Minggu, 15 November 2015

Bali Mula/Bali Aga, dan Tradisi Ngabain (Ngaben) di Bali .

1. Bali Asli dan Bali Mula
Manusia Bali dalam sejarah jejaknya tertua di Bali Utara jejaknya ditemukan di Cekik Gilimanuk Negara Bali, di gali oleh tokoh R.P Soejono seorang Arkeolog ternama, memperkirakan umur tulang belulang yang ditemukan sudah berumur sekitar 250 tahun sebelum tahun 1 Masehi, atau sekitar 2615 tahun silam. Jejak manusia Bali ini sudah memiliki peradaban kepercayaan melakukan pengukuran dua kali yaitu penguburan keduanya menggunakan gerabah atau tempayan. Juga dalam penguburan kepala sukunya dutemukan diikuti oleh pengiringnya setia, serta anjing binatang kesayangannya ketika masih hidup. Antara tempayan dengan pelinggih roh leluhur memiliki kemiripan untuk menghormati roh leluhur yang sudah meninggalkan keturunannya yang masih hidup. Penduduk ini dapat dikategorikan manusia asli Bali, walaupun kemungkinannya adalah penduduk migran dari Asia Tenggara, atau dari daerah lembah Bengawan Solo atau trinil Jawa Timur. Dalam bahasa Bali dikenal juga manusia "Mula Bali/Bali Mula/Bali Asli". 

Penelitian Javanologi mengklaim penduduk Indonesia berasal dari pulau Jawa dengan bukti "Pithicantropos Erectus/ Manusia Kera Berdiri Tegak", memiliki tingkat peradaban yang sama dengan Manusia Veking (Manusia Vekinensis). Sehingga secara arkeologi dapat mengklaim penduduk yang tersebar di kawasan Indonesia sekarang adalah berasal dari Jawa. 

Sangat berbeda dengan klaim dan pembuktian dari sarjana Belanda yang menyimpulkan bangsa Indonesia berasal dari satu rumpun ras yang disebut dengan Bangsa Melayu Austronesia, yaitu suku bangsa yang berasal dari daerah India Belakang (Indocina) atau daerah Teluk Bacson Hoabin, dengan gelombang penyebarannya berlansung dua kali dikenal dengan Bangsa Protomelayu dan Detromelayu. Penelitinya bernama Von Heine Geldern seorang ahli arkeologi dengan menggunakan penyebaran Kapak Persegi dan Kapak Lonjong, dan benda-benda zaman Perunggu menyimpulkan bahwa asal persebaran Bangsa Melayu Austronesia itu adalah daerah Indocina/ Teluk Bacson Hoabin. Sedangkan Van Hekern (ahli Bahasa) melakukan penelitian menggunakan persebaran bahasa Melayu Austronesia, seperti kata Kelapa, Talas/Keladi, menunjukkan radus persebarannya hampir sama dengan persebaran benda arkeologi yang disimpulkan oleh Geldern. 

Bangsa Melayu Austronesia ini telah memiliki kepercayaan pemujaan terhadap roh leluhur, serta catur sanaknya di Indonesia. Berkembang pesat zaman Megalithicum, dengan ditemukannya jejak penghormatan leluhur itu berupa: (1) Sarkopagus, (2) Funden Berundak, (3) Menhir, (4) Pondusha, (5) Tahta Batu, dan kepercayaan akan "Animisme dan Dinamisme" yang telah menjadi Agama Aslinya sejak zaman Megalithicum itu. 

Fungsi penghormatan pada leluhur, terutama kepala suku dengan keistimewaannya, memunculkan tradisi, adat, kepercayaan terhadap "Sakti Roh dan catur Sanak" para leluhurnya itu, sebagai "Nyaga Satru", yang dipercaya sebagai penjaga pakramannya.  Pejagaan itu (1) penjaga Desa Pakraman berstana di Ulun Setra  di Bali diberinama "Mrajapati", (2) di pekarangan rumah/desa bernama Anggapati, (3) di Mrajan bernama Banaspati, (4) sedangkan sebagai penjaga bhuwana Agung dan Bhwana Alit ada dimana-mana bernama Banaspati Raja, tentu roh sakti leluhurnya sebagai pelindung dan pemberi berkah seluruh fungsi-fungsi itu. Koptasi terhadapsakti Roh Leluhru dan Banaspatiraja inilah fungsi "Tuhan/Ida Sahnyang Widhi", seperti yang dikonsepkan oleh agama-agama besar yang datang kemudian ke Indonesia, khususnya ke Bali. 

Untuk melakukan sterelisasi dari peradaban Megalithic itu, agama-agama belakangan melakukan hegemoni, dominasi terhadap kepercayaan megalithicum itu. Agama Hindu salah satu Agama yang paling adaptif terhadap sistem religi itu, walaupun tiga kali mengalami kontruksi Agama di Bali dengan konsep perpaduan yaitu zaman Rsi Markandeya (Ajarannya ke Bali) abad ke-8 memadukan menjadi Rwabhineda; Zaman Kuturan abad ke-11 melakukan lequidasi sekta-sekta yang ada zaman Prabu Udayana dan Permaisuri Mahendradatta menjadi Sekta Trimurti, dan sekitar abad ke-16 Danhyang Nirartha dengan konsep panunggalannya (Ciwa-Sada Ciwa, Parama Ciwa) dengan dukungan konsep Dewa Nagawa Sanganya,  dikenal dengan Ciwa Sidhanta sebagai reaksi dari Islamisme di Bali dan Jatim asal Beliau. Pergulatan tiga ideologi besar itulah yang tersisa dalam agama dan ritual di Bali sampai era globalisasi ini. 

Jadi Bali Asli dan Bali Mula itu adalah memiliki konotasi asli Bali dan Mula dari Bali, yang memiliki sistem religi yang telah dimiliki oleh Bangsa Melayu Asutronesia itu sebagai "Agama Mereka". 


2. Bali Aga/Bali Pegunungan
Orang Bali Aga/Bali Pegunungan merupakan migran dari Jawa Timur dari Gunung Raung yang mengiringi Rsi  Markandeya ke Bali, dengan memancangkan Pancadatu (Representasi Catur Sanak dan Bapa Akasa-Ibu Pertiwi), karena kegagalan kedatangan Markandeya ke Bali pertama pada abad ke-8 itu. karena tidak mengikuti adat Bali dengan sistem religi yang sudah ada sejak zaman Megalithicum itu. Sistem religi asli ini di Bali sampai sekarang disebut "Adat Bali", yang dijadikan dasar seharusnya untuk membedakan mana Agama Hindu dari sistem religki India dan mana lokal genius. 

Bebantenan di Bali dapat dikatakan (diasumsikan) sebagian besar berasal dari sistem religi megalithicum itu, seperti percaya pada batu Besar tenget, batu akik bertuah, batu mulai bertuah, pohon besar dan pohon tertentu bertuah/ tenget, binatang tertentu tenget, dan adanya manusia sakti (kita sebut Black Megic/Liak). Secara hegemonik dikatakan Black (Hitam), karena berelasi dengan White (Putih) sebagai perwujudan kehendak mematikan sistem religi lama diganti dengan "barang import" yang diasumsikan lebih baik dan baru, diwujudkan dengan pencitraan dan pemaknaan Baru. Ada relasi kuasa di baliknya kalau menggunakan pikiran M. Foucault.  

Dasar sektarian di Bali masih sangat tampak dalam tradisi ngaben di Bali, seperti misalnya sekta waisnawa yang pernah hidup subur zaman Rsi Markandeya, setelah zaman Kuturan dengan adanya penggabungan menjadi Agama Sekta Trimurti, tidak secara serta merta semuanya dapat ditrimurtikan, karena masih banyak tradisi di Desa Bali Aga (dalam pemahaman Aga sama dengan manusia Aga dari Gunung Raung), bukan senua Bai Aga di Bali ada di pegunungan, seperti misalnya Julah, Pacung, Sambirenteng ada di pantai, tetapi memiliki tradisi Bali Aga, yaitu perpaduan lokal genius Bali dengan ajaran Hindu yang di bawa ke Bali oleh Rsi Markandeya dengan pengikutnya Wong Aga itu. banyak yang memaknai Bali Aga adalah semuanya orang Bali yang ada di Pegunungan, dan terbelakang, terasing dan sebagainya. Salah kaprah ini sebagai konsekuiensi diskreditisasi Wong Bali Aga oleh Wong Mojopahit setelah menguatnya sektar Ciwa Sidhanta di Bali. Ngabennya pun hanya berciri dan bermakna air, api, dan angin sebagai simbolisasi Brahma-Wisnu dan Ciwa (Agama Sekta Trimurti) sebagai agama yang telah dipolitikisasi dalam hasil Pertemuan di Samuan Tiga Gianyar. 

3. Ngaben/Ngabein (Funeral Gift).
Tradisi "ngabein (funeral gift) adalah tradisi zaman Batu besar, dengan adanya penemuan gelang-gelang manik, kapak gengam, gelang perunggu dan sebagainya. Jika asumsi ini dapat diterima, maka kata "Ngaben" di Bali harus dikontruksi menggunakan jalam berpikir baru ini, sehingga akan dapat menghasilkan penjelasan tentang Ngaben berbeda dengan apa yang ditulis oleh ahli budaya dan agama yang sudah dianggap benar sampai saat ini.

Asal Ngaben menurut Wiarsana (2007:46-47) seperti dikutif oleh Prof Bawa Atmadja karyanya paling anyar tahun 2015 berjudul "Ngaben+Memukur= (Tubuh+Api) + (Uparengga+Mantra)= (Dewa Pitara+ Surga): Perpektif Teori Sosial Ketubuhan terhadap Ritual Kematian di Bali", pada halaman 3., menguraikan sebagai berikut Ngaben berasal-usul dari nge+abu+in = ngeabuin menjadi ngabuin, dimaknai "memperabukan sawa dengan ritusl tertentu. Kemudian mengutip Wiana dalam Puspa (2014:20) memberikan makna ngaben sebagai berikut. 

"Ngaben berasal dari Bahasa Bali "api" mendapat prefik nasal "ng" dan sufik "an" menjadi "ngapian", kemudian mengalami sandi menjadi "ngapian" kemudian mengalami sandi (lagi) sehingga menjadi "ngapen", perubahan bunyi "P" menjadi "b" menurut hukum perubahan bunyi "p,b, m,w" (bilabial), sehingga kata ngapen menjadi ngaben. maksud dan tujuan  ngaben adalah melepaskan atman dari  unsur Panca Maha Bhuta dan mengantarkan sang atman menuju alam Brahman atau alam Ketuhanan (Atmadja, 2015:4).  

Juga Prof. Bawa Atmadja mengutif kaler (2003:18) mengatakan ngaben berasal dari "abu" mendapat anusuara "ng" menjadi "ngabon" kemudian menjadi "Ngaben", sama berasal dari "abu". Ngabuin menjadi ngaben. Dari kutipan dan penguatannya sama-sama memaknai ngaben dari "Api dan Abu". 

Persoalan yang ada dalam kata Ngaben dari asal kata abu dan api menyalahi hukum bahasa dalam sengau yaitu "u" +"i"  menjadi "w"  ng+abu+in menjadi Ngabuwin, Ng+api+in  menjadi "i" dirga. jadi jika dalam sengau mengalami persoalan, maka kata "ngaben" itu berasal dari api dan abu sepertinya dipaksakan, oleh penulis di atas. 

4. Simpulan

Saya lebih suka memilih dilihat dari perspektif sejarah yaitu dari asal kata "ngaba+in", maka sengau "a dengan i" sudah pasti menjadi ngaben dalam makna funeral gift bekal orang mati tersebut. Bakalnya bisa uparengga, mantra, banten, kidung, trita, gong, dan sebagainya. Dengan dasar bahwa Ngaben di Bali tidak sama dengan ngaben di India, kalau di India memang sarana dan mitologinya hanya terkait dengan Api, Bunga, Air, Mantra, tidak ada "Jejahitan, dan simbolik lainnya, seperti yang ditemukan di Bali. Tentu dasar atau perspektifnya (filosopisnya) juga adalah bahwa ritusl di Bali sebagian atau sebagian besar berasal dari adat dan sistem religi prahindu di Bali. Dalam Cultural Studies menjadi sah-sah saja berbeda pendapat, karena kesimpulan akhir akan ditentukan oleh perspektif yang kita pergunakan, dan paradigma yang mendasari ilmuan bersangkutan.  Dengan tulisan spekulatif ini diharapkan untuk melakukan interpretasi baru dan pendekatan serta perspektif baru seperti yang saya pikirkan dalam arikel kecil ini, setelah membaca bukunya senior saya, semoga!!.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda