Kamis, 26 November 2015

Kepemimpinan dalam Perspektif Budaya


KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF
SOSI-KULTURAL
Oleh:
I Made Pageh, M.Hum

I.   Pendahuluan

Masalah kepemimpinan oleh beberapa pakar sering dihubungkan dengan masalah kekuasaan, karena kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dengan kekuasaan (power). Mengenai sistem kepemimpinan maupun konsep kekuasaan di Indonesia sudah banyak mendapat perhatian dari para pakar politik, pakar antropologi, pakar sosiologi maupun pakar sejarah melalui pendekatan kebudayaan atau lebih terarah lagi dengan pendekatan antropologi politik, antara lain: Budiardjo (l984), Moertono (l985), Holt (ed.), (l972); Kartodirdjo, (l982); Mattulada, (l975); Sutedja, (l978); Wiratmadja, (l975); Agung, (l984).
            Sistem kepemimpinan dapat dilihat dari konsep kekuasaan yang dimiliki atau dilaksanakan oleh sang pemimpin. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Koentjaraningrat yang menentang pendapat Benedict R.O.G. Anderson tentang konsep kekuasaan orang Jawa dalam tulisannya yang terkenal The Idea of Power in Javanese Culture (l972), karena Anderson membandingkan secara kontras konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa dengan konsep kekuasaan dalam kebudayaan di Eropa dan Amerika. Menurut Koentjaraningrat, kekuasaan merupakan kekuatan energi yang sakti dan keramat, merupakan suatu konsepsi simbolis (lihat Budiardjo, l984:l29). Sifat sakti memang merupakan salah satu syarat yang penting bagi pemimpin Jawa . Dalam hal yang sama, Sartono Kartodirdjo juga mengkritik pendapat Anderson dalam The Javanese consept of Power, dimana ia mahami kata “sakti” disamakan dengan kata Inggris power. Menurut Sartono Kartodirdjo, Anderson belum menangkap secara benar konsep power dalam masyarakat Jawa secara keseluruhannya. Selanjutnya Sartono berpendapat bahwa konsep kekuasaan dalam sistem kepemimpinan  masyarakat tradisional Jawa, memiliki empat dimensi ialah: (l) sakti yang menunjuk pada kekuatan magis atau kekuatan pisik; (2) mandraguna berkaitan dengan keulungan dalam pengetahuan; (3) mukti mempunyai referensi kepada kekayaan dan kesejahteraan; (4) wibawa berarti terpandang karena penuh prestise dalam statusnya. Pendapatnya ini dihubungkan dengan teori Max Weber tentang bagaimana seseorang memperoleh kekuasaan yang berdasarkan pada status, power, and wealth (lihat Alfian, (ed.), l985:l9-20).
   Ada baiknya terlebih dahulu memberi batasan pengertian dari berbagai istilah yang berkaitan dengan kekuasaan agar tidak terjadi salah pengertian. Dalam sejarah perkembangannya, seperti dikatakan oleh Thomas Hobbes seorang filosuf yang hidup antara tahun l588-l679, menganggap bahwa kekuasaan itu merupakan sesuatu yang senantiasa melekat pada seseorang atau kelompok. Pada masa sekarang seperti yang berkembang di Amerika Serikat, teori-teori tentang kekuasaan (power) lebih difokuskan pada pengamatan sebagai gejala sosial. Ada suatu kelompok pendapat (Mills, l956; Laswel, l950; Barrington Moore l958) yang mengartikan kekuasaan itu sebagai dominasi (dominance) dan pada hakikatnya bersifat paksaan.  Pada kelompok lain (Talcott Parson, l95l; Robert S. Lynd dalam Arthur Kornhausen, l957) memberikan pengertian pokok pada kekuasaan ialah sama dengan pengawasan (control), tetapi sifat dan fungsinya tidak selalu bersifat paksaan. Talcott Parson berpendapat bahwa kekuasaan adalah pemilihan fasilitas-fasilitas untuk mengawasi, namun keperluannya ialah untuk melaksanakan fungsi dalam dan untuk masyarakat sebagai suatu sistem, untuk mencapai tujuan secara mengikat oleh umum (Boediardjo, l984:3l-32).
   Ada lagi istilah kekuasaan diartikan dalam bahasa Inggris dengan kata domination seperti yang diketengahkan oleh Max Weber dalam teorinya tentang domination. Menurut Max Weber domination merupakan salah satu bentuk hubungan kekuasaan di mana si penguasa sadar akan haknya untuk memerintah, sedangkan yang diperintah sadar bahwa adalah menjadi kewajibannya untuk mentaati perintah penguasa. Ia mengemukakan, ada tiga tipe domination, yaitu: (l) Charismatic domination, adalah keabsahan bentuk hubungan kekuasaan bersumber pada kualitas supranatural pribadi si pemimpin. (2) Tradisional domination, yaitu suatu bentuk hubungan kekuasaan yang memperoleh keabsahan karena bersumber pada tradisi. (3). Legal rational domination, melihat keabsahan bentuk hubungan kekuasaan dari kenyataan bahwa kekuasaan bersumber pada ketentuan atau peraturan formal.(Mouzelis, l975:4). Masih ada lagi pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan yaitu authority  yang dapat diartikan otoritas atau wewenang, dan legitimacy sama dengan legitimasi atau keabsahan (Boediardjo, l964:l4).
   Masalah kepemimpinan di Indonesia pada dewasa ini sedang mengalami krisis kepemimpinan, hal ini kita dapat ketahui dari berbagai informasi dari media masa yaitu melalui TV, majalah, maupun surat kabar harian yang terbit di Bali maupun di luar Bali, (sejak lengsernya kepemimpinan Presiden Suharto pada tanggal 2l Mei l998, sampai pada kasus Bank Bali yang  diperbincangkan di media massa). Memang kasus menyangkut merosotnya nilai-nilai kepemimpinan, merupakan masalah yang sangat kompleks, tidak saja menyangkut soal ekonomi, tetapi juga mengenai masalah politik, sosial, budaya, agama, terutama adalah masalah moral atau akhlak manusia.
Demikian kompleksnya penyebab krisis kepemimpinan itu, sehingga tulisan singkat ini membatasi diri untuk mengkaji masalah kepemimpinan dari aspek budaya melalui pendekatan sosio-kultural dan pendekatan historis. Dengan demikian, tulisan ini berharap dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang sistem kepemimpinan serta nilai-nilai kepemimpinan (kearifan dan kebajikan) yang layak menjadi panutan sehingga bangsa Indonesia tidak kehilangan identitas dirinya sebagai bangsa yang berbudaya dan beradab. Melalui perspektif sosio-kultural diuraikan tentang sistem kepemimpinan dalam masyarakat tradisional dan masyarakat yang sedang mengalami kemajuan atau menuju ke masyarakat modern, dengan mengambil contoh kepemimpinan beberapa daerah di Indonesia.
              
2. Kepemimpinan dalam Masyarakat Tradisional
            Hampir setiap daerah di Indonesia, memiliki sistem kepemimpinan dengan konsep-konsep kekuasaannya yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan daerahnya dan pengaruh agama yang dianut oleh masyarakat pendukungnya. Sebagai contoh, masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan memiliki konsep yang dinamakan Latoa, salah satu sumber kearifan tradisional lokal yang isinya melukiskan kerajaan Bugis-Bone. Menurut beberapa sumber dapat dipahami, bagaimana kedudukan, peranan, jalan pikiran, sikap dan pandangan hidup orang Bugis, dalam kegiatan politik sebagai warga negara (Mattulada, l975). Dari sekian banyak nilai yang terdapat dalam Latoa, yang dianggap paling adalah Panngaderreng yaitu aturan-aturan adat dan sistem norma adat, sebagai wujud kebudayaan, karena di samping mencakup pengertian norma adat juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh tingkah-laku kegiatan hidup manusia.
            Mengenai sistem kepemimpinan antara masyarakat Bali dan Jawa mempunyai banyak kesamaan, karena sumber-sumber sastra maupun hukumnya sama, hampir semuanya berasal dari masa Kediri dan Majapahit. Sumber-sumber yang dapat digolongkan sastra antara lain: Ramayana, Adiparwa, Arjunawiwaha, Bharatajudha, Lubdhaka, Sutasoma, dan Tantri (Kamandaka) (Poerbatjaraka, l952). Salah satu sumber yang perlu diketengahkan adalah sumber yang berkaitan dengan pemerintahan dan hukum yang berasal dari masa Majapahit adalah Nagarakretagama yang ditemukan di Puri Cakranegara di Lombok, pada tahun l896 (Slametmulyana, l979). Dari sumber inilah dapat diketahui sistem pemerintahan Kerajaan Majapakit (Pigeaud, l960),  sehingga kemudian oleh beberapa ahli diteliti tentang  perundang-undangannya (Slametmulyana, l967) dan tatanegara Majapahit (Yamin, l962).
Pada masa kerajaan di Bali juga mengenal berapa kitab hukum yaitu Agama, Adi-Agama, dan Kutara Agama yang berasal dari Majapahit (Djelantik, l909) dan diperkirakan bersumber dari kitab Manawa Dharmacastra yang berasal dari India (Pudja dan Sudharta, l973). Dilihat dari sumber-sumber sastra dan hukum itu menjadi santapan rohani dan tatanan hidup kemasyarakatn di kalangan elite tradisional, dapat diketahui betapa besar pula pengaruh kebudayaan Majapahit ke dalam masyarakat Bali.
            Kedudukan raja dalam masyarakat tradisional memiliki kekuasaan yang berdasarkan otoritas tradisional yang diterimanya sebagai hak turun-temurun. Pihak penguasa memberi perlindungan dan pengayoman pada rakyatnya, sedangkan rakyat memberikan pelayanan, penghormatan, dan kesetiaan pada raja atau kepala sukunya atau penguasa peguyubannya. Di samping memiliki otoritas tradisional, masih ada bentuk hubungan kekuasaan yang bersumber pada kualitas pribadi berupa supernatural dalam wujud kewibawaan yaitu otoritas kharismatik yang menimbulkan kesetiaan pengikutnya (Albrow, l989:26-38; Wolf, l973:l-20; Legg, l983:l0). Kedudukan raja yang memiliki otoritas kharismatik sangat menarik bila dihubungkan dengan konsep kosmologinya Heine Geldern, tentang negara dan kedudukan raja di Asia Tenggara (Geldern, l982). Dimulai dengan menawarkan pengertian pokok tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Hal ini melahirkan suatu kepercayaan kosmos-magis atau kosmos-religius. Konsep ini akhirnya menimbulkan suatu kepercayaan bahwa ibu-kota kerajaan atau istana (puri) bukan saja sebagai pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga sebagai pusat magis kerajaan. Status raja kemudian disejajarkan dengan kedudukan dewa, sehingga melahirkan “kultus dewa raja”, yang diharapkan dapat memberi perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan bagi semua rakyatnya. Konsep kultus  dewa raja ini, dikenal juga dengan konsep divine kingship dari Heine Geldern. Hal ini juga diterapkan oleh Clifford Geertz dalam tulisannya Negara: The Theatre State in Nineteenth- Century Bali (l980), adalah suatu ide politik yang dapat mengatur perilaku dan institusi sosial politik.
Dalam studi peradaban kuno dapat diketahui bahwa kesadaran kolektif tentang dunia dan alam semesta yang kosmos-sentris sangat menentukan gambaran (image) mereka tentang ruang dan waktu. Ruang dan waktu dianggap sebagai daya kekuatan yang misterius dan maha besar yang menguasai apa saja, yang mengatur dan menentukan kehidupan di dunia fana, dan juga kehidupan para dewa (Cassirer, l990:63). Terhadap kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan manusia, menurut istilah di Bali disebut bhuwana agung dan bhuwana alit, orang Bali percaya bahwa manusia berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin, pada bintang-bintang dan planit-planit. Kekuatan ini dapat menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, atau sebaliknya dapat membikin kehancuran tergantung pada individu, masyarakat atau negara dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatannya dengan jagat raya. Guna mengupayakan keselarasan itu dapat ditempuh melalui petunjuk-petunjuk para ahli astrologi untuk mengetahui serta menetapkan hari baik dan hari naas atau buruk.( Swellengrebel, l960:36-53). Kepercayaan terhadap kosmos-magis ini juga berkembang di Asia Tenggara. (Geldern, l982:2-5).Beberapa jenis upacara yang dilakukan oleh orang Bali atau masyarakat Bali sebagai wujud pengulangan seperti upacara ke sanga atau tabuh gentuh, (tahun baru Isaka) melahirkan pandangan kosmogonik tentang bergeraknya waktu secara siklus. Mengenai gambaran waktu yang siklus ini sudah lama dikenal, disebut mahayuga atau di Bali dikenal dengan caturyuga terdiri dari Kertayuga atau Krtayuga, yaitu zaman keemasan, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga, yaitu zaman yang mendekati zaman kehancuran atau kyamat di mana kemerosotan moral manusia sudah tidak dapat dikendalikan lagi (lihat Tjatoerjoega (naskah), Gedong Kirtya No. IIb l436; Resi Sasana Catur Yuga (naskah), Gedong Kirtya, No.884).
           
3. Kepemimpinan dan Kekuasaan
            Salah satu faktor yang penting dalam mengemban atau memelihara kekuasaan adalah kepemimpinan. Kuatnya pengaruh kebudayaan Hindu yang masuk ke Bali sejak memuncaknya kebudayaan Hindu di Jawa Timur antara abad X dan XIV terutama yang berhubungan dengan sastra, agama, etika dan filsafat, sangat meresap di kalangan elite penguasa, elite agama dan sastrawan di Bali. Pengaruh agama dan kebudayaan Hindu itu pada dasarnya berisi atau mengandung nilai-nilai tetang ajaran bagaimana seorang pemimpin berpandangan, bersikap dan berprilaku agar dapat mengantarkan rakyatnya untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin sesuai dengan ajaran agama Hindu moksartham jagaddhitaya ca iti dharmah, dengan demikian seorang pemimpin diharapkan menjadi panutan rakyat dan masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai itulah yang melandasi konsep kekuasaan yang mencerminkan watak satria (jujur, berani dan bertanggung jawab), sakti, (kekuatan batin yang luhur dan suci), wibuh ( kaya dan berjiwa sosial), wirya (memiliki ketenangan batin), wibawa (berwibawa, disegani karena jujur dan rendah hati), pradnyan (berpengetahuan, pandai, dan berpandangan luas), dan wicaksana (adil dan bijaksana). Konsep kekuasaan tersebut di atas tersirat dalam Kakawin Ramayana, dan ajarannya disebut Astabrata. Di dalam Kakawin Ramayana ada disebutkan:    
            …. Hyang Indra, Yama, Surya, Candranilah, Kurewa, Barunagni, nahan wulu ta sira
            maka angga sang bupatri matangyan inisti asta brata….
Artinya:
Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna dan Agni, itulah delapan dewa yang merupakan badan sang pemimpin, kedelapan itulah yang disebut Astabrata.
           
Kepemimpinan berdasarkan Astabrata adalah sebagai berikut:
l. Indra Brata: sesuai dengan sifat Dewa Indra sebagai Dewa Air mempunyai tugas untuk memberi kesuburan dan kemakmuran tampa pilih kasih. Ini berarti seorang pemimpin harus bertindak adil dalam mensejahterakan masyarakat.
2.Yama Brata: sifat Dewa Yama  adalah penegak hukum dan keadilan. Sesuai dengan hukum karma-pala, perbuatan yang baik akan mendapat pahala yang baik, sebaliknya perbuatan yang jahat akan mendapat hukuman yang setimpal dengan kejahatannya.
3. Surya Brata: Seorang pemimpin harus dapat menirukan sifat-sifat matahari yaitu dengan panasnya ia mengisap air secara perlahan-lahan. Demikian hendaknya dalam mengambil suatu keputusan jangan tergesa-gesa dan selalu memberikan kesadaran kepada rakyat terhadap kewajibannya.
4. Candra Brata: seperti sifat rembulan selalu memberikan kesenangan kepada siapa saja yang melihatnya, demikianlah hendahnya bagi seorang pemimpin dalam memberikan wejangan hendahnya dengan kata-kata yang manis serta perangai yang lembah-lembut.
5. Bayu Brata: Sifat Dewa Angin adalah memberi kesegaran dan kekuatan bagi mahluk hidup.Seperti sifat angin yaitu pada waktu berembus ia tidak kelihatan, demikianlah seorang pemimpin harus dapat mengatasi penderitaan rakyatnya secara diam-diam tampa menimbulkan kegelisahan.
6.Kuwera Brata: Dewa Kuwera adalah dewa kekayaan atau dewa kemakmuran. Ajaran yang terkandung dalam Kuwera Brata adalah agar sang pemimpin dapat memberikan kesenangan kepada rakyatnya, bersifat dhana artinya bermurah hati dan sosial dalam hal makanan, pakaian dan perumahan, dengan demikian negara akan menjadi makmur, aman dan sentosa.
7. Paca Brata: Paca adalah Dewa Laut atau Dewa Baruna yang mempunyai senjata sakti yang disebut Nagapaca. Dengan senjata sakti itu dapat diikat dan dibasmi orang yang bermaksud jahat. Dengan demikian seyogyanya seorang pemimpin berpengetahuan dan berpandangan luas agar apa yang diucapkan betul-betul dapat mengikat hati yang mendengarnya, dan bertindak secara tegas berdasarkan dharma atau kebenaran.
8. Agni Brata: Sifat Dewa Agni adalah seperti sifat nyala api, hidup dan berkobar-kobar dan bila perlu membakar habis yang merintanginya. Maksud ajaran ini adalah agar sang pemimpin hendaknya mempunyai semangat besar dan mampu membangkitkan rakyat untuk membangun negara.(Ramayana, lb.l75b.dst.)

            Ajaran Astabrata ini juga dikenal dalam masyarakat Jawa (Moertono, l985: l74-l78). Dalam sistem kepemimpinan pada masyarakat Bugis seperti apa yang terdapat dalam sumber tradisional Latoa, ada disebutkan bahwa mereka yang dapat diangkat menjadi parewa ri-tanae (alat kekuasaan negara), artinya pakkatenni ade (pemegang kekuasaan) apabila mereka memiliki empat syarat: pertama, mempunyai karsa atau inisiatif; kedua, jujur; ketiga, berani; keempat, kaya. Adapun orang yang mempunyai karsa, empat pula macamnya: pertama, takut kepada dewata (taqwa), kedua, takut ia berkata buruk, ketiga, takut ia berbuat aniaya; kekempat, takut ia mengambil cekka (berbuat tak jujur) (Mattulada, l975:ll9).
            Dari ajaran Astabrata dapat dipetik intinya bahwa hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, antra raja dengan rakyat merupakan jalinan hubungan yang betul-betul harmonis antara kecintaan dan kesetiaan dalam mewujudkan kesejahteraan lahir-batin. Untuk memenuhi kebutuhan di bidang kerohanian masih diperlukan seorang rohaniwan yaitu seorang pendeta (Bhagawanta) sebagai penasehat raja dalam mengendalikan pemerintahan. Tritunggal (raja, pendeta, dan rakyat) dapat dijumpai pada sloka Ramayana yang menyebutkan:
            Prabu tanpa wiku sirna,
            Wiku tanpa prabu rug,
            Prabu tanpa bala paratra.
Artinya:
            Raja (pemimpin) tanpa pendeta, kosong/hampa,
            Pendeta tanpa raja, hancur,
            Raja (pemimpin) tanpa rakyat, kiamat.(Ramayana, lb.4a)
           
            Peranan pendeta dalam fungsinya sebagai penasehat raja, di Bali sudah dikenal sejak masa Bali Kuna, di dalam salah satu prasasti ada disebutkan golongan pendeta Siwa bergelar Dang Acarya dan kompleks tempat tinggalnya dinamakan Kasewan, sedangkan golongan pendeta Buddha bergelar Dang Upadhyaya dan berkediaman di Kasogatan. (Goris, l954). Pada masa Majapahit fungsi pendeta tidak hanya di bidang agama juga berperan di bidang hukum (jurisdiksi) yang disebut Dhyaksa. (Sartono Kartodirdjo, l993). Hubungan tritunggal antara pemimpin, rohaniwan dan rakyat merupakan alat pengikat bhatin seorang pemimpin agar ia selalu mawas diri dan selalu ingat kepada kewajiban dharma seperti yang disebutkan dalam kitab suci Weda tentang tujuan hidup menurut ajaran agama Hindu: Moksartham jagaddhitaya ca iti dharmah: mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin, menegakkan kebenaran dan keadilan. Manusia dilahirkan ke dunia ini adalah untuk membahagiakan dunia beserta isinya. Dalam ajaran Agama Hindu sebgai landasan pokok bagi manusia hidup di dunia ini ialah Trikaya parisuddha yaitu tiga tata laksana yang utama yaitu:  Manasika, berpikir yang benar; Wacika, berkata yang benar; dan Kayika, berbuat yang benar.(Sebagai referensi, lihat Prajaniti Widya Sasana Hindu Dharma, l97l). Guna mewujudkan kebahagiaan, seorang pemimpin hendaknya memahami Catur Pariksa yaitu:.Sama, Beda, Dhana, dan Danda. Sama berarti tidak membedakan sesama manusia karena manusia pada hakekatnya sama sebagai mahluk Tuhan. Dalam Niticastra disebutkan sangat untunglah bagi orang yang mempunyai putra yang baik budinya sebagai alat untuk mencapai sorga loka. Bagaimana menuntun manusia (orang) agar berbuat baik, diuraikan secara mendalam dalam kitab S’lokantara. (Sudharta, l982). Beda, artinya seorang pemimpin hendaknya dapat membedakan antara baik dan buruk, antara yang harus dikerjakan dan yang tidak boleh dikerjakan. Filsafat Agama Hindu yang dianut nasyarakat Hindu di Bali mengenal istilah rwa bhineda artinya dua hal yang berbeda atau berlawanan, yaitu baik dan buruk yang selalu menyelimuti pikiran dan badan manusia, sehingga manusia selalu ingin “memerangi” keburukan atau kejahatan itu dengan kebaikan. Sebenarnya konsep atau pandangan rwa bhineda itu di dunia barat dan juga di Indonesia dikenal anggapan bahwa dunia dibangun atas opsisi biner (binary opposition) seperti: baik dan buruk, sakral dan profan, utara dan selatan, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan masalah membedakan baik dan buruk itu, di dalam Sarasamuccaya disebutkan:
            Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah        yang dapat melaksanakan perbuatan baik dan buruk, leburlah dalam perbuatan yang
            baik segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah pahalanya menjelma menjadi ma           nusia.

Dhana, artinya bermurah hati, rela berkorban untuk kepentingan orang banyak. Seorang pemimpin tidak hanya mementingkan diri dendiri tetapi menjalankan dharma (kewajiban yang benar) untuk kepentingan orang banyak. Danda, berarti berani bertindak tegas, berani menjatuhkan hukuman setimpal dengan kesakahannya, dan berani membela terhadap mereka yang berbuat benar. Didalam Bhagavadgita ada disebutkan:
            Apabila sadar akan kewajibanmu, engkau tidak boleh gentar, bagi kesatria adalah
            kebahagiaan, lebih besar dari pada berjuang menegakkan kebenaran. Tetapi jika eng-
            kau tidak berperang menegakkan kebenaran ini, maka dosa papalah bagimu (Bha-
            gavadgita, II, 3l dan 34).

Ada lagi konsep kepemimpinan dalam ajaran agama Hindu yang digunakan oleh para pemimpin dan tokoh masyarakat di Bali pada masa kerajaan yaitu sebelum kena pengaruh kebudayaan barat, diantaranya ada disebutkan dalam Sadwarnaning Rajaniti yaitu Sad Niti Casana yang terdiri dari: l). Abhiga-mika: pemimpin hendaknya dapat menarik simpati rakyat artnya selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat dan mengetahui tuntutan hati nurani rakyat..            2). Pradnya, artinya seorang pemimpin harus bersikap bijaksana, mengambil keputusan yang tepat dan adil, berpengetahuan, memiliki wawasan yang luas. 3). Utsaha, artinya seorang pemimpin hendaknya memiliki daya kreatif dan inisiatif yang besar. 4). Atmasampad, seorang pemimpin memiliki kepribadian yang luhur, mulia, dan jujur, serta hidup sederhana. 5). Sakya samanta, seorang pemimpin hendaknya bisa mengontrol bawahan, serta bisa memberi petunjuk agar bawahan merasa senang, dengan demikian hasil pejerjaannya dapat ditingkatkan. 6). Akshudra Parisakta, sang pemimpin hendaknya bisa memimpin sidang dan dapat menyimpulkan pendapat orang dengan baik.(diambil dari Prajaniti Widya Sasana, l97l:70-74).
           
4. Pusaka dan Kekuasaan
            Tidaklah lengkap apabila masalah pusaka ini tidak dibahas, karena pusaka dalam sistem kepemimpinan tradisional merupakan bagian yang tak terpisahkan  dengan kekuasaan. Di kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, seperti kerajaan-kerajaan di Jawa, Sulawesi Selatan, Aceh, dan di beberapa kerajaan kecil lainnya pusat kekuasaan ada di tangan raja atau sultan, dan istana (kraton, puri) seolah-olah dapat berfungsi untuk mengayomi atau melindungi rakyatnya karena adanya suatu kepercayaan bahwa barang-barang pusaka yang tersimpan di istana itu memiliki kekuatan magis yang luar biasa. Betapa kuatnya kepercayaan terhadap barang pusaka yang berhubungan erat dengan kekuasaan, hal seperti ini masih kuat di kalangan masyarakat Bali. Dari latarbelakang sejarah dapat kita ketahui bahwa pada masa pemerintahan Sri Kresna Kapakisan, raja yang pertama datang dari Majapahit ke Bali, beliau menerima seperangkat pakaian kebesaran dan sebuah keris pusaka bernama Si Lobar sebagai tanda pemberian kekuasaan yang sah (legitimasi) dari raja Majapahit untuk memerintah di Bali. Betapa besarnya arti atau makna dari nilai-nilai yang terkandung dalam barang pusaka itu sebagai simbol kekuasaan, lebih-lebih barang pusaka itu dibawa khusus oleh Maha Patih Gadjah Mada sudah tentu dapat mengangkat derajat dan kewibawaan sang raja. Kepercayaan terhadap kekuatan dan kesaktian pusaka terutama keris, merupakan sarana yang sangat penting dalam memperoleh maupun mempertahankan kekuasaa. Beberapa contoh dapat dikemukakan, pada waktu Dalem Ketut Ngulesir raja pertama kerajaan Gelgel pergi menghadap Raja Hayam Wuruk di Majapahit, ia juga dianugrahi seperangkat pakaian kebesaran dan sebuah keris bertuah bernama Bengawan Canggu. Demikian juga pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong, merupakan masa kejayaannya  kerajaan Gelgel baik di bidang pemerintahan maupun di bidang kebudayaan, Dalem Watu Renggong memeliki beberapa buah keris pusaka sebagai warisan dari leluhurnya antara lain si Lobar, si Bengawan Canggu, si Tanda Lalang, dan si Nandaka.
Bila dikaitkan dengan kebudayaan, ternyata bidang sastra dapat juga berfungsi sebagai simbol kewibawaan karena dengan memahami atau mempelajari sastra dapat menjadikan manusia wicaksana (bijaksana), dan pradnyan (pandai, menguasai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pula istana atau puri di samping sebagai pusat pemerintahan, juga merupakan pusat kebudayaan. Pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong datang seorang pujangga besar dan rohaniwan dari Jawa yaitu Dang Hyang Nirarta ke Bali, beliau kemudian banyak menulis antara lain: Usana Bali, Kidung Sebunbangkung, Sara Kusuma, Ampik, Legarang, Mahisa Langit, Hewer, Mayadanawamantaka, Dharma Pitutur, Wasista Seraya, Kawya Dharma Putus, Dharma Sunya Keling, Mahisa Megatkung, Kekawin Danghyang Nirarta, Wilet Demung Sawit, Gugutuk Menur, Brati Sasana, Tuan Semeru, dan Aji Pangurikan. Pada sumber lain ada juga buah karyanya yaitu Sunarigama dan Jong Biru. Salah seorang muridnya ialah I Gusti Bale Agung telah menulis beberapa karangan antara lain: Rereng Canggu, Wilet, Wukir Padelengan, Segara Gunung, Jagul Tua, Wilet Mayura, Anting-Anting Timah, dan Arjuna Pralabda. Masih banyak lagi pengarang-pengarah yang bermunculan sebagai karya sastra dari keturunan Danghyang Nirarta, yaitu Ida Pedanda Telaga menulis Ender, Ida Pedanda Manuaba mengarang Bali Sangara, Ida Pedanda Nyoman Pidada mengarang Tantri Carita, Wangbang Turida, Ida Pedanda Bukcabe terkenal dengan hasil karyanya Kidung Ranggawuni, Amerta Masa, Amura Tembang, Patal, Wilet Sih Tan Pegat, dan Rereng Taman, kemudian ia menulis lagi beberapa karangan yaitu Rara Kadura, Kebo Dungkul, Caruk Amerta Masa. (Babad Dalem, Babad Blahbatuh).
Bagaimana kedudukan para pujangga (di Jawa disebut Mpu) didalam masyarakat, sudah jelas kedudukan mereka sangat dihargai karena mereka dianggap orang yang berilmu, orang yang memiliki “sakti” mereka sangat dihormati dan disegani. Oleh karena itu juga hubungan para pujangga dengan raja sangat dekat, bahkan sering kali diberi kediaman (asram) dekat istana, dan ini berarti pula menambah kewibawaan dan kedudukan raja semakin kuat, terutama dalam mempertahankan kekuasaannya.
Domonasi kharismatik dan loyalitas mempunyai hubungan yang sangat erat dan penting. Dalam sejarah Bali dapat dilihat dengan jelas bagaimana loyalitas seorang patih atau punggawa terhadap rajanya dapat diketahui dari jasa-jasanya terhadap sang raja. Ketika I Gusti Ngurah Jelantik Bogol dapat mengalahkan Dalem Bungkut di Nusa Penida, Dalem Saganing menghadiahkan sebuah keris bertuah bernama Mertyujiwa kepada I Gusti Ngurah Jelantik Bogol. (Babad Dalem, Cf. Babad Blahbatuh). Adat kebiasaan pemberian sebilah keris kepada para punggawa oleh raja, hal ini pernah dilaksanakan di Kerajaan Karangasem sampai permulaan abad XX yang disebut keris cacaran. Pemberian keris itu mengandung makna sebagai legitimasi atas kekuasaan yang diberikan kepada seorang punggawa sebagai penguasa di daerah tertentu dan merupakan perpanjangan tangan raja terhadap rakyatnya. Di samping itu pemberian keris itu juga mengandung nilai simbolis untuk alat kontrol raja terhadap kesetiaan bawahannya. Jelaslah bahwa pusaka sebagai simbol kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpim dalam hal ini raja, secara teori kekuasaan dapat dijelaskan bagaimana seseorang pemimpin memperoleh atau mendapatkan kekuasaan, bagaimana mendistribusikan kekuasaan, dan bagaimana sang pemimpin mempertahankan kekuasaannya.

5. Menciptakan Sistem yang Adil dan Demokratis
            Dalam masyarakat tradisional sudah sejak lama mengenal pemilihan sistem pemilihan seorang pemimpin terutama pada tingkat desa maupun banjar dilakukan oleh krama banjar bardasarkan prinsip primus interpares. (Schrieke, l959: l69-l70). Pada desa adat atau lebih tepat disebut desa pakraman, para anggota (krama) memiliki hak dan kewajiban yang sama, baik dalam melaksanakan tugas-tugas di desa maupun dalam mengeluarkan pendapat. Tampaklah disini masalah demokrasi artinya segala sesuatunya ditentukan oleh krama dengan persetujuan (perarem) sudah dilaksanakan secara baik tampa menimbulkan keresahan atau gejolak sosial dan selalu mengacu pada ketentuan awig-awig (peraturan).
            Perkembangan masyarakat Indonesia sejak abad XIX sudah mulai terbuka bagi lalu lintas dunia sehingga masuklah kebudayaan barat melalui pendidikan yang memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendirian lembaga-lembaga pendidikan dengan membuka sekolah-sekolah sejak abad XIX itu tidak lain dalam rangka mendukung politik kolonial dalam proses industrialisasi, komersialisasi, dan birokratisasi. (Kartodirdjo, l987: ll4). Sistem birokrasi tradisional sudah mulai mengarah pada sistem birokrasi modern, tampak pada proses spesialisasi dan diferensi sosial ekonomi dan meningkatkan professionalisme. Ciri-ciri pokok birokrasi modern berdasarkan pandangan Max Weber ialah: l. pembagian tugas secara tegas dan spesialisasi yang tinggi, 2. adanya struktur kewenangan hierarki dengan batas-batas tanggung jawab yang jelas, 3. Hubungan antara anggota bersifat impersonal, 4. pengangkatan pegawai berdasarkan kecakapan teknis, 5. profesionalisme yang tinggi akan menjamin pelaksanaan tugas secara efisien (Blau, l962:38-33). Dilihat dari sistem pembagian tugas yang ditentukan secara legal-rasional sudah mengarah pada demokratisasi, sedangkan dalam sistem pemerintahan tradisional segala sesuatunya sangat ditentukan oleh sang pemimpin yaitu raja. Demikian juga dalam menentukan kriteria penerimaan pegawai mapun pemimpin,  tidak lagi semata-mata ditentukan oleh faktor status sosial yaitu keturunan, tetapi ditentukan oleh tingkat pendidikan.
            Di dalam negara demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Ditinjau dari sudut kekuasaan, dapat dikembalikan pada hubungan antara sang pemimpin dengan rakyat yaitu berdasarkan patron-client relationship yang semetris artinya hubungan yang saling menguntungkan. Apabila dalam sistem kepemimpinan tradisional sang pemimpin memberi pengayoman dan perlindungan kepada yang dipimpin dan yang dipimpin (rakyat) memberi loyalitas dan kesetiaan kepada sang pemimpin, maka dalam kepemimpinan pada negara demokrasi sang pemimpin (leader) harus lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan menghendaki kepemimpinan yang terbuka. Kepemimpinan di Indonesia pada selama Orde Baru, pada mulanya berjalan cukup baik karena pemerintah sebelumnya telah merumuskan jalannya pemerintahan dan jalannya pembangunan dalam GBHN sesuai dengan UUD l945 yang telah menjadi kesepakatan para wakil rakyat di DPR. Namun apa yang terjadi pada akhir –akhir tahun l998, kepemimpinan di Indonesia tidak lagi mencerminkan kepemimpinan yang demokratis karena kebijakan-kebijakan yang diambil penuh dengan rekayasa, “semuanya dapat diatur” sehingga sistem demokrasi mulai “tersumbat” dan berakhir dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
            Apabila kita kembali melihat ajaran-ajaran kepemimpinan didalam kitab-kitab sastra seperti yang telah diuraikan di depan, di sana banyak kita jumpai nilai-nilai yang bersifat demokratis seperti misalnya pemimpin yang baik harus mendengarkan dan dapat menghayati suara hati nurani rakyat artinya selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Krisis kepemimpinan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia bersumber pada pemimpin yang kehilangan kepercayaan rakyatnya karena cacat moral akibat ketidakjujuran. Untuk menciptakan sistem yang adil dan demokratis memang sangat tergantung pada para pemimpin bangsa ini karena nasib rakyat Indonesia sebagian besar ditentukan oleh para pemimpinnya. Oleh karena itu pada masa sekarang dan untuk menghadapi masa yang akan datang, kita mencari figur pemimpin yang mau mempelajari tentang konsep-konsep kepemimpinan yang bersumber pada sastra (Ramayana, Bharatayuda, Sutasoma, Tantri, dsb.) kitab-kitab agama, filsafat dan etika, sehingga pembekalan ilmu pengtahuan di bidang kerohanian sejajar dengan ilmu pengetahuan di bidang pemerintahan, dan dalam era globalisasi ini, seorang pemimpin dituntut memiliki ilmu pengetahuan yang luas, sesuai dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dengan demikian kita akan menemukan figur pemimpin yang berwibawa, jujur, bersifat terbuka, dan mempunyai pandangan yang luas.
           
6. Simpulan
            Dalam mengkaji konsep-konsep kekuasaan dan sistem kepemimpinan di Indonesia pada masa sekarang tidak dapat mengabaikan tentang sumber-sumber kepemimpinan pada masa kerajaan, karena nilai-nilai kepemimpinan pada masa itu masih relevan diterapkan sampai saat ini. Hampir setiap kerajaan di Indonesia yang mengalami kejayaan dari periode abad XIV sampai abad XIX sangat kaya dengan nilai-nilai kepemimpinan dan konsep kekuasaan, merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang sangat tinggi nilainya. Kekayaan budaya itu ternyata kurang mendapat perhatian dari pemimpin-pemimpin yang hidup pada masa “modern” yang cendrung neolib, transaksional. Kurang visioner, sehingga terpukau mempelajari konsep-konsep kekuasaan dari dunia barat yang kadang-kadang tidak cocok dengan alam budaya bangsa Indonesia.
Guna menanggulangi krisis kepemimpinan yang bersumber pada KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga menyebabkan krisis ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan, perlu mencari figur pemimpin yang cocok dengan aspirasi masyarakat Indonesia dan berbudaya Indonesia, sehingga kedepan muncul figur pemimpin memahami sosio-kultural bangsanya berkan peranan saudara menjadi pahlawan muda di masa depan.




Daftar Pustaka:

Adia Wiratmadja, G.K., l975. Leadership: Kepemimpinan Hindu. Magelang: (tt) Babad Blahbatuh (manuskrip)
Babad Dalem (manuskrip).

Blau, Peter M. and Marsall W. Meyer, l987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Jakarta:             Universitas Indonesia.

Cassirer, Ernest. l990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia. Jakarta:             Gramedia.

Claire Holt (ed,), l972. Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Pess.

Dewan Pmpinan Pusat Pradjaniti Hindu Indonesia, l97l. Prajaniti Widya Sasana. Denpasar.

Djilantik, Goesti Poetoe, l909. Agama: Balisch Wetboek. Batavia: Landsdrukkerij.

Eliade, Mircea, l959. Cosmos and History: The Myth of the Eternal Return. New York:             Harper & Row.

Geertz, Clifford, l980. Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton: Princeton University Press.

Geertz, Clifford, l992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Geldern, R. Heine, l982. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia Tenggara.
            Jakarta: Rajawali.

Goris, R. l954. Prasati Bali. I-II. Djakarta: Lembaga Bahasa dan Budaya Universitet Indo-
                        nesia.

Kartodirdjo, Sartono. 1987. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

----------------------------. l968. Segi-Segi Struktural Historiografi Indonesia. Lembaran Sejarah. No.3. Desember. Yogyakarta: Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra & Kebud.  Universitas Gadjah Mada.

---------------, 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University            Press.
--------------, 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia.

--------------, l993. 700 Th. Majapahit. Surabaya: CV. Tiga Dara Surabaya.

Mattulada,  l975. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi-Politik Orang Bugis.            Disertasi, (belum diterbitkan). Jakarta: Universitas Indonesia.

Mertha Sutedja, Wayan. 1978. Dasar-Dasar Kepemimpinan Tradisionil di Bali.        Denpasar: Sumber Mas Bali.

Miriam Budiardjo (ed.), l984. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakrta: Sinar             Harapan.

Pigeaud, Th. 1960. Java in the Fourteenth Century, Vol. 1-5. Fhe Hague: Martinus Nijhoff.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Tardjan Hadidjaja, 1952. Kepustakaan Djawa. Djakarta:  Djembatan.

Pudja, G. dan Tjokorda Rai Sudharta, 1973. Manawa Dharmacastra. Jakarta: Lembaga Pen            terjemah Kitab Suci Weda.

Putra Agung, A.A.Gde, l984. “Konsep Kekuasaan Pada Orang Bali” dalam. Widya Dharma.            No.7, Th.III, Agustus, hlm. 6-9; No.9, Th.III,  Desember, hlm. 11-14 dan 38.

Rai Sudharta, Tjok. 1982. S’lokantara. Jakarta: Parisada Hindu Dharma Pusat.

Resi Sasana Catur Yuga. (naskah). Gedong Kirtya, No. 884.

Schrieke, B.O.J. 1959. Indonesian Sociological Studies. I. ‘s-Granenhage:     W. van Hoeve.

Slametmuljana, 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya .

----------------, l967. Perundang-Undangan Madjapahit. Djakarta: Bhratara

Soemarsaid Moetono, l985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta:             Yayasan Obor Indonesia.

Swellengrebel, J.L.(ed.), l960. Bali: Studies in Life, Thought, and Ritual. The Hague: W. van             Hoeve.

Tjatoer Joege (naskah). Gedong Kirtya, No. II/b, l456/6.

Yamin, H. Muhammad, l962. Tatanegara Madjapahit (Sapta Parwa), Parwa I-III. Djakarta:            Jajasan Prapantja.

.
           
           
           

           
           
                       

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda