Kamis, 17 Desember 2015

BEDA MLASPAS NGELINGGIHAN DENGAN MUPUK PEDAGINGAN DI BALI

1. Pengantar

Orang Bali memandang semua bangunan yang dibangun menggunakan barang dan bahan yang pernah hidup diplaspas dan diurip (dihidupkan kembali), sedangkan bangunan suci yang didedikasikan untuk leluhur dan ISWD di samping diplaspas dan diurip, dilanjutkan dengan ngenteg linggih, yaitu menstanakan untuk siapa bangunan suci itu didedikasikan. Dengan demikian akan sangat berbeda makna ngelinggihan dengan memupuk pedagingan dalam ritual yang diselenggarakan di Bali. Apakah perbedaan ritual ngenteg linggih denggan mupuk pedagingan di Bali? Untuk mendapatkan perbedaan makna yang terkadung dalam ritual iitu sangat menarik untuk diuraikan dalam tulisan ini.

2. Ngenteg Linggih

Sebelum melakukan ritual ngenteg linggih diawali dengan melakukan pebersihan tanah lokasi pelinggih dan sekitarnya, menggunakan berbagai jenis 'pecaruan' atau pemalik sumpah tanah dari tanah pertanian menjadi lokasi pelinggih, lalu pecaruan menetralkan tanah agar menjadi seimbang secara niskala, umumnya caru manca-nyatur, dengan hulu yang berbeda, paling umum diambil adalah caru tolak bala disebut dengan Rsi Gana (Bhatara Gana sebagai Dewa Tolak Bala), Sedangkan lokasi nyatur lainnya dengan simbol; putih di timur, barak di selatan, kuning di barat, hitam di utara, dan putih kembali di tengah-tengah, besar kecilnya caru bergantung pada urutan/eedan ritual yang dipilih dalam konteks Nista-madya-utama. 

Kemudian dilanjutkan dengan numakuh, mlaspas, metik, mlaspas dan mendem pedagingan, setelah bersih dan hidup bangunannya dengan menggunakan simbol pancadatu, pancamustika, panca kembang dan runtutan canang yasanya, baru kemudian ngelinggihan bhatara-bhatari, serta jro gede-jero nyoman/anglurah dan ISWD sesuai dengan jumlah pelinggih yang dibangun. Setelah semuanya melinggih sesuai dengan pelinggih yang ada, baru kemudian diberikan piodalan pada beliau yang berstana di pelinggih masing-masing. 

Jadi makna ritualnya memberssihkan pekarangan rumah, merajan dan sebagainya, menghidupkan bangunan pelinggih, melakukan life circle seperti membersihkan manusia baru lahir, ketika ada pemetikan inilah muncul istilah nunas paridan pemetikan, sehingga manusianya dapat memarid pesangihan / pemetikan beliau menjadi tradisi memarid pada lungsuran Ida bhatara di Bali. 

Setelah ritual ini berlangsung Beliau sudah dianggap berstana secara tetap di pelinggih yang dibangun, maurip dan hidup bagaikan manusia yang diberikan piodalan 6 bln sekali/setahun sekali. Tradisi yang ada di Bali kalau odalannya yang enam bulan sekali pas nemu purnama diasanya diadakan odalan jelih atau lebih besar dan khusus, karena dimaknai Ida Bhatara turun kabeh. 

3. Mupuk Pedagingan 

Pedagingan yang dijadikan akah pelinggih dimkanai sebagai bagian dari kekuatan yang dimiliki oleh pedanginan 20-33 tahun, sehingga secara ritual setelah masa tenggang kurun itu diadakan penambahan pedagingan baru pada masing-masing pelinggih lagi. Penambahan pedagingan baru inilah yang disebut dengan memupuk pedagingan. Karena merupakan ritual ulang dari mlaspas ngelinggihan dari ritual sebelumnya, macca acara dan upakara ritualnya sama dengan ngenteglinggih sebelumnya. Setiapritual diikuti oleh nunas penruatan pada Wayang Penyudhamalan dan Topeng Pajegan (Dalem Sida karya). Dan dilanjutkan dengan runtutan odalan dan medudusan. 


4. Pembahasan

Ritual sebagian besar bersifat kebalian dan pemujaan leluhur, di dalamnya ada ritual untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sesungguhnya didasari oleh Kanda Empat Dewa (SA,BA,TA,A,I-Ang-Ah). Sedangkan ISWD dipandang sebagai Upasaksi-undanggan nyaksi ritual itu. Dengan demikian wujud ritualnya seperti teks kanda empat dari Bhuta sampai Dewa. Namun di baliknya dilihat dari perpsektif teori Culture Studies Foucault, ada hegemoni politik agama dalam ritual itu. Padahal sesungguhnya ritual itu didedikasikan pada pemujaan roh leluhur, serta saudara bathinnya (Sang Catur Sanak), yang difungsikan sebagai penjaga mara bahaya (nyaga satru), dalem/mtajapati menjaga pekarangan desa, anggapati nyaga pekarangan rumah, banaspati nyaga pekarangan sanggah, dan banaspati raja menjaga di lebuh (dimana-mana/wyapi wyakara), dan bapa (akasa) dan ibu (periwi), menjaga alam atas dan bawah (Ang-Ah). Inilah dasar marga patpat (prapatan agung sebagai lokasi memendak Ida Bhatara), bukan di marga tiga (konsep etelah Kuturan) dan atau di pelinggih besar lainnya yang dikembangkan setelah kerajaan-kerajaan hindu di bali. 

Buktinya; (1) Tidak ada weda yang membahas tentang ritual itu secara rinci, mantranya juga sebagian besar ada dalam lontar-lontar hanya berlaku di Bali; (2) Gayah dan Pregembal menggambarkan pancadewata dan dewa nawa sanga, dengan penuh hegemonik terhadap kebalian di dalamnya. (3) Wayang sudamala terkait dengan sekta hindu, dan topeng Dalem Sidakarya, terkait dengan kekuasaan kelungkung. (4) Banyak perlengkapan ritual didominasi oleh ideologi tiga tokoh culture heroes (Markandeya, Kuturan, Danhyang Nirartha/kerajaan Kelungkung,

5. Simpulan dan saran

Simpulam
Upakara bebantenan di Bali dapat dicari genealoginya pada ajaran kanda phat bhuta, dewa, dan dominasi hindu kemudian di bali. Tidak ditemukan dalam weda-weda yang dilahirkan di India. Jadi agama Hindu di Bali, sesungguhnya merupakan hibridasi antara Hindu denggan kebalian (Agama Lokal di Bali). 

Saran-saran.
Dengan memahami secara sederhana dari permukaan secara spekulatif, memang tidak akan ada akhirnya mendiskusikan upakara dan ritual kebalian dengan ajaran weda, terutama samradaya yang mengacu pada weda yang lahir di India. Sektarian yang lahir sejak abad ke-8 s/d abad 11 datangnya kuturan ke bali, dapat diadikan acuan dalam mengemban umat hindu di bali, tertama oleh pihak terkait (terutama Parisada Hindu) yang bersetru dan memegang kebenaran masing-masing, bahkan merasa memiliki sastra dan berdasarkan sastra weda dan diasumsikan lebih benar dengan legitimasi weda itu, sesungguhnya kebalian itu "wedanya" ada pada ritual, banten, upakara, simbol bangunan suci dan tatanan ritual di bali, hanya saja persatruan itu tidak diselesaikan dengan bijak dan dapat diteladani oleh umat hindu di bali. terimakasih. 



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda