KAJIAN KRITIS JEJAK MULTIKULTURALISME DI PURA GAMBUR ANGALAYANG KUBUTAMBAHAN BALI UTARA
Oleh
Dr.
Drs. I Made Pageh, M.Hum[1]
ABSTRACT
Kajian kritis ini mempersoalkan Pura
Gambur Angalayang di Kubutambahan Bali Utara, secara temporal jauh mendahului
pendidikan cross cultural di negara
barat Amerika dan Prancis yang disebutkan sebagai cikal bakal lahirnya konsep
multicultural. Beberapa pertanyaan yang
dirumuskan (1) Bagaimana latar belakang munculnya pluralitas di Nusantara? (2) Apa
bentuk multikultur ditemukan di Pura Negara Gambur Angalayang Kubutambahan di
Bali Utara? (3) Apa makna yang dapat diambil dari jejak sejarah itu? Tujuannya
diharapkan dapat memjelaskan
pemahaman baru terkait
dengan multikulturalisme
di Indonesia bahkan di dunia era globalisasi. Fakta
sejarah dikaji menggunakan filsafat dan
teori kritis
(poststruktural), untuk mendapatkan
makna multikulturalisme
atau kesetaraan dalam pendisiplinan zaman Bali Aga. Secara historis kesadaran
multikulturalisme,
kesetaraan etnis dan
kultural, jejaknya
sudah dilaksanakan pada
zaman Bali Aga,
sekitar abad ke-12 di bawah kekuasaan Banwa Bulian di Kubutambahan di Bali Utara. Bentuknya berupa
pemujaan bersama dalam satu kompleks pelinggih bernama “Pura Gambur Angalayang yang sekarang
disebut juga Pura Republik.
Makna multikulturalismenya di dalam satu plataran Pura yang sama,
ditemukan tempat pemujaan
secara bersama-sama etnis dan agama (sistem religi) berbeda-beda (diversity ununity), seperti: “Palinggih
Ratu Bagus Sundawan, Ratu Agung Melayu, Ratu Ayu Mas Syahbandar, palinggih
Ratu Pasek (Dalem
Pingit),
palinggih Ratu Gde Dalem Mekah, Padma Trilingga dan Patirtan (Pageh, 2014). Terdapat etnik Sunda, Melayu,
Syahbandar Cina, Penganut Islam, penguasa lokal, dengan Padma Trilingga penanda
zaman Mpu Kuturan (zaman Jayapangus dan Kang Ceng Wie) dan penanda sekta
Waisnawa (Patirtan). Mistik sebagai dasar sistem religinya, yang sarat makna
kesetaraan etnik, sistem religi, ritual, penganutnya dan sebagainya, sehingga
multikulturalisme di Pura Gambur Angalayang itu dapat direkomendasikan sebagai novelty dalam kajian ini. Dan terbukti
bahwa multikulrutalisme paling tidak kesetaraan dalam praktek dan praksisnya
telah terjadi sekitar 800 tahun
mendahului pendidikan cross cultural tahun 1950-an di dunia Barat, dan tahu
1970-an pendidikan multikulturalisme di Kanada Amerika Serikat.
1.
Pendahuluan
Jejak
sejarah berupa
kompleks pemujaan bernama Pura Gambur Angalayang di Bali Utara, dalam satu
penataran ditemukan beberapa pemujaan etnik dan agama yang berbeda-beda, dalam
satu lokasi di Desa Kubutambahan Kecamatan Sawan Buleleng. Jaraknya sekitar 12
Km dari kota Singaraja, dapat dijangkau dengan sepeda motor atau mobil. Sangat
menarik dilihat dari perspektif multikulturalisme.
Pura gambur Angalayang ini
termasuk pura tua yang memiliki ciri-ciri pura zaman Bali Kuno sekitar abad
ke-13, yaitu zaman Mpu Kuturan ditandai dengan adanya Padma Tiga di pelinggih
itu. Kubutambahan zaman Bali Kuno bernama Kuta Banding, merupakan pelabuhan
ramai dikunjungi pedagang asing. Pergulatan ideologis terus terjadi antara
ideologi rwabhineda, trimurti, dan dewa nawa sanga yang dibawa oleh cultural heroes mempengaruhi Bali yaitu
Rsi Markandeya (aba VIII), Kuturan (Abad XI) dan Danghyang Nirartha (abad XVI)
(cf. Pageh, 2010). Pergulatan ideologis ini di Bali menampakkan budaya Bali
menjadi sangat pluralis mengikuti Desa-Kala-Patra.
Nenek moyang bangsa
Indonesia sadalah
satu suku bangsa Melayu Austronesia yang bermigrasi ke nusantara dari Indocina. Kemudian
datangnya ras luar, agama-agama luar, kolonialisme dan globalisme akhirnya menjadikannya sebagai
masyarakat majemuk
atau multikultur. (1)
Kemajemukan Indonesia ditandai oleh
wujud budaya dengan ciri khas masing-masing, dan sangat
mudah dibedakan. (2) Pluralisme
dapat dimaknai sebagai “pandangan dunia
atau world view
of politics
recognition”, terhadap ideologi, realitas pluralis, dan kebhinekaan dalam
kehidupan masyarakat (Putranto,
2011:159). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup
suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta
penghormatan dan keingintahuan budaya etnis lain (https.org/wiki/ multikulturalisme,
diunduh 28 April 2016). Nur
Syam mengatakan multikulturalisme sebagai kesetaraan dalam variasi budaya yang
ada dalam kehidupan di masyarakat, sehingga tidak ada dalam pertandingan ada disebut
kalah dan menang (2013:79). Banyak teori multikulturalisme dikemukakan oleh para ahli, tetapi
multikulturalisme dalam perspektif historis belum banyak ditemukan, terutama yang merujuk pada sejarah lokal atau jejak sejarah pluralisme yang
terkait dengan genealogi kekuasaan, perdagangan dan kondisi
geografis di Nusantara, masih jarang ditemukan (cf.Watson, 2000:87-104).
Rasisme, etnisitas,
dan budaya agama dalam perpektif multikulturalisme adalah sebuah konstruksi
sosial yang hadir dalam sejarah peradaban masyarakat manusia dalam konteks ruang dan
waktu. Keragaman itu hakikatnya adalah sebuah keniscayaan. Alam dengan pelanginya memberikan
tontonan “keindahan
perbedaan warna
dalam harmoni” yang mengagumkan (cf. Mbete,
2008:x). Giddens (2010) memandang sebuah masyarakat dapat dilihat agen,
struktur, kultur, yang
meruang dan mewaktu. Sedangkan Foucaultan untuk memahami makna yang terkandung
dalam sebuah arkeologi (sejarah lokal)
dibutuhkan alat bongkar dengan melihat jaringan kuasa disebut genealogi
Foucault (2012)
dan Bourdieu
melihat adanya modal-modal yang bermain di baliknya, seperti modal capital, budaya,
sosial, dan simbolik (dalam Haryatmoko, 2010:17). Penguasa
Indonesia setelah merdeka melaksanakan kebijakan politik monokultur yang
berakibat local geniuses
kehilangan kemampuan dalam mengelola perbedaan, terutama
ideologi developmentalism dalam
konteks rust and order
pada zaman
Orde Baru. Namun
krisis multidimensional 1998 memporak-porandakan tatanan yang dibangun selama
30-an tahun, yang abai dengan hakikat dari multikulturalisme dalam pembangunan
yang mencerdaskan kehidupan bangsa berdasar atas Pancasila dan UUD 1945.
Dari latar belakang di atas dirumuskan pertanyaan:(1) Bagaimana latar
belakang munculnya pluralitas di Nusantara? (2) Apa
bentuk multikultur ditemukan di Pura Negara Gambur Angalayang Kubutambahan di
Bali Utara? (3) Apa makna yang dapat diambil dari jejak sejarah itu? Tujuannya
adalah, dari fakta sejarah lokal (arkeologi) itu diharapkan dapat dijelaskan
genealogi (argumen) lainnya terkait dengan multikulturalisme untuk
kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia era globalisasi. Kajian ini adalah studi kasus
yang sangat bermanfaat bagi dunia akademik yang membahas multikulturalisme. Fakta
sejarah dikaji dalam perspektif kajian budaya dengan menggunakan teori posstrukturalisme (teori kritis), untuk
mendapatkan makna dalam konteks multikulturalisme.
2.
Sejarah
Etnisitas dan Pluralitas di Nusantara
Indonesia merupakan negara
kepulauan yang dikenal dengan nusantara, nusa+antara, yaitu pulau-pulau yang
dihubungkan oleh lautan. Penduduk awalnya adalah satu suku bangsa yang disebut
dengan Bangsa Melayu Austronesia. Sarasin menyebutnya “Proto Melayu dan Detro
Melayu”, karena migrasinya terjadi dua gelombang (3.000-2.000 SM) dari Yunan
terus ke Indocina dan Indonesia (Vlekke, 2016:9).
Secara
historis munculnya etnisitas
dan pluralitas di Nusantara,
merupakan akibat dari
(a) pengaruh eksternal seperti pengaruh agama-agama besar, sosiokultural,
pengaruh politik
kolonial, modernisme, dan terakhir globalisme yang tidak merata di
nusantara; (b) faktor internal seperti
keadaan geografis kepulauan, dan budaya serta bahasa daerah yang beradaptasi memiliki
sistem yang otonum
dan beragam.
Pertemuan faktor eksternal dan internal itulah membentuk pluralitas yang sangat
kompleks di Indonesia. Kebhinekaan
Indonesia bukanlah taken for grented,
tetapi dibentuk oleh faktor sejarah akomudasi, adaptasi,
Homi K. Bhaba menyebut mimikri dan hibridasi (Martono, 2011:58). Peradaban
impor --terminologi
modernitas--,
seperti agama-agama besar, kolonialisme, globalisme ke Nusantara memiliki peran besar
mengubah peradaban Nusantara. Walaupun
agama besar berusaha meminggirkan
sistem religi lokal
dengan mengkonstruksi
wacana, mitos dan dogma baru sesuai versinya, namun sistem
religi peradaban Melayu Austronesia tidak terapus begitu saja, bahkan tetap
mewarnai peradaban lokal itu dalam tataran ideologi, sehingga ideology agama-agama
besar yang datang ke
nusantara jadi bersinergi dengan “adat/local genius”
bangsa Melayu Ausronesia (King dan Wilder, 2012:4-5).
Bangsa Indonesia secara faktual
(historis) nenek moyangnya adalah Bangsa
Melayu Austronesia,
yang terdiri dari beberapa rumpun,
yaitu: Melanesia, Polinesia, Mikronesia, dan Indonesia. P. dan F. Sarasin, menyebutkan penduduk
Indonesia bermigrasi dalam
dua gelombang yaitu “Proto-melayu
dan Detro-melayu”
(cf. Vlekke, 2013). Etnis-etnis di nusantara adalah diasporanya, kemudian
dibentuk oleh budaya dan peradaban impor dari luar. Nenek Moyang
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya telah mengimpor (terminologi modernisme) berbagai
cultural and civilization
yang memperkaya kasanah kebudayaan di Nusantara. Sebelum
mengimpor Agama-agama besar, bangsa Melayu Austronesia telah memiliki “Agama Asli
Melayu Austronesia” disebut “Animisme dan Dinamisme” (kontruksi agama
pendatang),yang intinya percaya pada kekuatan gaib, pemujaan roh leluhur dan catur sanak-/saudara bathinnya.
Asal-usulnya berasal dari Asia Tenggara (Teluk Bacson Hoabinh/ Indocina).
Pergulatan ini masih berlangsung dengan menggunakan dasar hasil penggalian
manusia purba di Cina (Manusia Vekinensis), dan di Jawa/Indonesia manusia Pithecantropus Erectus, Manusia
Soloensis yang telah memiliki peradaban sebanding dilihat dari jejak fosil,
kehidupan dalam goa-goa, pemgunaan api, dan peradaban kapak genggam manusia Vekinensis.
Nenek Moyang
Bangsa Indonesia dengan latar belakang geografis kepulauan, aksi budaya dan
bahasa lokal yang berkembang, dan datangnya Agama-agama impor yang dianut,
memunculkanetnisitas di nusantara. Ditandai oleh perbedaan budaya, bahasa,
adat-istiadat dijadikan sebagai pembeda/ciri-ciri utama yang dijadikan streotif
suku, walaupun gennya,ciri-ciri fisik,
kulit sawo matangnyasama. Fakta sejarah ini dikontruksi secara kuat oleh
kolonial tidak dapat dipungkiri, walaupun mungkin mengejutkan dan atau
menyadarkan bagi yang pertama mendengarkannya konstruksi argumen ini.
Pemujaan roh
leluhur dan saktinya berdinamika dari pemujaan roh Ketua Suku, Raja, dan
kemudian para Roh para Rsi
di Bali. Representasi pemujaan roh dan saktin yang difungsikan dan dilembagakan dalam ritual, tradisi, adat
istiadat, dan bahkan lembaga adat dalam bentuk banwa(desa nyatur),
seperti Catur Desa Gobleg, Catur Desa Bintang Danau, dan Desa-Desa sekitar
Pucak Penulisan. Pelindung dalam konteks nyagara
satru disebut Bhatara, kemudian
disetarakan dengan dewa-dewa dalam Agama Hindu yang diimpor dari India (Pageh, 2016).
Etnik
Nusantara akan mudah dapat dipahami kalau berawal dari akarnya yaitu Bangsa
Melayu Asutronesia, yang selama ini pemahaman etnik lebih banyak dimulai dari
kolonialisme, dan konstruksi budaya kolonial barat. Dengan demikian maka
pemahaman terhadap bangsa Indonesia menjadi kurang menguntungkan secara fisikal,
struktural, dan kultural. Proses terkait dengan waktu dan tempat ini sangat
penting disampaikan agar agen dan teks memiliki konteksnya meruang dan mewaktu
(historisitas) bangsa Indonesia pascakolonial. Mengapa dikaitkan dengan
kolonial dan penting dikaitkan, karena bangsa Indonesia secara yuridis formal sudah
merdeka, tetapi secara struktur dan
kultur masih terbebaskan dari sistem feodal pascakerajaan dan kolonial pascakemerdekaan.
Jejak peradaban benda-benda purbakala (arkeologi) Megalithikum
memberikan petunjuk tentang relegiusitas, aksi,dan isi peradaban yang ada di
baliknya. Kontinuitas “zeitgeist dan
cultuurgebudenheit” sejarah mentalitas bangsa Indonesia (aslinya masih
tersisa)tampak dalam kegilaan terhadap “Batu
Akik, Mirah Delima, Buluh Perindu, Bambu Empet, Rante Babi, Kumis Harimau,Kayu
Bertuah (supra natural)”jiwa zaman dan ikatan budaya zaman masa lalu, lahir
menampakkan diri di era globalisasi. Atau apakah ini merupakan wujud kerinduan etnik
nusantara terhadap warisan budaya/peradaban nenek moyangnya di masa lalu, representasi
dari local genius
Melayu Austronesia (Indonesia) yang tidak
disadari masih tersimpan secara mendalam pada ambang sadar memori kolektif bangsa Indonesia.
Atau dogma, mitos dan ketidakbenaran membongkar dirinya sendiri, karena sejarah
tidak pernah bohong, bahkan dapat meruwat kebohongan ideologi kuasa yang
disembunyikan.
Jadi munculnya identitas etnik nusantara
disebabkan oleh faktor geografis, sistem budaya lokal yang berkembang, impor
agama-agama besar, pengaruh kolonial, dan IPTEKS di era globalisasi. Etnis
berbeda tetapi masih sesuku, datangnya ras lain seperti cina, arab, jepang dan
eropa memunculkan etnik, dengan pluralitas budayanya. Penghargaan perbedaan dengan kesadaran memberikan ruang
hidup dalam kesetaraan pada golongan minoritas merupakan dasar
multikulturalisme (Putranto, 2011;Ujan, 2011; Kumbara, 2011:37), dengan
pemahaman teks dan konteks latar etnik nusantara dengan local genius yang berasal dari suku bangsa sama yaitu Melayu
Austronesia, pengaruh Agama-agama besar, kolonialisme, dan globalisme tidak
merata (Watson, 2000:88). Inilah wajah Indonesia yang harus dipahami, merawat
multikulturalisme adalah merawat perbedaan itu. Bagaikan pelangi, keindahannya
karena adanya perbedaan warnanya degradasi warna yang berbeda karena adaptasi
bangsa Melayu Austronesia tau etnik Nusantara terhadap impor barang asing
berbeda.
3.
Jejak
Multikulturalisme di Pura Gambur Angalayang.
Pura Kertanegara penduduk sekarang menyebut Pura Republik, dikaitkan dengan
“Negara Kesatuan Republik Indonesia”,sehingga lelontek-nya diwarnai oleh warna Merah-Putih (Bendera Merah-Putih),
yang bermakna bhinekatunggalikha.
Sedangkan Lelontek umumnya
menggunakan simbol warna Pancadatu, Panca Dewata, Wayang Ramayana, Panca
Pandawa, Naga, bulu Merak di ujung tombak/bandrang
dan sebagainya. Hakikat warna merah-putih seperti disebutkan oleh Prof. M.
Yamin dalam buku “6000 Tahun Sang Merah
Putih” (1958) berasal dari getah merah (darah manusia), dan getah putih
(pohon). Simbol ini sudah digunakan 6000 tahun di tahun 1958 itu, oleh manusia penghuni
nusantara sejak manusia Mojokertensis (1958:31).
Multietnis, ras,
dan kultural yang ditemukan di Pura Kertanegara/Pura Republik (Indonesia)/Pura Negara
Gambur Angalayang di Kubutambahan. Sebagai fakta sejarah bahwa cross cultural, pluralisme,
multikulturalisme sudah diterapkan jauh sebelum bangsa asing melaksanakannya,
hanya saja ilmuan abai dengan sejarahnya, dan tidak mau belajar dari sejarah
lokal dalam mengelola perbedaan (kebhinekaan) Indonesia (Furnivall, 1944).
Kompleks
palinggih “Pura Republik” ini memiliki dua halaman, dengan konsep “tapak dara” menandakan hulu-nya di tengah (atas). Di halaman
tengah atau Jeroan ditemukan beberapa
palinggih dalam satu kawasan yang
mencirikan etnik nusantara dan ras durya
negara(ras asing), lokasinya berjejer dari Utara ke Selatan, dalam posisi
yang sama, menghadap ke Barat.
Filosofis
pemujaan masih dalam konteks pemujaan catur
sanak danroh leluhur dalam sektarian
di Bali.Pembangunan palingih masih menggunakan ideologi peralihan dari zaman Rsi
Markandeya yaitu sinkritisme antara pemujaan Bhatara (Catur Sanak) di
Dewakan, dan Roh Leluhur ditunggalkan dengan Brahman (Brahman Atman Aekyam), ke pemujaan Dewa Trimurthi. Sehingga masih menggunakan pagu nyatur, intinya Padmatrilingga atau Surya sebagai pusat pemujaan. PemujaanDalem Pingitdi samping Pura Pasek kemungkinannya
adalah representasi dari Penguasa di Indrapura (Depaha), dengan “Hamengku/Paku
Buwononya” Pasek Bulian, sebagai hulunyegara-gunungnya
diPura Pucak Sinunggal (Prasasti Bulian). Bulian sebagai desa pelarian dari
Danau Bulian- “sanding Tamblingan”, dapat diketahui dari Prasasti Bulian dan
sisa Pura Tajun di tepi Danau Bulian (sekitar Abad ke-14) zaman akhir pemerintahan
raja-raja Bali Aga. Palinggih yang ada di Pura Negara Gambur Angalayang dipahami
sebagai bagian dari kekuasaan Banwa Bulian dan ikut berdagang di Pantai Utara
Bali ketika itu. Palinggih
Pura Negara Gambur Anglayang, posisi pemujaan multietnis ditempatkan dalam satu
areal lokasi dengan posisi sama yaitu dari Utara ke Selatan menghadap ke Barat,
Beberapa Pelinggih yang ada: (1) Palinggih Ratu Bagus Sundawan,sebagai representasi
keterlibatan etnik Sunda (Jawa Barat) ikut sistem religi sewadah di Bali Utara,
diikuti simbol Kinara-Kinari di depannya; (2)Palinggih Ratu
Agung Melayu, representasi keberadaan etnik Melayu, yang ikut dalam sistem
ritual sewadah di pura itu, di depannya ada patung orang Melayu Menggunakan
Senapan (Bedil) dalam posisi jongkok:; (3) Ratu Ayu Mas Syahbandar, representasi etnik cina dalam perdagangan
laut atau intersuler di Bal Utara, di depannya ada patung Orang Melayu berdiri
membawa senapan laras panjang; (4) Palinggih Ratu Ayu
Pasek dan Dalem Pingit (penguasa berkedudukan di Depaha (Indra Pura)
kemungkinannya,seperti disebutkan dalam prasasti Bulian; (5) Ratu Gde Dalem
Mekah, representasi dari orang Mekah beragama Islam yang ikut dalam sistem
religi sewadah itu; (6) Pura Padma Trilingga, representasi palinggih itu dibangun
dalam kaitan menyatukan sektarian di Bali menjadi sekta Tri Murthi (Brahma-Wisnu-Ciwa). Inti pemujaan Agama India (dewa) ada pada Padma Trilingga umumnya
masih dalam ideologi Rsi Markandeya. Dan hulu palinggih sisipan berupa
Padmasana (hegemonik PHDI), palinggih inti setelah abad ke-16.; (7) Palinggih paling ujung adalah Pucaking Tirta, sebagai pengarusutamaan
sekta Waisnawa dalam konteks ideologi raja sebagai Titisan Wisnu.
Di luar
peleban palinggih utama, ditemukan palinggih Catur sanak/Bhatara Caturmenjadi
DewaNyaturmasih dalam ideologi Pancadewata (napak dara), yaitu: (1) Utara Pura bernama Ratu Gde Mas Punggawa,
(2) Selatan Palinggih bernama Ratu Mutering Jagat, (3) Timur plinggih bernama Ratu Mas Melanting,
(4) di Barat diberinama Pura Taman. Keempat itu, sebelum datangnya Hindu
representasi dari Catur Sanak.
4.
Makna
Multikulturalisme di Pura Gambur Angalayang
Konteks palinggih
Gambur Angalayang, sudah ada zaman Bali Aga, setelah Empu Kuturan datang zaman pemerintahan
Prabu Udayana dan Mahendradata (ideologi pura setelah abad ke-11), mennjolnya
pengarusutamaan pemujaan Wisnu-Ciwa-Bhuda.
Negara telah melaksanakan kebijakan “bhineka
tnggal ikha tan hana dharma mangruwa”, mendahului multikulturalisme di
kerajaan Majapahit (Krishna, 2005:233; Ardhana, 2011:55).
Sejarah Raja
Bali Aga bersanding dengan Etnis Cina, tergambar dalam Brong Landung (kultus
Dewa Raja). Sebagai representasi raja Jaya Pangus dengan permaisurinya bernama
Kang Ceng Wie. Asal-usul Kang Ceng Wie adalah anak seorang saudagar cina
bernama Ping-An. Syahbardar Ping-An dengan lokasi menetapnya di Pura
Pagonjongan di Buleleng Timur.
Pinggan sangat menarik, disebut pula Piring Sutra, sebagai benda budaya
memiliki nilai simbolik kemewahan. Lokasi tempat penjualan Piring Sutra di Desa Pinggan di dekat Puri/pura Dalem Balingkang di
Timur Pura Pucak Penulisan (Panorajon). Pinggan Sutra bukan hanya digunakan oleh
keluarga kerajaan, rumah tangga sebagai representasi kemewahan pada zamannya,
tetapi juga digunakan sebagai asesoris bangunan suci, ditempelkan pada dinding bangunan
penting seperti Pura, Puri, Merajan, Balai Kulkul, dan sebagainya. Dapat
dipahami bahwa persebaran “Hiasan tempeldinding dengan Pinggan tersebar di Bali,
terutama pada daerah pengaruh Jaya Pangus pada saat itu. Misalnya Pura Kehen di
Bangli, Pura Yeh Gangga di Tabanan, Pura Grenceng di Badung dan pura tua
lainnya. Pura Dalem Balingkang adalah Puri setelah Jaya Pangus selisih paham
dengan Purohito Ciwa Gandu di Bedulu. Ketika itudalam sistem religi hulu-teben, hulunya Pucak Penulisan dan
segaranya di Goa Gajah. Ketika memperistri Kang Ceng Wie Jaya Pangus telah
memiliki Hulun Danu BaturSong-An, kemudian
Jaya Pangus memindahkan Pura Hulun Danunya ke Desa Batur, menjadi Pura Hulun
Danu Batur, dapat dipahami dari adanya jejak Palinggih Ratu Ayu Mas Subandarnya
(kini telah menjadi Ratu Gede Subandar/gender). Poros kekuasaannya dapat
dipahami dari: “Dalem Balingkang- Payangan-Bedulu-Goa Gajah dan Poros Dalem
Balingkang-Tejakula-Pegonjongan-ke Barat sampai Pujungan-ke Selatan sampai di
Nusa Penida (Dewi Kwan-In di Pura Giri Putri)”, penandanya palinggih Ratu Ayu
Mas Subandar (dengan variasi gendernya).
Peran
permaisuri Cina ini nampaknya sangat besar dalam perdagangan antarpulau,
sehingga dia dipuja sebagai penguasa pelabuhan. Kang Ceng Wie tetap menjadi
seorang ratu pelabuhan disebut dengan Subandar di Bali. Direpresentasikan pada
setiap pelabuhan di pantai Utara Bali memiliki pura Ratu Ayu Mas Subandar. Juga
menjadi salah satu palinggih di dalam kompleks pura Negara Gambur Angalayang.Sedangkan
sebagai kota pelabuhan pada zamannya tempat pengambilan air tawar para pelaut
dibuat sebuah pura bernama pura Panyusuan (susu=air), sekarang bernama pura
Panegil Dharma. Pura penyusuan adalah tempat para pelaut mengambil air tawar,
dan dikuasai oleh Kang Ceng Wie atau turunannya, beserta penguasa Bali Aga yang
menguasai pantai Utara Bali.
Palinggih Ratu
Dalem Mekah didedikasikan pada Ratu Mekah kemungkinan dimaksudkan adalah
representasi dari
Gusti Allah dan atau Nabi Muhamad S.A.W. kata mekah mengcu pada Mekah atau
Arab. Memiliki lokasi, dan bangunan istimewa ada dalam kompleks terkurung
mandiri, paling istimewa
dibandingkan dengan yang lainnya,
setara dengan Dalem Pingit, dan ada paling ujung dekat dengan daerah Padma
Trilingga. Informasi penduduk dulu penyungsungnya adalah orang-orang Islam yang
jadi nelayan dan ikut dalam perdagangan di pelabuhan itu bernama Kuta Banding. Sedangkan
sekarang ditinggalkan oleh penyungsungnya, karena citra Islam belakangan hanya
Mesjid sebagai tempat bersembahyang, sedangkan yang lainnya karena darurat dan
atau Mesjid tidak ditemukan di lokasi terdekat. Makna palinggih Ratu Mekah, dan
juga pura Langgar (Bangli) bukan tempat persembahnyangan dalam konteks Islam,
tetapi lebih berbau mistisisme (Atmadja, 2010:345).
Konsep Nyamabraya persaudaraan antaretnik
diambil dari istilah sedulur dalam
konteks sistem religi kebalian, Nyama
Phat (Catur Sanak) dipahami dimulai dari kanda
Phat Rare yaitu berbentuk “ketuban (Yeh Nyom),
Darah, Air, dan Ari-ari”. Dari sini orang sesaudara disebut Nyama (dari Nyom bermakna se-air susu, se-darah, dsb). Selanjutnya kanda bhuta, kanda Phat sari, dan kanda
Phat dewa,
atau dari lokal gineus ke hinduisme. Pemahaman melalui “Catus Pata” sebagai daerah astral genealoginya dari
kepercayaan ini. Sedangkan di Jawa disebut Ong
Phat kelimo Pancer dalam
kajawen.Untuk menjaga persaudaraan orang Melayu Austronesia, walaupun sudah
dikoptasi dengan enis, budaya, agama di Nusantara timely sebagai pembeda. Di Bali dikonstruksi dalam wacana budaya Nyama Bali-Nyama Selamaksi budayanya terjadi
di Pura Gambur Angalayang dan diperkuat teks dan konteksnya pada zaman Raja
Panji Sakti di Bali Utara (Pageh, 2010). Sedangkan
berupa artefak berupa jejak sejarah sudah ada pada zaman Bali Kuno, terutama
pada zaman Raja Jaya Pangus dengan Permaisuri Cinanya bernama Kang Ceng Wie.
Representasinya berupa Barong Landung, bangunan suci dalam Pura Pabean atau
Pura Ratu Mas Subandar (syah Bandar),
yang ada di setiap pelabuhan di Pantai Utara Bali, Bangli, bahkan masuk dalam
struktur palinggihklan merajan di Bali Utara, di Bali Tengah dan sampai ke Nusa Penida. Palinggih dibahas
dalam tabel 01 yaitu hasil analisis jejak multikultural di Pura Gambur
Angalayang.
Tabel 01: Jejak Kesetaraan Etnik dan Religi di
Pura Negara Gambur Angalayang.
No.
|
Etnik
|
Ras/Kulit
|
Kultural
|
1
|
Sunda
|
Melayu
Austronesia/Sawo Matang
|
Indonesia
Jawa Barat, budaya local genius
|
2
|
Melayu
|
Melayu
Austronesia/ Sawo Matang
|
Menyebar
di Asia Tenggara, budaya local genius
|
3
|
Cina
|
Kaukasoid/Kulit
Kuning
|
Perdagangan
Cina dan budaya agama Bhuda Mahayana, menyebar di seluruh Benua.
|
4
|
Mekah
|
Hitam
Arab dan Melayu Austronesia/ Sawo Matang
|
Budaya
Arab, dan Budaya Islam, ke Jawen menyebar di asia barat, Indonedia, dan
menyebar ke seluruh Benua.
|
5
|
Pasek,
Dalem Pingit
|
Melayu
Austronesia/ Sawo Matang
|
Mainstream, Kultus Dewa Raja, budaya
Hindusime dengan pengarusutamaan Wisnu-Ciwa-Bhuda.
|
Sumber: Dikonstruksi dari hasil observasi dan studi pustaka. Lihat I Made Pageh “Integrasi Multietnik, Nyama Bali-Nyama Selam: Belajar dari Enclaves
Islam di Bali ( Denpasar: Pustaka Larasan, 2014).
Jadi dari hasil analisis di atas Pura Negara Gambur
Angalayang sarat makna multikultural, paling
tidak kesetaraan etnik dan sistem religi, terlihat dari keterlibatan
secara plural ritual, etnis, ras, agama, sosial-budaya. Pelaksanaannya masyarakat Kubutambahan yang
ikut dalam ritual
dalam satu pura
secara bersama-sama. Multikulturalisme,
kebhinekaan, kesetaraan etnis dan sistem religi yang
menyejarah sejak
zaman Bali Aga itu mengalami banyak tantangan era globalisasi ini. Membutuhkan
penyadaran lewat media, kajian akademik, kebijakan politik, dan pendidikan bagi
generasi muda Indonesia yang akan
menjadi pewaris NKRI ini ke depan.
5.
Tantangan
Multikulturalisme di Indonesia.
Tantangan
utama multikulturalisme Indonesia adalah munculnya gerakan radikalisme dalam
berbagai bentuk,
seperti teroris dan dominasi maistream
mayoritas sesungguhnya tantangan bangsa multikultural
(Syam, 2009:57). Gerakan fundamentalisme Indonesia seharusnya kembali pada
peradaban nenek moyang Indonesia yaitu
bangsa Melayu Austronesia. Namun
yang terjadi fundamentalisme ke “agama-agama besar “barang impor”, disebut makar dilihat secara
konstitusional, karena konstruksi budaya fundamentalisme itu tidak
menyejarah. Fundamentalisme kalau dimaknai untuk kembali pada aslinya
(Melayu Austronesia), secara teoretis tidaklah mungkin karena yang asli itu
sudah mengalami
mimikri dan atau hibridasi seiring perubahan jiwa dan ikatan budaya zaman, sehingga
multikultural di Indonesia sesuai dengan klasifikasi yang disampaikan Parekh (2008).
Strategi hegemoninya dengan menafikan
sistem religi
berbasis local geniuses, ras luar, dan peradaban di
luar kelompok radikalis, dengan melakukan konstruksi budaya baru se-olah-olah
murni, benar dan absolut. Mustahil mengembalikan
menjadi murni
seperti dilakoni masa
awal empunya. Pengampu terakhir tentu sudah diresapi oleh jiwa
zaman dan ikatan budaya zaman
pada konteksnya. Gerakan
radikalisme untuk
pemurnian itu, hanya ada dalam wacana yang penuh dogmatisme dan pemitosan demi kepentingan yang
mengontruksinya (ada
relasi kuasa). Kalau jiwa dan ikatan budaya zamannya
kultus dewa raja dan rsi dewa
maka aksi terjadi demi
pendewaan, demi
kekuasaan, dan demi modal-modal
yang diinginkan.
Sehingga modal agama, budaya, sosial, politik semuanya diarahkan untuk
mendapatkan kepentingan-kepentingan sesaat
itu (Bourdieu, 1997). Watson (2000) menyebutkan multikultural sangat
penting dijadikan kebijakan pada
negara demokratis terutama dalam kehidupan nasionalisme, politik pendidikan, politik
agama, politik media, untuk
mengemban pluralisme budaya lokal dalam gerakan uniformitas global, karena
multikultural tidak dapat dihindari kalau dilihat dari perspektif sejarah.
Radikalisme (terorisme
di Indonesia), sering diwacanakan dalam konteks perlawanan dengan dominasi kapital
dan IPTEK Barat, tetapi kenyataannya penghancuran tidak terjadi di negara lawannya yaitu barat,
tetapi terjadi dan
mengabil korban bangsa sendiri. Dengan demikian bukan
perlawanan yang terjadi, tetapi terjadi
sebaliknya kekejaman terhadap rakyat sipil yang tidak berdosa.
Radikalisme menanamkan fatologi ideologi dngan
menebar kebencian, ketidakadilan struktural dan kultural, ketakutan, dan
kolonialisme gaya baru.
Berbeda
dengan multikulturalisme dimana
perbedaan seharusnya dihargai, dipelihara, dan dimaknai sebagai keindahan
seperti pelangi, bukan neraka seperti gambaran dunia yang mendahuli terjadinya hari kiamat,
karena terjadi heteropobia,
takut menghargai budaya etnik, ras, atau budaya agama lain. Bahkan pembunuhan dipandang
sebagai ritual untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga
dilakukan dengan strukturasi
dan kulturasi budaya dominan menggunakan kekuasaan, modal-modal sosial, dan
pengetahuan bahkan dijadikan
alat untuk mendisiplinkan
dan menguasai kelompok lawan
yang terpinggirkan, tidak bermodal dan tidak berpengetahuan.
Integrasi antarumat di Bali dikonsep dalam Nyama Bali-Nyama Selam, Nyama Kristen,Galungan Bali-Galungan Islam,
Galungan Cina, dan Galungan Kristen jika dimaknai dengan baik, akan sangat
produktif bagi kedamaian, keamanan, ketenangan, dan persaudraaan dalam
kehidupan Nasionalisme di Indonesia. Hegemoni
kolonial juga terjadi di Pura Gambur Angalayang dengan adanya pematungan orang
Barat memegang senjata di depan pelinggih itu. Bukan hanya di pura ini, tetapi
juga dilakukan di Pura Dalem Segara Madu dengan relief pesawat terbang, mobil,
orang minum; di pura Maduwe Karang ditemukan orang Belanda naik sepeda
ditempatkan di lokasi Garuda Wisnu Kencana; juga relief orang Belanda berkopyah
besar memainkan Biola pengganti relief Dewi Saraswati di Pura Beji Sangsit.
Karena pura ini diketahui sebagai pura tua (sekitar abad ke-12), yang memiliki
makna luar biasa bagi kebersamaan dan kesetaraan budaya (Syam, 2013:80), disebut
kebijakan Balinization (Baliseering)
pada tahun 1920-an (Picard, 2000;89; Pageh, 2016).
Dokumen pembentukan
negara, perundang-undangan secara ideal sudah mengaturnya, tetapi dalam
realitasnya untuk menemukan
model yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata (timely) sangat sulit. Jejaknya di masa lalu yang teruji telah
mengantar kebersamaan di masa lalu, wujudnya ditemukan di Pura Negara Gambur
Angalayang di
Kubutambahan Bali
Utara.
Hanya saja Wijaya (2016) mengatakan bahwa dominasi Hindu dengan pendisiplinan
yang sangat ekstrim terjadi dalam penyama-brayaan
Nyama Bali-Nyama Islam, yang sangat berbeda dalam hasil penelitian yang
saya lakukan dalam Integrasi Nyama
Bali-Nyama Selam (2014). Melihat sebuah praktik budaya hanya dari sisi
negatif tidak produktif untuk mengantarkan masa depan multikulturalisme itu
pada masyarakat pluralis seperti di Bali, atau di negara pluralis di dunia
lainnya.
Kesetaraan
dan penghargaan etnik berbeda, sistem religi berbeda, budaya agama berbeda terjadi di Pura
Negara Gambur Angalayang sangat bertentangan dengan gerakan fundamentalisme,
radikalisme yang mengatasnamakan agama besar, etnik, peradaban lainnya adalah kafir, yang mana sesungguhnya
merupakan konstruksi
hasrat atau kehendak untuk
memecahnya agar dapat dijadikan dasar pengideologian dalam gerakan radikalisme.
Radikalisme mempertentangkan Agama Lokal dengan Agama-agama besar, bangsa barat
vs. Bangsa timur; ras kulit putih vs. kulit hitam/sawo matang; penganut
Islam vs. penganut
Kristen; ideologi modern vs. Tradisionalisme; kehidupan duniawi vs. Surgawi.
Dogma ini menyebabkan
terjadinya semangat permusuhan secara
fundamental pada
masyarakat global dan lokal. Jangan-jangan
karakter Bangsa Indonesia memang
memiliki sifat kegilaan terhadap barang asing yang baru,
lebih berbangga memakai kultur dan struktur luar dibandingkan dengan milik dalam negeri. Bukan hanya dalam barang-barang
material, tetapi juga dalam sistem budaya, politik, peradaban, sehingga yang
bermakna local genius ditinggalkan. Seperti meninggalkan musyawarah
dan kemufakatan dengan
memilih demokrasi liberal (voting alat legitimasi), sistem pasar
bebas, sehingga
tidak mendapatkan pemimpin nasional
yang visioner (cf. Abdullah, 2010:125).
Secara historis
multikulturalisme itu sudah sangat berkembang sejak tahun 1950-an di AS dengan konsep
interkultural, cross culture dalam
pendidikan. Sejak
tahun 1970-an konsep multikulturalisme dimulai dari Kanada Amerika Serikat,
Inggris, dan Australia dalam mengelola konflik yang muncul akibat migrasi dan
perbedaan budaya penduduk pendatang yang sering memunculkan konflik dan
permusuhan. Nilai-nilai Inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralitas diwacanakan
secara terstruktur, sistematis, kontinyu melalui
dunia pendidikan. Akhirnya di
negara tersebut dapat menerobos lintas-batas atau garis demarkasi yang
selama ini disekat secara ketat, dalam pendidikan agama, etnis, sosial, budaya
yang tidak menguntungkan kehidupan bersama (to
life togethers). Meminjan konsep Bourdieu multikulturlisme ini pada
gilirannya dapat menjadi modal-modal terwujud kesatuan unity in diversity (Watson,
2000:68). Multikulturalisme sebagai dasar kebijakan politik dalam
demokratisasi, pendidikan, kebudayaan, lebih jauh seperti disebutkan oleh Azra
(2007:21) terkait dengan pencapaian civility
(keadaban), democratic civility, humanness. Dengan
demikian pendidikan multikultural
menjadi faktor intrumental penting
di Indonesia dan negara pluralis lainnya di dunia, pandangan ini sama dengan yang disampaikan
oleh Kymlycka (2003) dalam buku Kewarganegaraan
Multikultural.
Kebijakan politik
multikulturalisme sangat
penting bagi kehidupan bersama antarwarga negara pluralis, dengan
mengembangkan pemahaman penghargaan hak-hak perorangan dan kolektif dengan kesetaraan,
bukan hanya seperti tradisi
libralisme yang
hanya menjamin kebebasan individual dan
kebudayaan etnik sebagai
kewajiban negara.
Yang terpenting di Indonesia adalah menjamin keadilan dan mengakui
hak-hak minoritas, bahkan memastikan suatu suara ada datang dari golongan minoritas (Said,
2010:ix). Dengan demikian
golongan minoritas
(sub-altern, kelompok terdominasi) ikut diajak memutuskan bersama sehingga
dalam mengembangkan sikap
toleran dengan batas-batasnya yang jelas, terutama terkait dengan nilai kebersamaan dalam perbedaan itu. Sebagai negara kewajiban
untuk mempertahankan secara bersama-sama
multikulturalisme itu, tidak didominasi
oleh sifat monokultur
pada zaman Orde Baru yang
mana budaya mainstream
menjadi giant bagi golongan minoritas
(Fromm, 2004:160; Zainuddin, 2010:7). Azyumardi Azra dalam buku “Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia”, memaparkan
merawat kemajemukan, kebihekaan, pluralisme merupakan blessing
in disguise untuk menuju masyarakat
multikulturalisme, sehingga kemajemukan itu harus merayakan, dirawat, didikkan untuk merawat
multikulturalisme di
Indonesia (2007:6).
Era
reformasi keindonesiaan
ini seperti disambar petir, dalam sekejap porak-poranda dilanda oleh
krisis multidimensional.
Kondisi krisis itu berdampak pada krisis politik dan kebudayaan, sehingga muncul
kekerasan bernuansa politik, agama, etnik, sosial dan sebagainya, dominasi etnik minoritas, dan
kebencian terpendam karena pendisiplinan zaman Orde Baru memperlihatkan bentuk
aslinya, terjadi kekerasan
berbau agama seperti di Aceh, Ambon, Poso, dan daerah lainnya (cf.
Watson, 2000:87; cf. Ardhana, 2011).
Budaya luar dan hibriditas mengancam identitas nasional, sehingga krisis multidimensional itu masih
berbekas sampai hari ini,
terutama pada keluarga korban (cf.
Loomba, 2016; Martono, 2011). Dengan demikian pendidikan merupakan modal penting untuk
menyadarkan multikulturalisme sebagai
basis moral dan
nilai kewarganegaraan dalam mengembangkan demokratisasi
(Kymlicka, 2003:14). Terutama harus dipastikan sudah dikembangkan
dalam pendidikan multikultural secara sistematis, dalam
mengantisipasi perubahan global yang
multiarah dan penuh ketidakpastian (Sztompka, 2008:101; Ritzer dan Goodman, 2011:601).
Pendidikan
multikultur bagi bangsa Indonesia adalah suatu keniscayaan untuk pengembangan karakter persaudaraan sejati, recognition cultural, bagi masa depan
bangsa Indonesia. Etnosentrisme etnik nusantara memberikan peluang besar
terbentuknya budaya eksklusif, sehingga mengarah
ke cauvinisme suku, agama, etnik, daerah secara berlebihan dan melupakan
multiklturalisme dalam
(supracultur) kehidupan bersama
(Azra, 2007:24; Haryatmoko, 2014:68). Dengan
demikian keragaman, perbedaan,
pluralisme,
kebhinekaan sebagai realitas Indonesia harus dikonstruksi ulang melalui pendidikan, agar tumbuhkan
kesadaran bahwa mayoritas bangsa
Indonesia berasal dari supra cultur
yang sama
yaitu satu Bangsa Melayu Austronesia.
Supra-structure dan supra-culture bangsa Melayu Austronesia dapat menjadi
sendi-sendi kehidupan
besama (integreting force).
Simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur, lembaga-lembaga untuk kehidupan bersama
seperti gotong royong, pura Gambur Angalayang, pura Langgar, pura Syahbandar,
konsep Nyama Bali-Nyama Selam, perlu
dihidupkan sebagai sustainable social investation secara berlanjut untuk kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia.
5.Penutup
Sadari
bahwa bangsa Indonesia berasal dari satu bangsa Melayu Austronesia, menjadi
berbhineka, pluralitas disebabkan
oleh faktor geografis, faktor disintegrasi kultural karena
pengaruh luar. Khusus dalam religi (agama) bangsa Melayu Austronesia telah
memiliki sistem religi asli Melayu Asutronesia sejak zaman megalithicum. Faktor impor
agama-agama besar dari luar, tidak disadari telah meminggirkan (sub-alternisme) budaya dan agama warisan
leluhur sendiri.
Kearifan
multikultural lokal dalam merajut kerukunan antarumat, kesetaraan beragama ditemukan
di Bali Utara yaitu di Pura Negara Gambur Angalayang. Pura ini sarat dengan
pesan makna multikulturalisme dalam good
practices kehidupan pluralisme, dalam ras, agama, budaya dan etnik, membuktikan
multikulturalisme sudah terjadi jauh
sebelum bangsa Barat memulainya di tahun 1950-an di Kanada, dan tahun 1970-an.Tantangan
bangsa Indonesia adalah munculnya gerakan fundamentalisme, terorisme yang
menggunakan agama dan kemiskinan sebagai dasar disintegratif, perlu diwaspadai
sebagai negara pluralis
(Ardhana, 2011). Pura Negara Gambur Angalayang merupakan monumen berupa
teks religi, menjadi faktor integratif antarumat beragama, etnik, budaya,
ekonomi atau kehidupan cross cultural
di Bali Utara. Belajar dari sejarah, faktor integratif (supra kultur) local geniuses wisdom (kearifan lokal) ini sangat cocok dijadikan model pendidikan multikulturalisme,
berefleksi dengan pengalaman
masa lalu untuk meniti pertalian masa depan bangsa Indonesia agar menjadi “gemah ripah loh jinawi”.
Saran-saran:
(1) Mari membangun kesadaran multikulturalisme dari Bali Utara atau dari pura Gambur
Angalayang yang memiliki sarat makna kehidupan pluralis; (2) Agar diambil
hikmah dari supra structure dan supra culture sebagai faktor integratif
untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia dari diskintegrasi bangsa. (3) Bali
Pulau fakta di pura
kecil Gambur
Angalayang dapat menjadi contoh kehidupan multikultural bagi
bangsa-bangsa pluralis di dunia.
Daftar Pustaka
Abdullah,
Irwan. 2010. Berpihak pada Manusia:
Paradigma Nasional Pembangunan Indonesia Baru. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
|
Ardhana, Ketut. 2011. “Etnisitas dan Identitas:
Integrasi Etnis dan Identitas dalam Terwujudnya Masyarakat Multibudaya di
Bali”, dalam Masyarakat Multikultursl Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan
Integrasi. Denpasar: Larasan dan Faksas.
|
Atmadja,
Bawa I Nengah. 2010a. Genealogi
Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di
Bali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
|
Azra, Azyumardi. 2007. Merawat Kemajuan Merawat Indonesia:Seri Orasi Budaya. Yogyakarta:
Kanisius.
|
Foucault, Michel. 2012. Arkeologi Pengetahuan, Regularitas-Regularitas Diskursif,
Formasi-formasi Diskursif, Peernyataan dan Arsip..., dll. Inyiak Ridwan Muzir (penerjemah).
Jogjakarta: IRCiSoD.
|
Fromm, Erich. 2004. Akar
Kekerasan: Analisis Sosiologis atas Watak Manusia. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.
|
Giddens,
Anthony. 2010. Teori Strukturasi:
Dasar-dasar Pembentukan Struktur Soaial Masyarakat. Maufur dan Daryatno
(penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
|
King,
Victor.t dan William D. Wilder. 2012. Antropologi
Modern Asia Tenggara: Sebuah Pengntar. Hatib Abdul Kadir (penerjemah).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
|
Krishnan, Anand. 2005. Sebuah Refleksi Sejarah: Indonesia Jaya. Jakarta: PT One Earth. Media
|
Kumbara,
Anak Agung Ngurah Anom. 2011. Pergulatan
Elite Lokal Representasi Relasi Kuasa dan Identitas. Yogyakarta: Penerbit
Pintal dan IMPULSE.
|
Kymlycka (2003). Kewarganegaraan
Multikultur. Edlina Hafmini (penyunting).
Jakarta: LP3ES
|
Lommba,
Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme.
Hartono Hadikusumo (penerjemah). Yogyakarta: Narasi dan Pustaka Promethea.
|
Martono,
Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan
Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Jakarta:
Rajawali Pers.
|
Mbete,
Aron Meko (Penyunting). 2008. “Pengantar”, dalam Etnisitas, Pluralisme, dan Multikulturalisme: Perspektif Pajian
Budaya. Denpasar: Kajian Budaya Unud.
|
Nur Syam. 2009.Tantangan
Multikulturalisme Indonesia (Dari
Radikalisme Menuju Kebanggaan. Jogjakarta:
Impulse.
|
Pageh,
I Made. 2010. “Analisis Ideologi Desa Pakraman: Mengungkap Perbedaan Ideologi
Desa Bali Aga dengan Desa dataran untuk Mengembangkan Kearifan Lokal Berbasis
Trihita Karana di Bali Utara. Hasil
Penelitian Stranas.Jakarta: Dirjen Dikti.
-------------. 2014. Nyama
Bali-Nyama Selam: Belajar dari Enclave Muslim di Bali. Denpasar: Pustaka
Larasan.
-------------. 2016. “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di
Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”. Disertasi.S-3. Kajian Budaya, Universitas Udayana: Denpasar (Unpublish).
|
Parekh,
Bhikhu. 2008. Rethingking
Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta:
IMPULSE.
|
Picard,
Michel. 2000. “Agama, Adat, Budaya”: The Dialogic Construction of ‘Kebalian”,
in Dialog: Journal International Kajian
Budaya. Vol.1 No.1 Januari 2000. Unud: Denpasar. Page 85-124.
|
Putranto, Hendar. 2011. “Wacana Multikulturalisme
dilihat dari Perspektif Historis-Politis”, dalam Andre Ata Ujan, et al. Multikulturalisme: Belajar Hidup dalam Perdebatan.
Jakarta: Indeks.
|
Ritzer,
George & Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern. Muhamad Taufik (penerjemah). Jakarta:
Kencana.
|
Said,
Edward. 2010. Orientalisme: Menggugat
Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur Sebagai Subjek. Achmad Fawaid (penerjemah).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
|
Sztompka, Pitor.
2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Alimandan (Alih Bahasa). Jakarta:
Prenada Media Group.
|
Sztompka,
Pitor. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Alimandan (penerjemah). Jakarta:
Prenada Media Group.
|
Ujan, Andre Ata, et al. 2011. Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan.
Jakarta: Indeks.
|
Vleeke,
Bernard H.M.2016. Nusantara: Sejarah
Indonesia: Seri Sejarah Terpilih. Samsudin Berlian (penerjemah). Jakarta: Kpustakaan Pepuler Gramedia.
|
Watson, C.W. 2000. Multikulturalism.
Buckingham: St. Edmundsbury.
|
Wijaya,
I Nyoman. 2016. “Not a Multicultural Society: The Powerful Dicipline of
Practicing towards Hindus and Muslim in Bali”, in International Journal of Linguistics, Laguage and Culture
(IJLLC).Journal Homepage: htt:/ijcu.us/online/journal/ index.php/ijllc, vol
2, no.2, July 2016, pp106-119.
|
Zainuddin,H.M. 2010. PluralismeAgama: Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia. Malang:
UIN-Maliki Press.
|
[1]Dr. Drs. I Made Pageh, M.Hum adalah dosen pengajar di
Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Undiksha, Makalah ini disampaikan dalam “Seminar
Nasional di Sastra Unud Denpasar, tanggal 17 April 2017.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda