manusia.
Karena tanpa struktur yang jelas maka fungsinya pun menjadi tidak jelas pula.
Untuk itulah struktur Monumen Bhuwana Kertha dibangun menggunakan konsep Bali,
sehingga bentuk bangunan yang diwujudkan
dapat berfungsi sebagaimana
dimaksudkan dari awal pembangunannya.
Dua
nilai dasar yaitu nilai nasional yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 dan nilai arsitektur tradisional Bali menjadi dasar dan
simbol-silbol dalam pembangunan Monumen Bhuwana Kertha ini.
4.2
Simbol dan Simbolisasi Pada Monumen Bhuwana Kertha.
Kita
telah mengetahui makna dari pada Revolusi 17 Agustus 1945. Makna yang begitu
mulia,sudah menjadi tradisi bagi seatu generasi untuk diwariskannya kepada generasi berikutnya, agar api perjuangan
bangsa Indonesia yang patriotik, sesuai dengan tuntutan setiap umat manusia,
tetap bergema di hati setiap anak bangsa, khususnya generasi muda penerus
bangsa Indonesia. Fungsi pewarisan nilai ini begitu pentingnya, sehingga
monumen ini kelak juga dapat berfungsi sebagai sarana pendidkan pewarisan nilai
bagi anak-anak sekolah oleh para guru yang utun
dengan sejarah perjuangan bangsanya. Oleh sebab itulah peulu diwujukan dalam
bentuk peninggalan bersejarah (Monumen). Agar Monumen itu mampu mengunggkapkan
kembali (mereproduksi) ingatan masa lalu anak bangsanya, terutama makna-makna
dan nilai-nilai Revolusi 17 Agustus 1945, perlu diwujudkan dalam bentuk simbol
dan makna simbolisasi dalam Monumen Bhuwana Kertha ini.
Sebagai
mana lazimnya, setiap wujud yang mempunyai makna mendalam maka padanya harus
ada kesanggupan menggugah segenap kegiatan kejiwaan manusia, simbol yang dibuat
harus dapat mengantarkan pikiran penikmatnya pada ingatan masa lalu yang heroik
penuh pengorbanan. Simbol harus mengandung makna estetis, etis dan filosofis,
sesuai deng tuntutan kehidupan manusia. Dengan demikian wujud itu akan sanggup
menggugah hati nurani manusia di masa depan ketika pelaku sejarahnya
sudahdipanggil yang kuasa..
Atas
dasar itulah Simbol dan Simbolisasi pada Monumen Bhuwana Kertha diwujudkan
dalam nilai-nilai estetis-artistik, etis dan Filosofis yang mendidik.
Nilai-nilai inilah disimbolkan pada Nama Monumen Bhuwana Kertha, Bentuk dan
Relief Monumen.
4.3 Nama Monumen
Panitia
kecil memutuskan nama monumen adalah Monumen Bhuwana Kerta yang telah pula
disetujui oleh panitia induk. Nama ini pula tidak terlepas dari simbolisasi
makna perjuangan 17 Agustus 1945.
Kata
Monumen yang berasal dari bahasa Ingris Monument,
Belanda juga Monument berarti “ Tugu
Peringatan “ Dalam hal ini Peringatan terhadap Revolusi 17 Agustus 1945 yang
terjadi di Bali, khususnya di Bali Utara.
Bhuwana
berasal dari kata Sansekerta dari urat kata “Bhu” yang berarti “menjadi”, perubahan menjadi “Bhuwanha”.mengandung arti yang dijadikan
(dalam hal ini dijadikan oleh Tuhan/ Ida
Sang Hyang Widhi Wasa ). Bhuwana dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan
dengan “Dunia“ yang berarti Bumi dengan segenap isinya, dalam bahasa Inggris Earth.
Kertha
yang diambil dari bahasa Sansekerta dari urat kata “ Krt “ yang berarti berbuat. Perubahannya menjadi “Kertha“ berarti
tertib, aman, damai (contoh: kertha
raharja sama dengan aman dan damai.
Persenyawaan
kedua kata ini menjadi “Bhuwana Kertha“ yang berarti “dunia damai, dunia tata tentram kertha raharja “ aman adil
dan makmur gemah ripah loh jinawe.
Simbolisasi “ Bhuwaba Kertha “ sesuai dengan cita-cita perjuangan Revolusi 17
Agustus 1945, yang menghendaki dunia damai, bebas dari segala macam bentuk
penindasan manusia atas manusia, sehingga tercipta ketertiban atas dasar
prikemanusiaan dan prikeadilan.
Secara
filosofis, pengertian dunia damai akan memungkinkan tercipta keselarasan
kehidupan lahir-bathin di antara manusia memenuhi kodrat hidupnya, sebagai
mahluk yang sama-sama ciptaan Tuhan. Kedamaian dunia, berarti kedamaian setiap
bangsa yang punya hak sama dan kewajiban yang sama pula. Keseimbangan dunia
akan terganggu, manakala ada bangsa atau manusia yang tidak memenuhi kodrat-kodrat
hidupnya sebagai manusia atau bangsa yang mengakui kesamaan derajat
kemanusiaan. Tuhan telah menciptakan manusia dengan dibekali pikiran dan berbagai kemampuan yang diberikan kepada
setiap manusia atau bangsa untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kesejahteraan umat-Nya. Pelanggaran-pelanggaran terhadap kodrat ini akan
mendatangkan mala petaka bagi dunia dan kemanusiaan itu sendiri.
Penjajah
yang tidak memenuhi kodrat hidup bangsa lain wajar dilawan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Itulah sebabnya perlawanan bangsa
Indonesia terhadap penjajah dikaruniai oleh Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Sehingga perbandigan kekuatan
fisik dak teknologi antara bangsa Indonesia dengan penjajah sangat tidak
seimbang, tetapi karena-Nya semuanya itu dapat dilawan dengan kemenangan ada di
tangan bangsa Indonesia.
4.4 Bentuk Monumen
Walaupun
perjuangan kemerdekaan Indonesia, telah dimulai puluhan tahun sebelumnya,
dengan segala pasang surut dan pengorbanannya, namun baru pada tanggal 17
Agustus 1945 dicapai kemerdekaannya.
Arti
Proklamasi 17 Agustus 1945 begitu keramat bagi bangsa Indonesia karena
sekaligus mengubah status bangsa Indonesia dari bangsa terjajah menjadi bangsa
yang nerdeka. Proklamasi ini pula mengandung prospek dan perspektif kehidupan
yang jauh lebih sempurna, lebih bermartabat dan lebih memenuhi kodrat hidup
manusia sebagai mahluk Tuhan. Itulah sebabnya bagi bangsa Indonesia Proklamasi
17 Agustus 1945 sangat dikeramatkan dan membawa berkah yang amat mulia bagi
kehidupan bangsa Indonesia.
Angka-angka
yang tersusun dalam 17 bulan 8 tahun 1945, tetap bergema pada dada setiap
bangsa Indonesia, dan tetap diwariskan pada generasi berikutnya. Angka-angka
ini telah pula dipahatkan ke dalam bentuk Monumen Bhuwana Kertha:
a. Tinggi Monumen Bhuwana
Kertha: 17 Meter
b. Banyaknya daun teratai : 8 Lembar
c. Celah dulang, tempat air ke luar : 45
Buah
jadi
merupakan simbol dari 17 Agustus 1945 (Hari Kemerdekaan NKRI).
Karena
Revolosi Indonesia dilandasi oleh Filsafat Pancasila, yang menjadi falsafah
bangsa Indonesia dan Negara Indonesia Merdeka, maka ke dalam bentuk Monumen
Bhuwana Kertha ini, Falsafah Pancasila juga dituangkan. Hal ini dapat dilihat
pada lantai pelataran monumen yang dibuat dalam bentuk prisai bersudut 5 (lima)
yang melambangkan Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan
beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan
yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan/perwakilan; serta mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
Sedangkan
penggambaran dengan simbol daun teratai di bawahnya ada air adalah
simbol-simbol dalam Agama Hindu yang memiliki arti sangat mulia. Hanya teratai
yang bisa hidup di air dengan akar di bawah daun dan bunga di atas air, sebagai
simbol yang mendapat kedudukan istimewa dalam Agama Hindu.
4.5 Kemerdekaan Indonesia Atas
Berkah Tuhan
Oleh
karena bangsa Indonesia meyakini bahwa kemerdekaan yang berhasil direbut ini
adalah atas rakhmat dan berkah Tuhan, sebagai mana tertulis pada pembukaan UUD
1945 alinia ketiga, maka sewajarnyalah rasa sujud dan rasa terima kasih dan
syukur itu disimbolisasikan pula dalam Monumen Bhuwana Kertha. Begitu pula
dalam mengisi kemerdekaan selanjutnya dimohonkan berkah dan rahmat pada Tuhan
Yang Maha Esa, semoga bangsa ini dapat secepat mungkin merih cita-citanya
sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Sikap
dan pandangan hidup ini yang mendorong Simbolisasi Antropomorfis, atau
melukiskan sifat-sifat atau keadaan Tuhan dengan secara Insan Kamil. Beliau
dalam bentuk Monumen ini dilukiskan Singgasana-Nya dalam wujud Padmasana yaitu
singgasana Tuhan menurut kepercayaan umat Hindu. Daun Teratai yang berjumlah 8
(delapan) helai melambangkan manifestasi dari Tuhan:
Sebagai Iswara dengan arah Timur
Sebagai Misora dengan arah
Tenggara
Sebagai Brahma dengan arah
Selatan
Sebagai Ludra dengan arah Barat
Daya
Sebagai Mahadewa dengan arah
Barat
Sebagai Sangkara dengan arah
Barat Laut
Sebagai Wisnu dengan arah Utara
Sebagai Sambu dengan arah Timur Laut
Kesimpulan
makna yang terkandung dalam Simbolisasi Tuhan dalam bentuk Monumen Bhuwana
Kertha, agar Tuhan selalu memelihara kedamaian dunia, akar tetap damai serta
memberi berkah kesentausaan begi rakyat Indonesia. Tuhan dalam wujudnya sebagai
penjaga dunia dari penjuru mata angin dilambangkan dengan delapan daun teratai
dengan arahnya menju ke segala penjuru mata angin itu. Dimaknai akan selalu menjaga Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari segala penjuru sepanjang masa.
4.6 Semangat Patriotisma dan Heroisme
Semangat
Patriotisme dan Heroisme yang telah menghasilkan kemerdekaan dengan kesediaan
berkorban lahir-bathin yang perlu diwariskan. Pengisian kemerdekaan masih tetap
menuntut sifat-sifat itu. Oleh sebab itu, ke dalam dada generasi kemudian harus
pula dibangkitkan semangat patriotisma dan heroisme ini. Dengan tujuan itulah
di dalam bentuk monumen semangat ini dituangkan. Hal ini dapat disaksikan pada: menggelegaknya air di
kolam dan adanya simbol api pada puncak monumen. Api itu sebagai simbol
semangat perjuangan 17 Agustus 1945 yang membara bagai api di ujung menara itu
dan tidak pernah padam selanjutnya dalam mengisi kemerdekaan.
4.7 Relief Monumen Bhuwana Kertha
Relief-relief
yang dilukiskan pada Monumen Bhuwana Kertha bukanlah tanpa arti. Relief-relief
yang ada ini tetap dalam kaitan makna Revolusi 17 Agustus 1945. Kedamaian dunia
yang kita cita-citakan ialah kedamaian yang sejati, yang langgeng yang membawa
berkah. Oleh sebab itu kedamaian itu haruslah kedamaian yang benar-benar
dianugrahi oleh Tuhan, dipelihara dan diciptakan oleh-Nya. Lambang-lambang
pemeliharaan kedamaian dunia yang dianugrahi Tuhan.
Seekor
Kura-kura atau Empas dan dua ekor naga
(Ular besar) melilit menjadi tali pengikat dunia dari segala goncangan.
Lambang-lambang ini diambil dari ceritra klasik “Pamuteran Mandara Giri dalam
mencari Tirta Amertha”. Makna yang terkandung adalah dalam usaha manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya, hingga tercapai hasil-hasil perjuangan hidup yang
abadi, tidak timbul kegoncangan-kegoncangan, karena semua gerak di dunia telah
dilandasi dan diikat oleh ketentuan-ketentuan yang diajarkan oleh Tuhan.
Relief-relief
lainnya, tugu polos pada bagian tengah Monumen Bhuwana Kertha melambangkan
aspek nasional perjuangan pejuang-pejuang di Bali. Di sebelah menyebelah badan
Monumen terdapat relief berikut, beserta lambangnya sebagai beikut.
Bagian
depan berrelief dua pohon beringain, sebagai saksi cita-cita perjuangan yang
memperjuangkan tegaknya Merah-putih yang secara rial juga ditanam di halaman
bagian barat Monumen Bhuwana Kertha.
Bagian
belakang berisi Teks Proklamasi.
Bagian
samping berisi teks Ikrar yang telah di ucapkan dalam kaul dan sebait nyanyian
pada masa revolusi yang paling patriotik.
Demikianlah
simbol-simbol yang terdapat pada nama bentuk dan relief-relief yang terdapat
pada monumen Bhuwana Kertha yang semuanya merupakan simbolisasai dari 17
Agustus 1945 dan dikemas dalam arsitektur bernuansa Bali.
5. Fungsi
Monumen Sebagai Pendidikan Nilai
Monumen Bhuwana Kertha sebagai
warisan generasi pendahulu (pejuang Kemerdekaan) memiliki fungsi sebagai sarana
untuk mewariskan nilai-nilai perjuangan yang ditunjukkan oleh para pejuang pada
masa revolusi fisik 1945-1950 yang patut ditauladani oleh generasi berikutnya.
Beberapa nilai yng dapat dipetik
dari para pejuang dalam memperjuang kemerdekaan seperti yang disebutkan oleh
Pejuang Ida Bagus Tantra, yang dinilai cocok diwariskan pada generasi muda
selanjutnya, dalam Sarasehan Sejarah yang dilakukan oleh Program Studi Sejarah
FKIP UNUD tahun 1989 sebagai berikut.
5.1
Nilai Kecucian
kemerdekaan dipandang sebagai hak suci, karena
merupakan hak segenap bangsa, oleh karena itu penajajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prieadilan Ilihat
Pembukaan UUD 1945).
5.2 Nilai
Kejujuran
Sikap jujur dari pejuang sebenarnya
telah terpatri di dalam kecucian. Jujur
tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat alam Tri Kaya Parisudha . Pejuang tidak berani melakukan hal-hal kotor,
menipu, dan ingkar janji kecuali pada musuh seperti pepatah Bali mengatakan musuh nyandang lenyokin. Lagi pula
berjuang atas dasar hak suci yaitu kemerdekaan. Sifat dan sikap jujur bagi
petugas-petugas di instansi pemerintah
sangat diperlukan. Kurang adanya kejujuran akan berakibat terjadinya
penylahgunaan kekuasaan, kedudukan hingga terjadi penipuan, pemerasan,
penyelewengan, korupsi, manipulasi dan lainnya yang sejenis. Perbatan itu
sangat merugikan pembangunan, negara, pemerintah, instansi, dan rakyat yang
secara kasar dapat dikatakan penghianat negara, penghianat cita-cita bangsa,
pelakuknya harus diberikan hukuman yang berat. Kejujuran dan kesucian perlu
diwariskan dan diamalkan oleh organisasi-organisasi sekarang dan generasi
berikutnya. Dari itu kejujuran adalah salah satu dari sekian nilai-nilai juang
1945.
5.3 Nilai
Keikhlasan
Perjuangan dilakukan juga atas dasar
keikhlasan. Kita berjuang bukan karena paksaan, bukan karena ancaman, bukan
karena pamrihtetapi atas dasar ketulus-ikhlasan dan keyakinan akan kebenaran
perjuangan. Kita dari segenap lapisan masyarakat yang pandai dan yang bodoh/
yang buta huruf yang kaya dan yang miskin, laki-perempuan, tu dan muda yang
normal dan yang cacat, kaum terdidik dan petani di pedesaan, buruh, nelayan,
dan sampai tukang becak dulu terjun secara ikhlas dalam perjuangan, melakukan
tugas sesuai dengan bakat dan kondisinya masing-masing. Apakah yang berindak
sebagai penghubung, penyelidik, pengurus dapur perjuangan, yang terjun di
unit-unit kesehatan, kesatuan laskar bersenjata, di dalam kesatuan gerilya,
dalam perintahan gerilya dan sebagainya. Kesemuanya itu secara ikhlas menempati
fungsinya dan bersama-sama pula secara
ikhlas untuk mendukung tercapainya tujuan akhir perjuangan yaitu kemerdekaan
rakyat Indonesia.
Para gerilyawan/pejuang dapat
memusatkan pikirannya untuk perjuangan karena kebutuhannya ditanggung oleh
rakyat walaupun dalam penuh kesederhanaan, sesuai dengan kemampuan rakyat.
Rakyat melakukan hal ini secara ikhlas, semuanya melakukan kewajiban sesuai
dengan fungsinya masing-masing secara ikhlas. Jadi Keikhlasan adalah salah satu
nilai perjuangan yang masih relevan dengan pembangunan pada masa kini dan masa
datang.
5.4 Nilai
Kepahlawanan
Dengan semangat juang yang tinggi,
kamuan yang keras, keuletan dan keberanian sebagai patriot –maju tak
gentar—untuk mengusir penjajah. Perjuangan berjalan terus tidak pernah berhenti
dan menyerah. Pejuang bisa ditangkap, dijebloskan ke dalam sel bisa dibunuh di
dalam penjara, bisa gugir di dalam pertempuran tetapi perjuangan harus berjalan
terus. Sesuai dengan pepatah “mati satu tumbuh seribu” yang berarti kalau
pejuang gugur satu akan diganti oleh seribu pejuang lainnya dengan kesimpulan
perjuangan berjalan terus. Di era pembangunan semangat itu perlu diwariskan
kepada generasi muda agar pembangunan dapat berjalan terus. Tidak akan ada ABRI,
Pegawai Negeri, Pejabat Negara, Wartawan, teknologi canggih dan sebagainya
kalau tidak ada perjuangan para pahlawan di masa lalu. Oleh karena itu, bangsa
yang besar harus mampu menghargai para pahlawan di masa lalu. Cita-cita
kemerdekaan tidak akan tercapai kalau tidak tumbuh pahlawan-pahlawan
sebagaimana tuntutan zamannya. Semangat juag dan nilai kepahlawanan itu masih
diperlukan di masa sekarang dalam mengisi kemerdekaan yang telah dipancangkan
oleh pendiri negara pada tanggal 17 Agustus 1945.
5.
5 Nilai Disiplin
Tanpa disiplin yang kuat perjuangan
akan menjadi lemah, dan bahkan bisa kandas di tengah jalan. Perjuangan tidak
mengenal “kadaver disipline” atau disiplin bangkai atau disiplin mati, tetapi
disiplin yang hidup yang tumbuh dari kesadaran pribadi dari tanggungjawab diri
sendiri. Disiplin yang kuat adalah disiplin lahir dan bathin, inilah disiplin
nasional yang didambakan, agar pembangunan betul-betul bisa berhasil dengan
baik yaitu berkualitas tinggi, selesai tepat waktunya, menghabiskan biaya sesuai
dengan anggaran yang disediakan tidak lebih banyak masuk pundipundi pejabat.
Diharapkan muncul generasi muda yang menjadi polopor dalam berbudaya disiplin.
Untuk itu dapat dimulai dari dalam diri sendiri, kemudian merembes ke
lingkungannya, dan akhirnya menjadi disiplin nasional. Jadi disiplin adalah
salah satu nilai dari nilai-nilai perjuangan 1945 yang sangat berguna
diteladani era sekarang dan yang akan datang.
5.6
Kesederhanaan
Para
pejuang pada masa revolusi fisik hidupnya sangat sederhana, memakan apa saja
yang dapat disediakan oleh rakyat, karena mereka bagian dari masyarakat dan
harus memperhatikan kesusahan rakyatnya. Memakan ala kadarnya seperti singkong,
ubi jalar, jagung, talas, pisang, dengan sayuran apa yang ditemukan di kebun
penduduk, dan ikannya adalah ikan sawah dan sungai. Tidak jarang disuguhkan
kecibong dan katak, belalang, capung, belauk, dan ores tentu saja sudah diolah.
Sayur lainnya adalah sayur antug-antugan,
rebung, pakis, dan sesekali sayur dari daun kopi. Rokoknya ya rokok kelebot
dari daun aren mud dan daun keraras
dengan tembakaunya hasil olahan sendiri. Minum kopi dengan gula aren dan gula
kelapa tempat minumnya dari tanah lihat, cangkir dari bambu (cekel), dan tempurung kelapa (kau).
Dalam era pembangunan demi mengisi
kemerdekaan sekarang ini diperlukan hidup sederhana dan hemat, karena hidup
boros adalah tercela. Kalau ada yang kaya diharapkan bisa memberikan sumbangan
pada yang ada di bawah garis kemiskinan, rela menyumbangkan sedikit kekayaannya
demi kehidupan sesama dan sebangsa kita menjadi lebih layak. Paling tidak dapat
beryadnya lebih dalam pembangunan-pembangunan untuk sarana umum seperti
pembangunan tempat suci atau ibadah. Jadi hidup kesederhanaan sangat diperlukan
dalam pembangunan untuk mengisi kemerdekaan ini. Dengan demikian kesederhanaan
adalah salah satu nilai dari nilai-nilai perjuanagan 1945.
5.
7 Nilai Kesatuan dan Persatuan
Dengan sepontan dan keikhlasan,
dengan rasa turut memiliki dan bertanggung jawab atas hak dan kewajiban dan rsa
saling asah, saling asuh dan saling asih persatuan dan kesatuan dapat
dipelihara , berarti kekutan menjadi semakin kukuh untuk mencapai tujuan
perjuangan. Tentu saja dalam perjuangan itu penuh dengan pertentangan dan
perbedaan pendapat, namun tidak menjurus pada perpecahan, permusuhan apalagi
pertempura, asalkan perbedaan itu dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat.
Kemufakatan iu dapat dituangkan dalam bentuk peraturan, atau intruksi yang dpat
ditaati oleh para pejang. Dalam mengisi kemerdekaan ini perlu ditanamkan jiwa
persatuan dan kesatuan sehingga kalau ada perbedaan pendapat dimusyawarahkan
untuk mendapatkan mufakat. Apalagi yang bersifat politis strategis perlu
dimintakan pendapat pada ahlinya sehingga kata sepakat tercapai, ketertiban
dapat terjamin, karena dalam keadaan tertib ketenangan untuk menyelesaikan
permasalahan dapat dilakukan dengan baik. Demikian pentingnya arti persatuan
dan kesatuan di negara RI yang terdiri dari berbagai agama, kepercayaan, etnit,
kebudayaan, lokasi dan sebagainya sehingga nilai persatuan dan kesatuan ini
memiliki nilai strategis untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara Republik
Indonesia.
5.
8 Nilai Religius
Bagi pejuang sebagai manusia bias
yang serba kekurangan dalam segala hidup an kehidupannya, setiap saat
mengadakan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa memohon ampun atas kekhilafannya
dan memohon petunjuk dalam meneruskan perjuangannya. Hubungan dengan pencipta
ini harus dilakukan setiap saat baik dalam keadaan suka maupun duka.
Khususnya di Bali di bawah Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dipercayai masih ada dewa, bhetara kawitan, bhuta kala.
Semuanya itu adalah makhluk-makhluk yang tidak tampak oleh mata biasa.
Sebagaimana kita ketahui para pejuang di Bali sama sekali tidak memiliki
alat-alat canggih seperti walky tolky, handy talky, hand phone tau alat-alat
ultra canggih lainnya. Karena para pejuang dalam perjuangannya terus mengadakan
kontak dengan alam gaib pejuang sering mendapat petunjuk dari makhluk gaib.
Umpamanya petunjuk bahwa disuatu tempat ada tersimpan senjata apai yang dapat
diambil, atau dimana ada kawan-kawan perjuangan yang meneruskan perjuangan
dapat dihubungi. Ada juga suatu desa yang sulit dikuasai secara terus menerus,
sehingga selalu bergiliran sebentar dikuasai Belanda dan sebentar lagi dikuasai
oleh gerilyawan. Atas petunjuk alab gaib hal itu dapat diatasi.
Pembanunan dalam mengisi kemerdekaan
hubungan manusia dengan penciptanya dirasa sangat perlu dilanjutkan, demi
pembangunan yang seimbang antara kebutuhan lahir dan kebutuhan bathin. Hubungan
ini terdapat dalam pusaka “Tri Hita
Karana”, bukan hanya hubungan manusia dengan penciptanya disebutkan juga
hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungannya. Falsafah
hidup ini kini telah menjadi bagian dari perjuangan masyarakat dunia dalam
mengembangkan konsep kependudukan dan lingkungan hidup. Keselarasan hubungan
antar sesama pejuang, pejuang dengan rakyatnya, pejuang dengan tuhannya,
pejuang dengan lingkungannya telah menjadi bagian hidup dan kehidupan para
pejuang di masa lalu. Hal ini perlu diwariskan pad generasi sekarang dan mendatang agar tercipta kehidupan manusia
yang harmonis.
Demikian warisan nilai yang diharap
untuk diwariskan pada generasi penerus perjuangan 1945 oleh pelakunya Ida Bagus
Tantra yang nampaknya pemikiran itu masih relevan dengan tuntutan zaman kita
sekarang (Tantra, 1989).
6. Fungsi Rekreatif Monumen
Bhuwana Kertha
Di samping monumen memiliki fungsi
edukatif yaitu sebagai sarana pewarisan nilai melalui pendidikan pada generasi
muda selanjutnya, maka hal yang perlu dikembangkan juga memiliki fungsi
rekreatif. Dunia sekarang telah menjadi sebuah desa kecil, dengan adanya
telekomunikasi yang sangat canggih yang disebut dengan era globalisasi.
Monumen diharapkan lebih
dikembangkan yang memiliki fungsi rekreatif, sehingga dapat berfungsi sebagai
tempat menyegarkan jiwa (refreshing)
dengan catatan hubungan antarkejadian dengan kejadian lainnya dapat tergambar
dalam sebuah monumen yang dipadukan dengan perilaku pejuang di masa lalu. Jejak
para pejuang sangat perlu diselusuri sambil melakukan rekreasi yang
diistilahkan dengan napak tilas, unuk kepentingan itu perlu diciptaka sara
untuk napak tilas.
Sebuah perjuangan dalam bentuk
gerilya sangat mudah dikemas menjadi sebuah paket wisata (rekreasi), karena ada
jejak sejarah berupa dokumen perjuangan dalam melakukan berbagai aktivitas
perjuangannya di sekitar monumen Bhuwana Kertha, dan ada lingkungan alam yang
sangat asri untuk ditata menjadi kawasan sejarah yang sangat apik. Tujuannya adalah di samping mendulang dollar
dari penyediaan lingkungan alam dan sara jalan yang menyejarah, juga
melestarikan lingkungan alam yang ada di sekitar peristiwa sejarah, sehingga
tidak digunakan oleh penduduk seperti peruntukannya. Sebuah lahan akan menjadi
sangat berharga, apa lagi viewnya sangat asri, seperti daerah Munduk
Pengorengan yang jaraknya sekitar 2 Km dari Bhuwana Kertha, kalau peruntukannya
sudah jelas, misalnya akan dikembangkan menjadi daerah wisata alam yang
menyejarah (sudah tentu perlu perencanaan yang lebih maang) sesuai dengan jejak
sejarah yang ada.
Daerah Munduk pengorengan adalah
daerah yang sangat bersejarah karena daerah itulah yang dijadikan pertemuan
para pejuang MBO DPRI Sunda Kecil menjelang penurunannya tahun 1948. Kawasan
itu, ke selatan sampai daerah Pura Puncak Landep dan daerah Sekitar Danau
Tamblingan adalah daerah tempat hidupnya para pejuang dalam keseharian,
menghindari kejaran NICA dan Cecunguk-nya.
Munduk Pengorengan adalah sebuah
tanah yang bentuknya seperti kuwali (pengorengan) merupakan daerah yang sangat
strategis untuk mngintai musuh yang kan menyerang para pejuang. Di daerah itu
juga ada tempat persembahyangan yang setiap saat dipergunakan oleh para pejuang
untuk memohon perlindungan pada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Penduduk sekitarnya telah sadar betul suatu ketik kalau
kesadaran sejarah bangsa terwujud, daerah itu pasti akan dikembangkan menjadi
kawasan sejarah, karena secara nyata daerah itulah yang paling sering dijadikan
tempat berkumpul, daerah itulah merupakan markas terbuka yang sangat baik dan
strategis.
Dari daerah Munduk Pengorengan akan
terlihat dengan jelas seluruh kawasan yang ad di hadapannya, trlihat pantai dengan
jelas, kota Singaraja dengan Jelas, dan daerah kawasan di timurnya, naik lagi
sekitar satu kilo meter akan tampak hamparan belakang dan mukanya yang sangat
mempesona. Begitu pentingnya kawasan ini dan mungkin pula hanya dipahamioleh
segelintir orang yang belajar sejarah perjuangan bangsanya. Buleleng sebagai
pemilik syah kawasan itu sangat memungkin untuk mengembangkannya menjadi
kawasan wisata sejarah dan kawasan wisata religius yang sangat didambakan oleh
rakyatnya.
Membuat kawasan wisata memang tidaklah
sulit, tetapi menjadikannya agar menarik setiap pengunjung, dalam menjawab
pertanyaan turis mengapa daerah itu dikatakan menarik sebagai tempat berwisata, adalah tidak mudah. Terutama
kawasan yang memiliki alasan menyejarah. Alasan yang dibuat-buat sangat mudah
dimentahkan oleh turis asing, karena kedatangannya ke daerah kita sebagian
besar darinya adalah orang berilmu dan pintar, bahkan mungkin dianggap genius
oleh bangsa kita.
Hitung-hitung bangsa lain memberikan
rakyatnya kesejahteraan dengan mengembangkan proyek padat karya, mengapa kita
dengan menyediakan lahan, yang dalam pengembangannya diserahkan pada investor
untuk menggarapnya, sehingga kesejahtraan masyarakat sekitarnya dapat terwujud
secara tidak langsung.
Jika Jalan tembus dibuat dari
Bhuwana Kertha ke Munduk Pengorengan, dilanjutkan ke daerah kawasan Pura Puncak
Landep dan tembus ke Asah Munduk (Gobleg)- Danu Tamblingan, maka alternatif
jalan Bedugul-Singaraja akan tercipta dengan pemandangan yang sangat mempesona.
Di sanalah jejak sejarah dikumulkan dan di daerah-daerah lain selain di Munduk
Pengorengan dapat dibuat peristirahatan, berupa wantilan besar sehingga akan
menjadi sarana penghayatan sejarah yang tidak ternilai harganya.
Bagaimanapun juga bangsa Indonesia
tidak akan melupakan kebesaran jiwa para pahlawanya, walaupun tidak atau belum
tercipta sara fisik untuk melakukan penghayatan dan promosi penghayatan yang
paling baik melalui sarana rekreasi. Kalau bangsa sendiri mugkin tidak banyak
dapat memberikan kontribusi untuk sarana seperti itu, tetapi kalau itu
dilakukan oleh bangsa asing yang memiliki keadaan ekonomi lebih baik sudah
tentu ceritanya menjadi lain.
Demikian gagasan yang dapat
dikembangkan lebih lanjut, dengan pengkaji sejarah penjuangan rakyat Buleleng
masa revolusi fisik, dan melihat posisi Bhuana Kertha sebagai monumen yang
sengaja dibangun untuk mewariskan nilai-nilai perjuangan 1945 oleh pendiri bangsa
ini, melalui pengorbanan darah, nayawa dan harta benda pejuang kita. Semoga.
Walaupun sesunguhnya akan lebih cocok diletakkan di daerah Munduk Pengorengan
Monumen Bhuwana Kertha itu, karena daerah itulah yang merupakan daerah tenpat
realitas sejarah terjadi, bhukan di Bhuwana Kerta sekarang.
Namun Bhuwana Kertha lebih
berhubungan dengan sebual kaul kepada Ida
Sang Hyang Widi Wasa yang diprakarsai oleh pencetus kaul yaitu pejuang itu
sendiri. Mengapa kita sebagai pewaris perjuangannya tidak membuat sebuah
menumen yang menghormati beliau sebagai pejuang di daerah lokasi para pejuang
sehari-hari? Inilah pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan kesadaran sebagai
dasarnya, bukan untung dan rugi, apalagi kepentingan sesaat demi sebuah
kedudukan atau jabatan tertentu.
Untuk merealisasi hal ini tidak
boleh main-main dan coba-coba, memerlukan pemikiran yang serius seperti
bagaimana Belanda dulu membuat Jalan Bedugul- Singaraja, hanya dengan
menggunakan para Napi daerah Batu Mejan dapat dibongkar dijadikan jalan yang
layak dilalui oleh kendaraan besar dan kecil.
Kesanggupan bangsa kita untuk
membuat proyek raksas yang manumental masih perlu dipertanyakan, apakah
nilai-nilai perjuangan seperti yang tersebut di atas sudah luntur, sehingga
jalan-jalan yang diciptakan baru setelah Indonesia merdeka hampir semuanya
tidak memeiliki badan jalan yang baik. Tidak dapat belajar dari jalan yang
dibuat Belanda seperti lintasan belut yang berlika-liku ada punggung dan
perutnya tetapi enak dilalui walaupun kita naik gunung, tetapi tidak sadar
asyik dengan pengkolannya kita sudah sampai di puncak dan harus turun dengan
berbagai tikungan menarik lagi. Jalan buatan bangsa kita naik dan turunnya
sangat tajam dan terkesan “buang”, tidak memiliki daya imaginasi yang meliuk-liuk
seperti belut atau ular tadi, sehingga melalui jalan di sebelah barat Terminal
Sangket yang tidak lebih dari seper empat Km terasa seperti pergi ke ujung
Timur Pulau Bali.
BAB V
P
E N U T U P
5.1 Simpulan
Perjuangan
heroik rakyat Bali Utara dalam mempertahankan kemeredekaan tidak dapat
diragukan, hal ini terbukti dari adanya pertempuran-pertempuran yang terjadi
dari tahun 1945-1948 dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Gugurnya I Ketut Merta dalam peristiwa Bendera di
Pelabuhan Buleleng merupakan korban pahlawan pertama dalam mempertahankan
kemerekaan pada tanggal 27 Oktpber 1945. Peristiwa ini dapat mendidihkan
semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Bali.
Perjuangan para pemuda dalam peristiwa Ringdikit (23
Maret 1946) sangat mengetuk hati kita, karena keberanian para pejuang
kebanyakan pemuda di daerah itu dalam mempertahankan negerinya yang mau dijajah
kembali oleh Belanda dengan “baju barunya” yaitu NICA. Walaupun dalam peristiwa
itu gugur I Dewa Made Rai, Pele dan Suryadi ditambah 2 orang penduduk desa.
Pengorbanannya tidak sia-sia karena dalam monumen di Ringdikit telah dipahatkan nama-nama para
pahlawan yang gugur dalam pertempuran di daerah itu.
Pertempuran di Banjar Jawa Singaraja (4 April 1946) yang
menewaskan I Gede Muka Pandan, sangat perlu dijadikan pelajaran bagi kita
semua, karena musuh dari dalam seperti musuh dalam selimut (AP Gandek) sangat
berbahaya. Hal ini juga menjadi pelajaran berharga betapa pentingnya persatuan
dan kesatuan dalam mempertahankan dan sekarang megisi kemerdekaan ini. Dalam kasus pertempuran Bebetin ( 9 April
1946 ) juga tidak jauh berbeda dengan peristiwa Banjar Jawa ini, karena
hancurnya perjuangan karena ada cerok di
dalam. Perisiwa di Desa Bebetin banyak mendapat spirit dari perjuangan
Jagaraga, para pejuang yang bergerak di daerah ini termasuk sektor timur, di
bawah pimpinan I Nengah Tamu (Cilik) sangat berani menantang Belanda, sayang AP
Gandek dari daerah Sangsit mengagalkan berbagai rencana yang disusun oleh pejuang.
Pejuang kita berani melawan musuh yang bersenjata lengkap
dengan senjata seadanya, seperti dalam pertempuran di Kilometer 17 Gigit Truk
NICA satu per satu masuk perangkap para pemuda, berkat penembak jitu I Ketut
Mas walaupun akhirnya merenggut nyawanya dalam pertempuran penghadangan itu.
Pertempuran demi pertempuran dilakukan oleh para pejuang
dengan teknik gerilya (penyingkiran)
terjadi secara sporadis, sehingga akhirnya dunia internasional menekan Belanda
dan simpati pada perjuangan rakyat Indonesia, bahkan banyak negara yang
memberikan bantuan pada pemerintah Indonesia yang baru berdiri itu.
Puputan Margarana menjadi titik balik pejuangan, karena
setelah peristiwa puputan itu, perjuangan lebih mengendor karena mendapat
tekanan dari Belanda lebih keras, bahkan dikira perjuangan di Bali telah
berakhir. Namun para pejuang tidak mau
menyerah. Struktur organisasi baru (MBO Sunda Kecil) dibentuk lagi, dan
perjuangan mengambil strategi lebih banyak bersifat defensip, hanya sesekali melakukan serangan
untuk menteror penjajah Belanda saat itu.
Dalam kondisi seperti itu, para pejuang yang bermarkas di daerah sekitar
Munduk Pengorengan dan sekitarnya berpaling pada Tuhan Yang Maha Esa, dengan
mengadakan kaul. Setelah melalui serangkaian perundingan, disepakatilah waktu
untuk mengadakan” Kaul di Desa Panji,
bunyi kaul yang disepakati pada saat itu adalah “ Bila Perjuangan Republik Indonesia Menang, Nanti Para Pejuang Akan
Membangun Sebuah Pura Republik”. Kaul inilah diwujudkan dengan mendirikan
“Monumen Bhuwana Kerta sebagai simbol perjuangan rakyat Buleleng.
Banyak simbol yang dibuat dalam monumen itu dalam usaha
untuk mewujudkan nilai-nilai perjuangan yang ingin diwariskan pada generasi
penerus bangsa ini. Bentuknya telah tergambar berupa monumen perjuangan yang
berdiri megah di Panji. Monumen itu memiliki banyak makna diantaranya bernakna
pewarisan nilai-nilai perjuangan dari 1945-1948, bermakna edukatif dan dapat
dikembangkan agar memiliki makna rekreatif, karena pada dasarnya telah biasa
dipergunakan oleh masyarakat laus sebagai sarana rekreasi karena halamannya
yang asri dan lingkungan belakangnya yang memiliki view yang sangat indah.
Monumen ini memang harus dikembangkan sesuai dengan realitas lokasi para
pejuang di daerah atasnya, terutama daerah Munduk Pengorengan yang dipergunakan
sebagai tempat perundingan pada masa penurunan para pejuang. Di smping itu
sudah sering pula dipergunakan sebagai lokasi kemah mahasiswa, terkait dengan
pewarisan nilai-nilai kesejarahan.
Dengan
demikian apa latar belakang, dasar, tujuan dan motif mendorong dibangunnya
Monumen Bhuwana Kertha, dpat dikatakan tidak lain ingin mengabdikan nilai-nilai
sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang penuh Patriotisme dan Heroisme, dalam
mewujudkan Kemerdekaan bangsa Indonesia yang bersatu, merdeka, berdaulat dan
adil makmur.
Semoga
cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang diproyeksikan pada Monumen Bhuwana
Kertha terwujud dari Generasi ke generasi.
5.2 Rekomendasi
Direkomendasikan untuk mengembangkan Monumen Bhuwana
Kertha sebagai monumen yang memiliki bagian belakang sebagai tempat
mengembangakan wawasan dan objek wisata sejarah, sehingga monumen ini dapat
menggugah para pengunjungnya untuk melakukan napak tilas radius perjuangan para
pahlawan di masa revolusi fisik ke daerah interlands yang asri dan dengan sudut
pandang nyegara-gunung yang dapat menarik siapa saja, baik wisatawan
nusantara maupun manca negara.
Demikian juga, pengambangannya diikuti dengan wawasan
kependidikan yang dapat melanjutkan pewarisan nilai-nilai perjuangan para
pahlawannya. Terutama nilai rela berkorban, persatuan dan kesatuan dan cinta
tanah air. Dengan demikian, kebesaran jiwa pejuang teradopsi oleh generasi
penerusnya, karena bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati
jasa-jasa para pahlawannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ida
Bagus Tantra. 1989. “Nilai-Nilai Juang 1945 Tetap Relevan dalam Pembangunan
Sekarang dan Seterusnya”, disampaikan dalam Sarasehan Sejarah, FKIP Unud
Singaraja, tanggal 18 Nopember 1988.
|
Laporan
Pembangunan Monumen Bhuwana Kerta………….
|
Mirsha,
I Gst. Ngurah Rai. 1985. “Revolusi Fisik 1945 di Bali”, Laporan Penelitian. Fakultas Sastra Unud Denpasr.
|
Mudjiono,
Dkk. 1989. Hasil Sarasehan Sejarah Tentang Perjuangan 1945 di Bali (Revolusi
Fisik di Bali). Program Dtusi Sejarah FKIP Unud Singaraja.
|
Niel,
Robert van. 1984. Munculnya Elit Modern
Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
|
Nyoman
Mantik. 1989. “Pembentukan DPRI”, disampaikan dalam Sarasehan Sejarah, FKIP
Unud Singaraja, tanggal 18 Nopember 1988.
|
Pendit,
Nyoman S. 1954. Albun Bali Berjuang. Denpasar:
YKP Daerah Bali.
|
Pendit,
Nyoman S. 1979. Bali Berjuang..
Jakarta: Gnung Agung.
|
Pusat
Dokumentasi Kebudayaan Bali. 1989. Ngurah, Cokorda Alit: Dari Pembuangan di
Lombok Sampai Revolusi Fisik di Bali. Pusdok Kebudayaan Bali: Denpasar.
|
Tantra,
Ida Bagus. 1989. “Nilai-nilai Juang 1945 Tetap relevan dalam Era Pemabngunan
Sekarang dan Seterusnya”, Kerta Kerja.
Dalam Saresehan Tentang Perjuangan 1945 di Bali, pada Masa Revolusi Fisik.
FKIP Unud Singaraja.
|
Tjilik.
1999. “Kesinambungan Jiwa Perjuangan”, disampaikan dalam Sarasehan Sejarah,
FKIP Unud Singaraja, tanggal 18 Nopember 1988.
|
Widja,
I Gde . 1989. “Fakta Sejarah dan Pendidikan “,disampaikan dalam Sarasehan
Sejarah, FKIP Unud Singaraja, tanggal 18 Nopember 1988.
|
Widja,
I Gde. 1991. “Gerakan-Gerakan Reaksioner dalam Revolusi Fisik di Bali: Suatu
Kajian Sosio-Historis”. Hasil
Penelitian, Universitas Udayana Denpasar.
|
Widjana,
Ketut Alias Item. 1989. “Mengenang Kembali Sekelumit Perjuangan di Bali”,
disampaikan dalam Sarasehan Sejarah, FKIP Unud Singaraja, tanggal 18 Nopember
1988.
|
Program
Studi Sejarah. 1982. “Sejarah Perjuangan Masyarakat Ringdikit”, Hasil
Penelitian. FKIP Unud Singaraja.
|
Pageh,
I Made. 2002. “Dampak Pendidikan Terhadap Mobiltas Sosial Masyarakat Bali
Utara”, Hasil Penelitian. Jurusan Sejarah: IKIP Negeri Singaraja.
|
Lampiran O1:
Susunan Panitia
Induk Pembangunan Monumen Bhuwana Kertha.
A.
Pelindung : Panca Tunggal Buleleng
B.
Penasehat (Stiring Commite).
: 1. Semua Camat di Kabupaten
Buleleng
2. Kepala P.U Seksi Buleleng
3. Kepala Kantor Agama Wilayah Bali Utara
4. Kepala Dinas Pertanian Buleleng
5. Kepala Inp. Kebudayaan Tk I Bali,
Singaraja.
6. Kepala Dinas Kehutanan Tk.I Bali, Singaraja.
7. Kepala. Inp L.L. Jalan Bali Utara, Singaraja.
C.
Panitia Kerja.
Ketua Umum: Ketut Widjana
Ketua I
: I Dewa Made Suwidja.
Ketua II
: I Wayan Mudana
Ketua III : I Gst. Ngurah Partha.
Ketua VI
: Hartawan Mataram
Sekertaris I : I
Nyoman Oka Api ( Kanved.BLL/ Jembrana )
Sekertaris I (I): I Made Merta (
M.T.LVRI. Buleleng)
Sekertaris I (II): I Dewa Nyoman Teges
Bendahara I : I Putu Dana
Bendahara II : I Ketut Mas Matindas
Bendahara III : I
Ketut Sempidi
D.
Seksi-seksi.
I. Seksi Pengerahan Massa : Katua I : I Dewa Made Suwidja
Ketua II : I Nyoman Gede Mangku
Ketua III : I Made Putra
Ketua IV :
I Dewa Made Mantra
II.
Penerangan.
Katua I : I Wayan Mudana.
Ketua II : I Made Gelgel, BA.
Ketua III : Ida Ketut Gina
III.
Perlengkapan / Angk.
Katua
I :
I Gusti Ngurah Partha.
Ketua
II : I Wayan Nur Rai
Ketua
III : I Kutut Gedong
VI. Perencanaan.
Katua
I : Hartawan Mataram.
Ketua
II : Ida Bagus Indra
Ketua
III : I Nyoman Witana
Lampiran 02: Susunan Panitia
Kecil
Ketua : Hartawan Mataram
Anggota-anggota :
Ida Pedanda Putra Kemenuh
I Dewa Made Suwidja
I
Nyoman Tusan
Drs. I Ketut Sukedana
I
Gusti. Jelantik Susila B.I.F.
Lampiran 03:
Susunan
Sub-Panitia Pembangunan Monumen Bhuwana Kertha.
Ketua I :
Bagus Nyoman Putra.
Ketua II :
Bagus Nyoman Tirtha.
Sekretaris I :
Ketut Suwendra.
Sekertaris
II : Bagus Putu Candra.
Pembantu-pembantu : I
Dewa Nyman Jiwa.
Gusti Kompyang Dewi
Gusti Putu Merta
Bagus Made Dana
Pengerahan
Massa : Bagus Nyoman Tirtha
Wayan Derata.
Gede Wirya G.
Perlengkapan :
Ketut Suwedra.
Bagus Made Geria.
Gusti Nyoman Jiwa.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda