Kamis, 14 Desember 2017

KAJIAN KRITIS JEJAK MULTIKULTURALISME DI PURA GAMBUR ANGALAYANG KUBUTAMBAHAN BALI UTARA



Oleh
Dr. Drs. I Made Pageh, M.Hum[1]

ABSTRACT
            Kajian kritis ini mempersoalkan Pura Gambur Angalayang di Kubutambahan Bali Utara, secara temporal jauh mendahului pendidikan cross cultural di negara barat Amerika dan Prancis yang disebutkan sebagai cikal bakal lahirnya konsep multicultural.  Beberapa pertanyaan yang dirumuskan (1) Bagaimana latar belakang munculnya pluralitas di Nusantara? (2) Apa bentuk multikultur ditemukan di Pura Negara Gambur Angalayang Kubutambahan di Bali Utara? (3) Apa makna yang dapat diambil dari jejak sejarah itu? Tujuannya diharapkan dapat memjelaskan pemahaman baru terkait dengan multikulturalisme di Indonesia bahkan di dunia era globalisasi. Fakta sejarah dikaji menggunakan filsafat dan teori kritis (poststruktural), untuk mendapatkan makna multikulturalisme atau kesetaraan dalam pendisiplinan zaman Bali Aga. Secara historis kesadaran multikulturalisme, kesetaraan etnis dan kultural, jejaknya sudah dilaksanakan pada zaman Bali Aga, sekitar abad ke-12 di bawah kekuasaan Banwa Bulian di Kubutambahan di Bali Utara. Bentuknya berupa pemujaan bersama dalam satu kompleks pelinggih bernama “Pura Gambur Angalayang yang sekarang disebut juga Pura Republik. Makna multikulturalismenya di dalam satu plataran Pura yang sama, ditemukan tempat pemujaan secara bersama-sama etnis dan agama (sistem religi) berbeda-beda (diversity ununity), seperti: “Palinggih Ratu Bagus Sundawan, Ratu Agung Melayu, Ratu Ayu Mas Syahbandar, palinggih Ratu Pasek (Dalem Pingit), palinggih Ratu Gde Dalem Mekah, Padma Trilingga dan Patirtan (Pageh, 2014). Terdapat etnik Sunda, Melayu, Syahbandar Cina, Penganut Islam, penguasa lokal, dengan Padma Trilingga penanda zaman Mpu Kuturan (zaman Jayapangus dan Kang Ceng Wie) dan penanda sekta Waisnawa (Patirtan). Mistik sebagai dasar sistem religinya, yang sarat makna kesetaraan etnik, sistem religi, ritual, penganutnya dan sebagainya, sehingga multikulturalisme di Pura Gambur Angalayang itu dapat direkomendasikan sebagai novelty dalam kajian ini. Dan terbukti bahwa multikulrutalisme paling tidak kesetaraan dalam praktek dan praksisnya telah terjadi  sekitar 800 tahun mendahului pendidikan cross cultural tahun 1950-an di dunia Barat, dan tahu 1970-an pendidikan multikulturalisme di Kanada Amerika Serikat.      

 1.      Pendahuluan
Jejak sejarah berupa kompleks pemujaan bernama Pura Gambur Angalayang di Bali Utara, dalam satu penataran ditemukan beberapa pemujaan etnik dan agama yang berbeda-beda, dalam satu lokasi di Desa Kubutambahan Kecamatan Sawan Buleleng. Jaraknya sekitar 12 Km dari kota Singaraja, dapat dijangkau dengan sepeda motor atau mobil. Sangat menarik dilihat dari perspektif multikulturalisme.
Pura gambur Angalayang ini termasuk pura tua yang memiliki ciri-ciri pura zaman Bali Kuno sekitar abad ke-13, yaitu zaman Mpu Kuturan ditandai dengan adanya Padma Tiga di pelinggih itu. Kubutambahan zaman Bali Kuno bernama Kuta Banding, merupakan pelabuhan ramai dikunjungi pedagang asing. Pergulatan ideologis terus terjadi antara ideologi rwabhineda, trimurti, dan dewa nawa sanga yang dibawa oleh cultural heroes mempengaruhi Bali yaitu Rsi Markandeya (aba VIII), Kuturan (Abad XI) dan Danghyang Nirartha (abad XVI) (cf. Pageh, 2010). Pergulatan ideologis ini di Bali menampakkan budaya Bali menjadi sangat pluralis mengikuti Desa-Kala-Patra.
Nenek moyang bangsa Indonesia sadalah satu suku bangsa Melayu Austronesia yang bermigrasi ke nusantara dari Indocina. Kemudian datangnya ras luar, agama-agama luar, kolonialisme dan globalisme akhirnya menjadikannya sebagai masyarakat majemuk atau multikultur. (1) Kemajemukan Indonesia ditandai oleh wujud budaya dengan ciri khas masing-masing, dan sangat mudah dibedakan. (2) Pluralisme dapat dimaknai sebagai “pandangan dunia  atau world view of politics recognition”, terhadap ideologi, realitas pluralis, dan kebhinekaan dalam kehidupan masyarakat (Putranto, 2011:159). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan budaya etnis lain (https.org/wiki/ multikulturalisme, diunduh 28 April 2016). Nur Syam mengatakan multikulturalisme sebagai kesetaraan dalam variasi budaya yang ada dalam kehidupan di masyarakat, sehingga tidak ada dalam pertandingan ada disebut kalah dan menang (2013:79). Banyak teori multikulturalisme dikemukakan oleh para ahli, tetapi multikulturalisme dalam perspektif historis belum banyak ditemukan, terutama yang merujuk pada sejarah lokal atau jejak sejarah pluralisme yang terkait dengan genealogi kekuasaan, perdagangan dan kondisi geografis di Nusantara, masih jarang ditemukan (cf.Watson, 2000:87-104).
Rasisme, etnisitas, dan budaya agama dalam perpektif multikulturalisme adalah sebuah konstruksi sosial yang hadir dalam sejarah peradaban masyarakat manusia dalam konteks ruang dan waktu. Keragaman itu hakikatnya adalah sebuah keniscayaan. Alam dengan pelanginya memberikan tontonan keindahan perbedaan warna dalam harmoni” yang mengagumkan (cf. Mbete, 2008:x). Giddens (2010) memandang sebuah masyarakat dapat dilihat agen, struktur, kultur, yang meruang dan mewaktu. Sedangkan Foucaultan untuk memahami makna yang terkandung dalam sebuah arkeologi (sejarah  lokal) dibutuhkan alat bongkar dengan melihat jaringan kuasa disebut genealogi Foucault (2012) dan Bourdieu melihat adanya modal-modal yang bermain di baliknya, seperti modal capital, budaya, sosial, dan simbolik (dalam Haryatmoko, 2010:17). Penguasa Indonesia setelah merdeka melaksanakan kebijakan politik monokultur yang berakibat local geniuses kehilangan kemampuan dalam mengelola perbedaan, terutama ideologi developmentalism dalam konteks rust and order pada zaman Orde Baru. Namun krisis multidimensional 1998 memporak-porandakan tatanan yang dibangun selama 30-an tahun, yang abai dengan hakikat dari multikulturalisme dalam pembangunan yang mencerdaskan kehidupan bangsa berdasar atas Pancasila dan UUD 1945. 

Dari latar belakang di atas dirumuskan pertanyaan:(1) Bagaimana latar belakang munculnya pluralitas di Nusantara? (2) Apa bentuk multikultur ditemukan di Pura Negara Gambur Angalayang Kubutambahan di Bali Utara? (3) Apa makna yang dapat diambil dari jejak sejarah itu? Tujuannya adalah, dari fakta sejarah lokal (arkeologi) itu diharapkan dapat dijelaskan genealogi (argumen) lainnya terkait dengan multikulturalisme untuk kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia era globalisasi. Kajian ini adalah studi kasus yang sangat bermanfaat bagi dunia akademik yang membahas multikulturalisme. Fakta sejarah dikaji dalam perspektif kajian budaya dengan menggunakan teori posstrukturalisme (teori kritis), untuk mendapatkan makna dalam konteks multikulturalisme.

2.      Sejarah Etnisitas dan Pluralitas di Nusantara
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikenal dengan nusantara, nusa+antara, yaitu pulau-pulau yang dihubungkan oleh lautan. Penduduk awalnya adalah satu suku bangsa yang disebut dengan Bangsa Melayu Austronesia. Sarasin menyebutnya “Proto Melayu dan Detro Melayu”, karena migrasinya terjadi dua gelombang (3.000-2.000 SM) dari Yunan terus ke Indocina dan Indonesia (Vlekke, 2016:9).
Secara historis munculnya etnisitas dan pluralitas di Nusantara,  merupakan akibat dari (a) pengaruh eksternal seperti pengaruh agama-agama besar, sosiokultural, pengaruh politik kolonial, modernisme, dan terakhir globalisme yang tidak merata di nusantara; (b) faktor internal seperti  keadaan geografis kepulauan, dan budaya serta bahasa daerah yang beradaptasi memiliki sistem yang otonum dan beragam. Pertemuan faktor eksternal dan internal itulah membentuk pluralitas yang sangat kompleks di Indonesia. Kebhinekaan Indonesia bukanlah taken for grented, tetapi dibentuk oleh faktor sejarah akomudasi, adaptasi, Homi K. Bhaba menyebut mimikri dan hibridasi (Martono, 2011:58). Peradaban impor --terminologi modernitas--, seperti agama-agama besar, kolonialisme, globalisme ke Nusantara memiliki peran besar mengubah peradaban Nusantara. Walaupun agama besar berusaha meminggirkan sistem religi lokal dengan mengkonstruksi wacana, mitos dan dogma baru sesuai versinya, namun sistem religi peradaban Melayu Austronesia tidak terapus begitu saja, bahkan tetap mewarnai peradaban lokal itu dalam tataran ideologi, sehingga ideology agama-agama besar yang datang ke nusantara jadi bersinergi dengan “adat/local genius bangsa Melayu Ausronesia (King dan Wilder, 2012:4-5).
Bangsa Indonesia secara faktual (historis) nenek moyangnya adalah Bangsa Melayu Austronesia, yang terdiri dari beberapa rumpun, yaitu: Melanesia, Polinesia, Mikronesia, dan Indonesia. P. dan F. Sarasin, menyebutkan penduduk Indonesia bermigrasi dalam dua gelombang yaitu “Proto-melayu dan Detro-melayu” (cf. Vlekke, 2013). Etnis-etnis di nusantara adalah diasporanya, kemudian dibentuk oleh budaya dan peradaban impor dari luar. Nenek Moyang Indonesia dalam perjalanan sejarahnya telah mengimpor (terminologi modernisme) berbagai cultural and civilization yang memperkaya kasanah kebudayaan di Nusantara. Sebelum mengimpor Agama-agama besar, bangsa Melayu Austronesia telah memiliki “Agama Asli Melayu Austronesia” disebut “Animisme dan Dinamisme” (kontruksi agama pendatang),yang intinya percaya pada kekuatan gaib, pemujaan roh leluhur dan catur sanak-/saudara bathinnya. Asal-usulnya berasal dari Asia Tenggara (Teluk Bacson Hoabinh/ Indocina). Pergulatan ini masih berlangsung dengan menggunakan dasar hasil penggalian manusia purba di Cina (Manusia Vekinensis), dan di Jawa/Indonesia manusia Pithecantropus Erectus, Manusia Soloensis yang telah memiliki peradaban sebanding dilihat dari jejak fosil, kehidupan dalam goa-goa, pemgunaan api, dan peradaban kapak genggam manusia Vekinensis.
Nenek Moyang Bangsa Indonesia dengan latar belakang geografis kepulauan, aksi budaya dan bahasa lokal yang berkembang, dan datangnya Agama-agama impor yang dianut, memunculkanetnisitas di nusantara. Ditandai oleh perbedaan budaya, bahasa, adat-istiadat dijadikan sebagai pembeda/ciri-ciri utama yang dijadikan streotif suku, walaupun  gennya,ciri-ciri fisik, kulit sawo matangnyasama. Fakta sejarah ini dikontruksi secara kuat oleh kolonial tidak dapat dipungkiri, walaupun mungkin mengejutkan dan atau menyadarkan bagi yang pertama mendengarkannya konstruksi argumen ini.
Pemujaan roh leluhur dan saktinya berdinamika dari pemujaan roh Ketua Suku, Raja, dan kemudian para Roh para Rsi di Bali. Representasi pemujaan roh dan saktin yang difungsikan dan dilembagakan dalam ritual, tradisi, adat istiadat, dan bahkan lembaga adat dalam bentuk banwa(desa nyatur), seperti Catur Desa Gobleg, Catur Desa Bintang Danau, dan Desa-Desa sekitar Pucak Penulisan. Pelindung dalam konteks nyagara satru disebut Bhatara, kemudian disetarakan dengan dewa-dewa dalam Agama Hindu yang diimpor dari India (Pageh, 2016).
Etnik Nusantara akan mudah dapat dipahami kalau berawal dari akarnya yaitu Bangsa Melayu Asutronesia, yang selama ini pemahaman etnik lebih banyak dimulai dari kolonialisme, dan konstruksi budaya kolonial barat. Dengan demikian maka pemahaman terhadap bangsa Indonesia menjadi kurang menguntungkan secara fisikal, struktural, dan kultural. Proses terkait dengan waktu dan tempat ini sangat penting disampaikan agar agen dan teks memiliki konteksnya meruang dan mewaktu (historisitas) bangsa Indonesia pascakolonial. Mengapa dikaitkan dengan kolonial dan penting dikaitkan, karena bangsa Indonesia secara yuridis formal sudah merdeka, tetapi secara  struktur dan kultur masih terbebaskan dari sistem feodal pascakerajaan dan kolonial pascakemerdekaan.
            Jejak peradaban benda-benda purbakala (arkeologi) Megalithikum memberikan petunjuk tentang relegiusitas, aksi,dan isi peradaban yang ada di baliknya. Kontinuitas “zeitgeist dan cultuurgebudenheit” sejarah mentalitas bangsa Indonesia (aslinya masih tersisa)tampak dalam kegilaan terhadap “Batu Akik, Mirah Delima, Buluh Perindu, Bambu Empet, Rante Babi, Kumis Harimau,Kayu Bertuah (supra natural)”jiwa zaman dan ikatan budaya zaman masa lalu, lahir menampakkan diri di era globalisasi. Atau apakah ini merupakan wujud kerinduan etnik nusantara terhadap warisan budaya/peradaban nenek moyangnya di masa lalu, representasi dari local genius Melayu Austronesia (Indonesia) yang tidak disadari masih tersimpan secara mendalam pada ambang sadar memori kolektif bangsa Indonesia. Atau dogma, mitos dan ketidakbenaran membongkar dirinya sendiri, karena sejarah tidak pernah bohong, bahkan dapat meruwat kebohongan ideologi kuasa yang disembunyikan.
            Jadi munculnya identitas etnik nusantara disebabkan oleh faktor geografis, sistem budaya lokal yang berkembang, impor agama-agama besar, pengaruh kolonial, dan IPTEKS di era globalisasi. Etnis berbeda tetapi masih sesuku, datangnya ras lain seperti cina, arab, jepang dan eropa memunculkan etnik, dengan pluralitas budayanya. Penghargaan perbedaan dengan kesadaran memberikan ruang hidup dalam kesetaraan pada golongan minoritas merupakan dasar multikulturalisme (Putranto, 2011;Ujan, 2011; Kumbara, 2011:37), dengan pemahaman teks dan konteks latar etnik nusantara dengan local genius yang berasal dari suku bangsa sama yaitu Melayu Austronesia, pengaruh Agama-agama besar, kolonialisme, dan globalisme tidak merata (Watson, 2000:88). Inilah wajah Indonesia yang harus dipahami, merawat multikulturalisme adalah merawat perbedaan itu. Bagaikan pelangi, keindahannya karena adanya perbedaan warnanya degradasi warna yang berbeda karena adaptasi bangsa Melayu Austronesia tau etnik Nusantara terhadap impor barang asing berbeda.

3.      Jejak Multikulturalisme di Pura Gambur Angalayang.
Pura Kertanegara penduduk sekarang menyebut Pura Republik, dikaitkan dengan “Negara Kesatuan Republik Indonesia”,sehingga lelontek-nya diwarnai oleh warna Merah-Putih (Bendera Merah-Putih), yang bermakna bhinekatunggalikha. Sedangkan Lelontek umumnya menggunakan simbol warna Pancadatu, Panca Dewata, Wayang Ramayana, Panca Pandawa, Naga, bulu Merak di ujung tombak/bandrang dan sebagainya. Hakikat warna merah-putih seperti disebutkan oleh Prof. M. Yamin dalam buku “6000 Tahun Sang Merah Putih” (1958) berasal dari getah merah (darah manusia), dan getah putih (pohon). Simbol ini sudah digunakan 6000 tahun di tahun 1958 itu, oleh manusia penghuni nusantara sejak manusia Mojokertensis (1958:31).
Multietnis, ras, dan kultural yang ditemukan di Pura Kertanegara/Pura Republik (Indonesia)/Pura Negara Gambur Angalayang di Kubutambahan. Sebagai fakta sejarah bahwa cross cultural, pluralisme, multikulturalisme sudah diterapkan jauh sebelum bangsa asing melaksanakannya, hanya saja ilmuan abai dengan sejarahnya, dan tidak mau belajar dari sejarah lokal dalam mengelola perbedaan (kebhinekaan) Indonesia (Furnivall, 1944). 
Kompleks palinggih “Pura Republik” ini memiliki dua halaman, dengan konsep “tapak dara” menandakan hulu-nya di tengah (atas). Di halaman tengah atau Jeroan ditemukan beberapa palinggih dalam satu kawasan yang mencirikan etnik nusantara dan ras durya negara(ras asing), lokasinya berjejer dari Utara ke Selatan, dalam posisi yang sama, menghadap ke Barat.
Filosofis pemujaan masih dalam konteks pemujaan catur sanak danroh leluhur dalam  sektarian di Bali.Pembangunan palingih masih menggunakan ideologi peralihan dari zaman Rsi Markandeya yaitu sinkritisme antara pemujaan Bhatara (Catur Sanak) di Dewakan, dan Roh Leluhur ditunggalkan dengan Brahman (Brahman Atman Aekyam), ke pemujaan Dewa Trimurthi. Sehingga masih menggunakan pagu nyatur, intinya Padmatrilingga atau Surya sebagai pusat pemujaan. PemujaanDalem Pingitdi samping Pura Pasek kemungkinannya adalah representasi dari Penguasa di Indrapura (Depaha), dengan “Hamengku/Paku Buwononya” Pasek Bulian, sebagai hulunyegara-gunungnya diPura Pucak Sinunggal (Prasasti Bulian). Bulian sebagai desa pelarian dari Danau Bulian- “sanding Tamblingan”, dapat diketahui dari Prasasti Bulian dan sisa Pura Tajun di tepi Danau Bulian (sekitar Abad ke-14) zaman akhir pemerintahan raja-raja Bali Aga. Palinggih yang ada di Pura Negara Gambur Angalayang dipahami sebagai bagian dari kekuasaan Banwa Bulian dan ikut berdagang di Pantai Utara Bali ketika itu. Palinggih Pura Negara Gambur Anglayang, posisi pemujaan multietnis ditempatkan dalam satu areal lokasi dengan posisi sama yaitu dari Utara ke Selatan menghadap ke Barat,


Beberapa Pelinggih yang ada:  (1)  Palinggih Ratu Bagus Sundawan,sebagai representasi keterlibatan etnik Sunda (Jawa Barat) ikut sistem religi sewadah di Bali Utara, diikuti simbol Kinara-Kinari di depannya; (2)Palinggih  Ratu Agung Melayu, representasi keberadaan etnik Melayu, yang ikut dalam sistem ritual sewadah di pura itu, di depannya ada patung orang Melayu Menggunakan Senapan (Bedil) dalam posisi jongkok:; (3) Ratu Ayu Mas Syahbandar, representasi etnik cina dalam perdagangan laut atau intersuler di Bal Utara, di depannya ada patung Orang Melayu berdiri membawa senapan laras panjang; (4) Palinggih Ratu Ayu Pasek dan Dalem Pingit (penguasa berkedudukan di Depaha (Indra Pura) kemungkinannya,seperti disebutkan dalam prasasti Bulian; (5)    Ratu Gde Dalem Mekah, representasi dari orang Mekah beragama Islam yang ikut dalam sistem religi sewadah itu; (6) Pura Padma Trilingga, representasi palinggih itu dibangun dalam kaitan menyatukan sektarian di Bali menjadi sekta Tri Murthi (Brahma-Wisnu-Ciwa). Inti pemujaan Agama India (dewa) ada pada Padma Trilingga umumnya masih dalam ideologi Rsi Markandeya. Dan hulu palinggih sisipan berupa Padmasana (hegemonik PHDI), palinggih inti setelah abad ke-16.; (7) Palinggih paling ujung adalah Pucaking Tirta, sebagai pengarusutamaan sekta Waisnawa dalam konteks ideologi raja sebagai Titisan Wisnu.
    Di luar peleban palinggih utama, ditemukan palinggih Catur sanak/Bhatara Caturmenjadi DewaNyaturmasih dalam ideologi Pancadewata (napak dara), yaitu: (1) Utara Pura bernama Ratu Gde Mas Punggawa, (2) Selatan Palinggih bernama Ratu Mutering Jagat,  (3) Timur plinggih bernama Ratu Mas Melanting, (4) di Barat diberinama Pura Taman. Keempat itu, sebelum datangnya Hindu representasi dari Catur Sanak.

4.    Makna Multikulturalisme di Pura Gambur Angalayang
Konteks palinggih Gambur Angalayang, sudah ada zaman Bali Aga, setelah Empu Kuturan datang zaman pemerintahan Prabu Udayana dan Mahendradata (ideologi pura setelah abad ke-11), mennjolnya pengarusutamaan pemujaan Wisnu-Ciwa-Bhuda. Negara telah melaksanakan kebijakan “bhineka tnggal ikha tan hana dharma mangruwa”, mendahului multikulturalisme di kerajaan Majapahit (Krishna, 2005:233; Ardhana, 2011:55).
Sejarah Raja Bali Aga bersanding dengan Etnis Cina, tergambar dalam Brong Landung (kultus Dewa Raja). Sebagai representasi raja Jaya Pangus dengan permaisurinya bernama Kang Ceng Wie. Asal-usul Kang Ceng Wie adalah anak seorang saudagar cina bernama Ping-An. Syahbardar Ping-An dengan lokasi menetapnya di Pura Pagonjongan di Buleleng Timur. Pinggan sangat menarik, disebut pula Piring Sutra, sebagai benda budaya memiliki nilai simbolik kemewahan. Lokasi tempat penjualan Piring Sutra di Desa Pinggan di dekat Puri/pura Dalem Balingkang di Timur Pura Pucak Penulisan (Panorajon). Pinggan Sutra bukan hanya digunakan oleh keluarga kerajaan, rumah tangga sebagai representasi kemewahan pada zamannya, tetapi juga digunakan sebagai asesoris bangunan suci, ditempelkan pada dinding bangunan penting seperti Pura, Puri, Merajan, Balai Kulkul, dan sebagainya. Dapat dipahami bahwa persebaran “Hiasan tempeldinding dengan Pinggan tersebar di Bali, terutama pada daerah pengaruh Jaya Pangus pada saat itu. Misalnya Pura Kehen di Bangli, Pura Yeh Gangga di Tabanan, Pura Grenceng di Badung dan pura tua lainnya. Pura Dalem Balingkang adalah Puri setelah Jaya Pangus selisih paham dengan Purohito Ciwa Gandu di Bedulu. Ketika itudalam sistem religi hulu-teben, hulunya Pucak Penulisan dan segaranya di Goa Gajah. Ketika memperistri Kang Ceng Wie Jaya Pangus telah memiliki Hulun Danu BaturSong-An, kemudian Jaya Pangus memindahkan Pura Hulun Danunya ke Desa Batur, menjadi Pura Hulun Danu Batur, dapat dipahami dari adanya jejak Palinggih Ratu Ayu Mas Subandarnya (kini telah menjadi Ratu Gede Subandar/gender). Poros kekuasaannya dapat dipahami dari: “Dalem Balingkang- Payangan-Bedulu-Goa Gajah dan Poros Dalem Balingkang-Tejakula-Pegonjongan-ke Barat sampai Pujungan-ke Selatan sampai di Nusa Penida (Dewi Kwan-In di Pura Giri Putri)”, penandanya palinggih Ratu Ayu Mas Subandar (dengan variasi gendernya).
Peran permaisuri Cina ini nampaknya sangat besar dalam perdagangan antarpulau, sehingga dia dipuja sebagai penguasa pelabuhan. Kang Ceng Wie tetap menjadi seorang ratu pelabuhan disebut dengan Subandar di Bali. Direpresentasikan pada setiap pelabuhan di pantai Utara Bali memiliki pura Ratu Ayu Mas Subandar. Juga menjadi salah satu palinggih di dalam kompleks pura Negara Gambur Angalayang.Sedangkan sebagai kota pelabuhan pada zamannya tempat pengambilan air tawar para pelaut dibuat sebuah pura bernama pura Panyusuan (susu=air), sekarang bernama pura Panegil Dharma. Pura penyusuan adalah tempat para pelaut mengambil air tawar, dan dikuasai oleh Kang Ceng Wie atau turunannya, beserta penguasa Bali Aga yang menguasai pantai Utara Bali.
            Palinggih Ratu Dalem Mekah didedikasikan pada Ratu Mekah kemungkinan dimaksudkan adalah representasi dari Gusti Allah dan atau Nabi Muhamad S.A.W. kata mekah mengcu pada Mekah atau Arab. Memiliki lokasi, dan bangunan istimewa ada dalam kompleks terkurung mandiri, paling istimewa dibandingkan dengan yang lainnya, setara dengan Dalem Pingit, dan ada paling ujung dekat dengan daerah Padma Trilingga. Informasi penduduk dulu penyungsungnya adalah orang-orang Islam yang jadi nelayan dan ikut dalam perdagangan di pelabuhan itu bernama Kuta Banding. Sedangkan sekarang ditinggalkan oleh penyungsungnya, karena citra Islam belakangan hanya Mesjid sebagai tempat bersembahyang, sedangkan yang lainnya karena darurat dan atau Mesjid tidak ditemukan di lokasi terdekat. Makna palinggih Ratu Mekah, dan juga pura Langgar (Bangli) bukan tempat persembahnyangan dalam konteks Islam, tetapi lebih berbau mistisisme (Atmadja, 2010:345).
Konsep Nyamabraya persaudaraan antaretnik diambil dari istilah sedulur dalam konteks sistem religi kebalian, Nyama Phat (Catur Sanak) dipahami dimulai dari kanda Phat Rare yaitu berbentuk “ketuban (Yeh Nyom), Darah, Air, dan Ari-ari”. Dari sini orang sesaudara disebut Nyama (dari Nyom bermakna se-air susu, se-darah, dsb). Selanjutnya kanda  bhuta, kanda Phat sari, dan kanda Phat dewa, atau dari lokal gineus ke hinduisme. Pemahaman melalui “Catus Pata” sebagai daerah astral genealoginya dari kepercayaan ini. Sedangkan di Jawa disebut Ong Phat kelimo Pancer dalam kajawen.Untuk menjaga persaudaraan orang Melayu Austronesia, walaupun sudah dikoptasi dengan enis, budaya, agama di Nusantara timely sebagai pembeda. Di Bali dikonstruksi dalam wacana budaya Nyama Bali-Nyama Selamaksi budayanya terjadi di Pura Gambur Angalayang dan diperkuat teks dan konteksnya pada zaman Raja Panji Sakti di Bali Utara (Pageh, 2010). Sedangkan berupa artefak berupa jejak sejarah sudah ada pada zaman Bali Kuno, terutama pada zaman Raja Jaya Pangus dengan Permaisuri Cinanya bernama Kang Ceng Wie. Representasinya berupa Barong Landung, bangunan suci dalam Pura Pabean atau Pura Ratu Mas Subandar (syah Bandar), yang ada di setiap pelabuhan di Pantai Utara Bali, Bangli, bahkan masuk dalam struktur palinggihklan merajan di Bali Utara, di Bali Tengah dan  sampai ke Nusa Penida. Palinggih dibahas dalam tabel 01 yaitu hasil analisis jejak multikultural di Pura Gambur Angalayang.

Tabel 01: Jejak Kesetaraan Etnik dan Religi di Pura Negara Gambur Angalayang.

No.
Etnik
Ras/Kulit
Kultural
1
Sunda
Melayu Austronesia/Sawo Matang
Indonesia Jawa Barat, budaya local genius
2
Melayu
Melayu Austronesia/ Sawo Matang
Menyebar di Asia Tenggara, budaya local genius
3
Cina
Kaukasoid/Kulit Kuning
Perdagangan Cina dan budaya agama Bhuda Mahayana, menyebar di seluruh Benua.
4
Mekah
Hitam Arab dan Melayu Austronesia/ Sawo Matang
Budaya Arab, dan Budaya Islam, ke Jawen menyebar di asia barat, Indonedia, dan menyebar ke seluruh Benua.
5
Pasek, Dalem Pingit
Melayu Austronesia/ Sawo Matang
Mainstream, Kultus Dewa Raja, budaya Hindusime dengan pengarusutamaan Wisnu-Ciwa-Bhuda.
Sumber: Dikonstruksi dari hasil observasi dan studi pustaka.  Lihat I Made Pageh “Integrasi Multietnik, Nyama Bali-Nyama Selam: Belajar dari Enclaves Islam di Bali ( Denpasar: Pustaka Larasan, 2014).
  
            Jadi dari hasil analisis di atas Pura Negara Gambur Angalayang sarat makna multikultural, paling tidak kesetaraan etnik dan sistem religi, terlihat dari keterlibatan secara plural ritual, etnis, ras, agama, sosial-budaya. Pelaksanaannya masyarakat Kubutambahan yang ikut dalam ritual dalam satu pura secara bersama-sama. Multikulturalisme, kebhinekaan, kesetaraan etnis dan sistem religi yang menyejarah sejak zaman Bali Aga itu mengalami banyak tantangan era globalisasi ini. Membutuhkan penyadaran lewat media, kajian akademik, kebijakan politik, dan pendidikan bagi generasi muda Indonesia  yang akan menjadi pewaris NKRI  ini ke depan. 

5.      Tantangan Multikulturalisme di Indonesia.
Tantangan utama multikulturalisme Indonesia adalah munculnya gerakan radikalisme dalam berbagai bentuk, seperti teroris dan dominasi maistream mayoritas sesungguhnya tantangan bangsa multikultural (Syam, 2009:57). Gerakan fundamentalisme Indonesia seharusnya kembali pada peradaban nenek moyang Indonesia yaitu bangsa Melayu Austronesia. Namun yang terjadi fundamentalisme ke “agama-agama besar “barang impor, disebut makar dilihat secara konstitusional, karena konstruksi budaya fundamentalisme itu tidak menyejarah. Fundamentalisme kalau dimaknai untuk kembali pada aslinya (Melayu Austronesia), secara teoretis tidaklah mungkin karena yang asli itu sudah mengalami mimikri dan atau hibridasi seiring perubahan jiwa dan ikatan budaya zaman, sehingga multikultural di Indonesia sesuai dengan klasifikasi yang disampaikan Parekh (2008).
Strategi hegemoninya dengan menafikan sistem religi berbasis local geniuses, ras luar, dan peradaban di luar kelompok radikalis, dengan melakukan konstruksi budaya baru se-olah-olah murni, benar dan absolut. Mustahil mengembalikan menjadi murni seperti dilakoni masa awal empunya. Pengampu terakhir tentu sudah diresapi oleh jiwa zaman dan ikatan budaya zaman pada konteksnya. Gerakan radikalisme untuk pemurnian itu, hanya ada dalam wacana yang penuh dogmatisme dan pemitosan demi kepentingan yang mengontruksinya (ada relasi kuasa).  Kalau jiwa dan ikatan budaya zamannya kultus dewa raja dan rsi dewa maka aksi terjadi demi pendewaan, demi kekuasaan, dan demi modal-modal yang diinginkan. Sehingga modal agama, budaya, sosial, politik semuanya diarahkan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan sesaat itu (Bourdieu, 1997). Watson (2000) menyebutkan multikultural sangat penting dijadikan kebijakan pada negara demokratis terutama dalam kehidupan nasionalisme, politik pendidikan, politik agama, politik media, untuk mengemban pluralisme budaya lokal dalam gerakan uniformitas global, karena multikultural tidak dapat dihindari kalau dilihat dari perspektif sejarah.
Radikalisme (terorisme di Indonesia), sering diwacanakan dalam konteks perlawanan dengan dominasi kapital dan IPTEK Barat, tetapi kenyataannya penghancuran tidak terjadi di negara lawannya yaitu barat, tetapi terjadi dan mengabil korban bangsa sendiri. Dengan demikian bukan perlawanan yang terjadi, tetapi terjadi sebaliknya kekejaman terhadap rakyat sipil yang tidak berdosa. Radikalisme menanamkan fatologi ideologi dngan menebar kebencian, ketidakadilan struktural dan kultural, ketakutan, dan kolonialisme gaya baru.
Berbeda dengan multikulturalisme dimana perbedaan seharusnya dihargai, dipelihara, dan dimaknai sebagai keindahan seperti pelangi, bukan neraka seperti gambaran dunia yang mendahuli terjadinya hari kiamat, karena terjadi heteropobia, takut menghargai budaya etnik, ras, atau budaya agama lain. Bahkan pembunuhan dipandang sebagai ritual untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga dilakukan dengan strukturasi dan kulturasi budaya dominan menggunakan kekuasaan, modal-modal sosial, dan pengetahuan bahkan dijadikan alat untuk mendisiplinkan dan menguasai kelompok lawan yang terpinggirkan, tidak bermodal dan tidak berpengetahuan.
            Integrasi antarumat di Bali dikonsep dalam Nyama Bali-Nyama Selam, Nyama Kristen,Galungan Bali-Galungan Islam, Galungan Cina, dan Galungan Kristen jika dimaknai dengan baik, akan sangat produktif bagi kedamaian, keamanan, ketenangan, dan persaudraaan dalam kehidupan Nasionalisme di Indonesia. Hegemoni kolonial juga terjadi di Pura Gambur Angalayang dengan adanya pematungan orang Barat memegang senjata di depan pelinggih itu. Bukan hanya di pura ini, tetapi juga dilakukan di Pura Dalem Segara Madu dengan relief pesawat terbang, mobil, orang minum; di pura Maduwe Karang ditemukan orang Belanda naik sepeda ditempatkan di lokasi Garuda Wisnu Kencana; juga relief orang Belanda berkopyah besar memainkan Biola pengganti relief Dewi Saraswati di Pura Beji Sangsit. Karena pura ini diketahui sebagai pura tua (sekitar abad ke-12), yang memiliki makna luar biasa bagi kebersamaan dan kesetaraan budaya (Syam, 2013:80), disebut kebijakan Balinization (Baliseering) pada tahun 1920-an (Picard, 2000;89; Pageh, 2016).
Dokumen pembentukan negara, perundang-undangan secara ideal sudah mengaturnya, tetapi dalam realitasnya untuk menemukan model yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata (timely) sangat sulit. Jejaknya di masa lalu yang teruji telah mengantar kebersamaan di masa lalu, wujudnya ditemukan di Pura Negara Gambur Angalayang di Kubutambahan Bali Utara. Hanya saja Wijaya (2016) mengatakan bahwa dominasi Hindu dengan pendisiplinan yang sangat ekstrim terjadi dalam penyama-brayaan Nyama Bali-Nyama Islam, yang sangat berbeda dalam hasil penelitian yang saya lakukan dalam Integrasi Nyama Bali-Nyama Selam (2014). Melihat sebuah praktik budaya hanya dari sisi negatif tidak produktif untuk mengantarkan masa depan multikulturalisme itu pada masyarakat pluralis seperti di Bali, atau di negara pluralis di dunia lainnya.
Kesetaraan dan penghargaan etnik berbeda, sistem religi berbeda, budaya agama berbeda terjadi di Pura Negara Gambur Angalayang sangat bertentangan dengan gerakan fundamentalisme, radikalisme yang mengatasnamakan agama besar, etnik, peradaban lainnya adalah kafir, yang mana sesungguhnya merupakan konstruksi hasrat atau kehendak untuk memecahnya agar dapat dijadikan dasar pengideologian dalam gerakan radikalisme. Radikalisme mempertentangkan Agama Lokal dengan Agama-agama besar, bangsa barat vs. Bangsa timur; ras kulit putih vs. kulit hitam/sawo matang; penganut Islam vs. penganut Kristen; ideologi modern vs. Tradisionalisme; kehidupan duniawi vs. Surgawi. Dogma ini menyebabkan terjadinya semangat permusuhan secara fundamental pada masyarakat global dan lokal. Jangan-jangan karakter Bangsa Indonesia memang memiliki sifat kegilaan terhadap barang asing yang  baru, lebih berbangga memakai kultur dan struktur luar dibandingkan dengan milik dalam negeri. Bukan hanya dalam barang-barang material, tetapi juga dalam sistem budaya, politik, peradaban, sehingga yang bermakna local genius ditinggalkan. Seperti meninggalkan musyawarah dan kemufakatan dengan memilih demokrasi liberal (voting alat legitimasi), sistem pasar bebas, sehingga tidak mendapatkan pemimpin nasional yang visioner (cf. Abdullah, 2010:125).
Secara historis multikulturalisme itu sudah sangat berkembang sejak  tahun 1950-an di AS dengan konsep interkultural, cross culture dalam pendidikan. Sejak tahun 1970-an konsep multikulturalisme dimulai dari Kanada Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam mengelola konflik yang muncul akibat migrasi dan perbedaan budaya penduduk pendatang yang sering memunculkan konflik dan permusuhan. Nilai-nilai Inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralitas diwacanakan secara terstruktur, sistematis, kontinyu melalui dunia pendidikan. Akhirnya di negara tersebut dapat menerobos lintas-batas atau garis demarkasi yang selama ini disekat secara ketat, dalam pendidikan agama, etnis, sosial, budaya yang tidak menguntungkan kehidupan bersama (to life togethers). Meminjan konsep Bourdieu multikulturlisme ini pada gilirannya dapat menjadi modal-modal terwujud kesatuan unity in diversity (Watson, 2000:68). Multikulturalisme sebagai dasar kebijakan politik dalam demokratisasi, pendidikan, kebudayaan, lebih jauh seperti disebutkan oleh Azra (2007:21) terkait dengan pencapaian civility (keadaban), democratic civility, humanness. Dengan demikian pendidikan multikultural menjadi faktor intrumental penting di Indonesia dan negara pluralis lainnya di dunia, pandangan ini sama dengan yang disampaikan oleh Kymlycka (2003) dalam buku Kewarganegaraan Multikultural.
Kebijakan politik multikulturalisme sangat penting bagi kehidupan bersama antarwarga negara pluralis, dengan mengembangkan pemahaman penghargaan hak-hak perorangan dan kolektif dengan kesetaraan, bukan hanya seperti tradisi libralisme yang hanya menjamin kebebasan individual dan kebudayaan etnik sebagai kewajiban negara. Yang terpenting di Indonesia adalah menjamin keadilan dan mengakui hak-hak minoritas, bahkan memastikan suatu suara ada datang dari golongan minoritas (Said, 2010:ix). Dengan demikian golongan minoritas (sub-altern, kelompok terdominasi) ikut diajak memutuskan bersama sehingga dalam  mengembangkan sikap toleran dengan batas-batasnya yang jelas, terutama  terkait dengan nilai kebersamaan dalam perbedaan itu. Sebagai negara kewajiban untuk mempertahankan secara bersama-sama multikulturalisme itu, tidak didominasi oleh sifat monokultur pada zaman Orde Baru yang mana budaya mainstream menjadi giant bagi golongan minoritas (Fromm, 2004:160; Zainuddin, 2010:7). Azyumardi Azra dalam buku “Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia”, memaparkan merawat kemajemukan, kebihekaan, pluralisme merupakan blessing in disguise untuk menuju masyarakat multikulturalisme, sehingga kemajemukan itu harus merayakan, dirawat, didikkan untuk merawat multikulturalisme di Indonesia (2007:6).
Era reformasi keindonesiaan ini seperti disambar petir, dalam sekejap porak-poranda dilanda oleh krisis multidimensional. Kondisi krisis itu berdampak pada krisis politik dan kebudayaan, sehingga muncul kekerasan bernuansa politik, agama, etnik, sosial dan sebagainya, dominasi etnik minoritas, dan kebencian terpendam karena pendisiplinan zaman Orde Baru memperlihatkan bentuk aslinya, terjadi  kekerasan berbau agama seperti di Aceh, Ambon, Poso, dan daerah lainnya  (cf. Watson, 2000:87; cf. Ardhana, 2011). Budaya luar dan hibriditas mengancam identitas nasional, sehingga krisis multidimensional itu masih berbekas sampai hari ini, terutama pada keluarga korban (cf. Loomba, 2016; Martono, 2011). Dengan demikian pendidikan merupakan modal penting untuk menyadarkan multikulturalisme sebagai basis moral dan nilai kewarganegaraan dalam mengembangkan demokratisasi (Kymlicka, 2003:14). Terutama harus dipastikan sudah dikembangkan dalam  pendidikan multikultural secara sistematis, dalam mengantisipasi perubahan global yang multiarah dan penuh ketidakpastian (Sztompka, 2008:101;  Ritzer dan Goodman, 2011:601). 
Pendidikan multikultur bagi bangsa Indonesia adalah suatu keniscayaan untuk pengembangan karakter persaudaraan sejati, recognition cultural, bagi masa depan bangsa Indonesia. Etnosentrisme etnik nusantara memberikan peluang besar terbentuknya budaya eksklusif, sehingga mengarah ke cauvinisme suku, agama, etnik, daerah secara berlebihan dan melupakan multiklturalisme dalam (supracultur) kehidupan bersama (Azra, 2007:24; Haryatmoko, 2014:68). Dengan demikian keragaman, perbedaan, pluralisme, kebhinekaan sebagai realitas Indonesia harus dikonstruksi ulang melalui pendidikan, agar tumbuhkan kesadaran bahwa mayoritas bangsa Indonesia berasal dari supra cultur yang sama yaitu satu Bangsa Melayu Austronesia. Supra-structure dan supra-culture bangsa Melayu Austronesia dapat menjadi sendi-sendi kehidupan besama (integreting force). Simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur, lembaga-lembaga untuk kehidupan bersama seperti gotong royong, pura Gambur Angalayang, pura Langgar, pura Syahbandar, konsep Nyama Bali-Nyama Selam, perlu dihidupkan sebagai sustainable social investation secara berlanjut untuk kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

5.Penutup
Sadari bahwa bangsa Indonesia berasal dari satu bangsa Melayu Austronesia, menjadi berbhineka, pluralitas disebabkan oleh faktor geografis, faktor disintegrasi kultural karena pengaruh luar. Khusus dalam religi (agama) bangsa Melayu Austronesia telah memiliki sistem religi asli Melayu Asutronesia sejak zaman megalithicum. Faktor impor agama-agama besar dari luar, tidak disadari telah meminggirkan (sub-alternisme) budaya dan agama warisan leluhur sendiri.
Kearifan multikultural lokal dalam merajut kerukunan antarumat, kesetaraan beragama ditemukan di Bali Utara yaitu di Pura Negara Gambur Angalayang. Pura ini sarat dengan pesan makna multikulturalisme dalam good practices kehidupan pluralisme, dalam ras, agama, budaya dan etnik, membuktikan multikulturalisme  sudah terjadi jauh sebelum bangsa Barat memulainya di tahun 1950-an di Kanada, dan tahun 1970-an.Tantangan bangsa Indonesia adalah munculnya gerakan fundamentalisme, terorisme yang menggunakan agama dan kemiskinan sebagai dasar disintegratif, perlu diwaspadai sebagai negara pluralis (Ardhana, 2011). Pura Negara Gambur Angalayang merupakan monumen berupa teks religi, menjadi faktor integratif antarumat beragama, etnik, budaya, ekonomi atau kehidupan cross cultural di Bali Utara. Belajar dari sejarah, faktor integratif (supra kultur) local geniuses wisdom (kearifan lokal) ini sangat cocok dijadikan model pendidikan multikulturalisme, berefleksi dengan pengalaman masa lalu untuk meniti pertalian masa depan bangsa Indonesia agar menjadi “gemah ripah loh jinawi”.
Saran-saran: (1) Mari membangun kesadaran multikulturalisme dari Bali Utara atau dari pura Gambur Angalayang yang memiliki sarat makna kehidupan pluralis; (2) Agar diambil hikmah dari supra structure dan supra culture sebagai faktor integratif untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia dari diskintegrasi bangsa. (3) Bali Pulau fakta di pura kecil Gambur Angalayang dapat menjadi contoh kehidupan multikultural bagi bangsa-bangsa pluralis di dunia. 

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2010. Berpihak pada Manusia: Paradigma Nasional Pembangunan Indonesia Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ardhana, Ketut. 2011. “Etnisitas dan Identitas: Integrasi Etnis dan Identitas dalam Terwujudnya Masyarakat Multibudaya di Bali”, dalam  Masyarakat Multikultursl Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integrasi. Denpasar: Larasan dan Faksas.

Atmadja, Bawa I Nengah. 2010a. Genealogi Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azra, Azyumardi. 2007. Merawat Kemajuan Merawat Indonesia:Seri Orasi Budaya. Yogyakarta: Kanisius.

Foucault, Michel. 2012. Arkeologi Pengetahuan, Regularitas-Regularitas Diskursif, Formasi-formasi Diskursif, Peernyataan dan Arsip..., dll.  Inyiak Ridwan  Muzir (penerjemah). Jogjakarta: IRCiSoD.

Fromm, Erich. 2004. Akar Kekerasan: Analisis Sosiologis atas Watak Manusia. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Soaial Masyarakat. Maufur dan Daryatno (penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

King, Victor.t dan William D. Wilder. 2012. Antropologi Modern Asia Tenggara: Sebuah Pengntar. Hatib Abdul Kadir (penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Krishnan, Anand. 2005. Sebuah Refleksi Sejarah: Indonesia Jaya. Jakarta: PT One Earth. Media

Kumbara, Anak Agung Ngurah Anom. 2011. Pergulatan Elite Lokal Representasi Relasi Kuasa dan Identitas. Yogyakarta: Penerbit Pintal dan IMPULSE.

Kymlycka (2003). Kewarganegaraan Multikultur. Edlina Hafmini (penyunting). Jakarta: LP3ES

Lommba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Hartono Hadikusumo (penerjemah). Yogyakarta: Narasi dan Pustaka Promethea.

Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Jakarta: Rajawali Pers.

Mbete, Aron Meko (Penyunting). 2008. “Pengantar”, dalam Etnisitas, Pluralisme, dan Multikulturalisme: Perspektif Pajian Budaya. Denpasar: Kajian Budaya Unud.

Nur Syam. 2009.Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Dari  Radikalisme Menuju Kebanggaan. Jogjakarta: Impulse.

Pageh, I Made. 2010. “Analisis Ideologi Desa Pakraman: Mengungkap Perbedaan Ideologi Desa Bali Aga dengan Desa dataran untuk Mengembangkan Kearifan Lokal Berbasis Trihita Karana di Bali Utara. Hasil Penelitian Stranas.Jakarta: Dirjen Dikti.

-------------.  2014. Nyama Bali-Nyama Selam: Belajar dari Enclave Muslim di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.

-------------. 2016. “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”. Disertasi.S-3. Kajian Budaya, Universitas Udayana: Denpasar (Unpublish).


Parekh, Bhikhu. 2008. Rethingking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: IMPULSE.

Picard, Michel. 2000. “Agama, Adat, Budaya”: The Dialogic Construction of ‘Kebalian”, in Dialog: Journal International Kajian Budaya. Vol.1 No.1 Januari 2000. Unud: Denpasar. Page 85-124.

Putranto, Hendar. 2011. “Wacana Multikulturalisme dilihat dari Perspektif Historis-Politis”, dalam Andre Ata Ujan, et al. Multikulturalisme: Belajar Hidup dalam Perdebatan. Jakarta: Indeks.

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern. Muhamad Taufik (penerjemah). Jakarta: Kencana.

Said, Edward. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur Sebagai Subjek. Achmad Fawaid (penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sztompka, Pitor. 2007.  Sosiologi Perubahan Sosial. Alimandan (Alih Bahasa). Jakarta: Prenada Media Group.

Sztompka, Pitor. 2007.  Sosiologi Perubahan Sosial. Alimandan (penerjemah). Jakarta: Prenada Media Group.

Ujan, Andre Ata, et al. 2011. Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: Indeks.
Vleeke, Bernard H.M.2016. Nusantara: Sejarah Indonesia: Seri Sejarah Terpilih. Samsudin Berlian (penerjemah).  Jakarta: Kpustakaan Pepuler Gramedia.

Watson, C.W. 2000. Multikulturalism. Buckingham: St. Edmundsbury.

Wijaya, I Nyoman. 2016. “Not a Multicultural Society: The Powerful Dicipline of Practicing towards Hindus and Muslim in Bali”, in International Journal of Linguistics, Laguage and Culture (IJLLC).Journal Homepage: htt:/ijcu.us/online/journal/ index.php/ijllc, vol 2, no.2, July 2016, pp106-119.

Zainuddin,H.M. 2010. PluralismeAgama: Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia. Malang: UIN-Maliki Press.





[1]Dr. Drs. I Made Pageh, M.Hum adalah dosen pengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Undiksha, Makalah ini disampaikan dalam “Seminar Nasional di Sastra Unud Denpasar, tanggal 17 April 2017.  

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda