GUGUR GEGER NUSANTARA DILIHAT DARI PERSPEKTIF ILMU SEJARAH
Oleh
Dr.
I Made Pageh, M.Hum.[1]
I.
IDENTITAS
BUKU YANG DIBEDAH
Semoga
saya tidak salah menilai,--“menilai bunga mawar dengan ukuran bunga melati”--,
yaitu menilai karya non-sejarah dengan ilmu sejarah. Namun secara verbal segala
bentuk peristiwa masa lalu adalah sejarah. Karya Iwan Pranajaya dan Surya
Majapahit (IS), adalah digoresan karya kreatif “bercitra pembenaran sejarah menurut
IS yang selama ini dianggap paling benar oleh umum”. Karya Iwan Pranajaya dan
Surya Majapahit (IS): Medang I Bumi
Mataram Gerbang Kerajaan Majapahit: Geger Nusantara”, merupakan karya yang
mengegerkan nusantara, sehingga sangat menarik untuk dibedah. Kali ini kesempatan itu datang, yang diprakarsai oleh Mahasiswa
FHIS (tanggal 22 April 2018). Saya merasa diberikan kehormatan untuk memberikan
masukan, kritik, dan saran dari buku yang dikemas sangat lux ini. Buku ini
diterbitkan oleh tim Surya Majapahit, di Denpasar tahun 2017 (setebal 151 hal.
termasuk lampiran).
Buku ini diantar oleh dua tokoh: (1)
Tokoh ketua PHDI dan Rektor IHDN Denpasar Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah
Sudiana, M.Si., disebutkan bahwa buku ini membahas mitologi hingga zaman
Majapahit, dan membahas sejarah berbeda dengan teori sejarah umumnya, disinyalir
akan dapat memberikan gambaran sejarah baru. (2) Tokoh sejarawan beken Prof.
Dr. I Gde Parimartha, M.A. menyebutkan buku ini merupakan hasil karya anak muda
kreatif, dengan sudut pandang dari Bali Utara, dan Iwan dkk mengidentikasi
pusat kerajaan Majapahit ada di Bungkulan, dan tokoh-tokoh besar sejarah
Indonesia lama sebagian besar Kawitannya di Bungkulan.
Secara
metodologis menggunakan efistimologi mencari kebenaran dengan metode “anumana
pramana” (pandangan tradisional). Disarakan memperkuat analisis dengan
semeotika, yaitu ilmu tentang tanda (cf. Recouer, 2008; Sumaryono, 1999;
Palmer, 2005; Tinarbuko, 2009), karena kurang alat analisisnya maka dapat
menggambarkan cerita sejarah yang berbeda dari karya sejarah akademik umumnya
(Parimartha, 2017: iv-v). Diakhiri dengan harapan terus berkarya dan dijadikan
teman diskusi sampai kebenaran yang diinginkan oleh Iwan, dkk. dapat ditemukan.
Buku
ini ditulis menggunakan perspektif cauvinistik Bungkulan sebagai pusat politik,
kekuasaan, trah, dan kejadian-kejadian besar di masa kekuasaan Majapahit sekitar
500 tahun silam. Iwan dkk. Memandang bahwa sumber tertulis bukanlah bukti
sejarah, karena hanya bersifat referensi. Bukti sejarah adalah temuan
fakta-fakta di lapangan yang menguatkan sumber tertulis tersebut.
Penulisannya
menggunakan metodologi pembacaan perlambang. Semiotika ini diklaim baru karena perbedaannya
yaitu “metodologi pembacaan perlambang yang tanpa asumsi”. Pura dan reliefnya yangada
di Bungkulan diyakini dibuat langsung dan di bawah pengausa langsung pada
zamannya, diibaratkan sebagai “dokumen resmi negara” (Pranajaya, dkk.,2017). [2] Secara
akademik sumber ini menjadi persoalan utamanya, namun inilah perpsektif
penulisnya (IS) dan kekhasan dalam tulisan ini.
II
TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR ILMU SEJARAH
Tidak
ada kebenaran tunggal dalam berbicara sejarah, karena kebenaran sangat
ditentukan oleh perspektif, teori, filosofi, personal, dan kepentingan
penulisannya, dengan sumber yang sama dapat menghasilkan makna dan cerita
sejarah yang berbeda. Ilmu pengetahuan membutuhkan dasar rasional secara
sistematis, ajeg, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam disiplin yang
ditawarkan oleh penulisnya.
1.
Beberapa
Konsep
Dengan demikian menghasilkan ontologi sejarah struktural
fungsional kritis, beberapa konsep fungsional untuk menyatukan persepsi.
a.
Sejarah
adalah ilmu tentang urut peristiwa dalam waktu, periodisasi, dan peristiwa.
b.
Peristiwa dalam konteks ini adalah
“pemolaan”, pembangunan pura, relief,
pematungannya,tata letaknya, dsb.
c.
Teori adalah sebuah hubungan/korelasi
dari beberapa konsep membentuk sebuah pemahaman, yang memiliki perspektif,
dasar, asumsi, dan persepsi-persepsi, yang menjadi isi kepala peneliti.
d.
Teori yang patut dijadikan pandangan
bekal mengkaji sejarah, misalnya: Teori Strukturasi Giddens (2010), memberikan
pemakahan bahwa : “Waktu-Agensi-Struktur” memiliki keterikatan satu dengan yang
lainnya secara simultan.
e.
Waktu berjalan secara kontinuitas tanpa
henti, sehingga dalam belajar sejarah perlu periodisasi, setiap zaman memiliki
“zeitgeist dan cultuurgebudenheid”, jiwa zaman dan ikatan budaya zaman yang
melingkupinya. Altussers (2014) menyebut jiwa zaman sebagai ideologi yang
menrarahkan, membawa, menjadikan, mempengaruhi tindakan manusia, sebagai tatanam mental yang mengontrol
tindakan manusia.
f.
Agensi bisa berupa tatanan negara,
kelompok, personal (relasi kuasa) yang memiliki budaya untuk dipolakan dalam
masyarakat. Struktur adalah pola budaya, politik, social, kehidupan masyarakat
yang menjadi trend umum.
g.
Konsep Perubahan : Pro- ke Post, konsep
dikembangkan oleh Homi Bhabha, yaitu konsep “Mimikri dan Hibridasi” (cf.
Martono, 2014).
h.
Teori
Strukturasi:
i.
Kerangka
Berpikir Historis, dengan teori Strukturasi: Waktu, Agen, dan Struktur
Keterangan:
1.
Tife
M.A (Megalitik, Asli). Zaman prasejarah (Megalithicum): Kayu besar, Menhir,
Funden Berundak, Sarkopagus, dll. Dengan Cultus Bhatara sebagai Leluhur
(Pelindung).
2.
Tife
S-2 (Struktur 2/Rwabhineda). Ideologi Rsi Markandeya, masuk abad ke-8 (dari Gn
Raung Jatim), Bali Aga. Ppemaduan Lokal Genius pemujaan Leluhur dengan
Hinduisme, Cultus Dewa Raja.
3.
Tife-S-3
(Trimurti). Ideologi Kuturan (zaman raja Udayana dan Mahendradatta, abad 12) Pemolaan
zaman Jaya Pangus dengan manunggalkan Bhuda-Hindu. Cultus Dewa Raja berlanjut,
dengan pembangunan Meru legitimasinya.
4.
Ideologi
Danghyang Nirartha, Ciwa Sidanta. Cultus Rsi Dewa, dominasi penunggalan couter
ideology dengan Islam di Jawa.
Inilah konsep, teori, dan kerangka berpikir yang saya
gunakan untuk menilai karya IS, dilihat dari perspektif ilmu peristiwa masa
lalu terkait dengan waktu (kronologis). Sekali lagi saya tegaskan perbedaan ini
akan menghasilkan pemahaman dan kebenaran yang berbeda. Pilihan ada pada
pembaca untuk memilihnya, namun secara akademik karena karya ini mengklaim
kebenaran sejarah, maka dijelaskan objek yang sama dengan pendekatan sejarah
ilmiah. Pemahaman kebenarannya bisa sama dan bisa pula berbeda, yang jelas
tidak ada kebenaran tunggal dalam sebuah cerita masa lalu.
II.
KARYA
GEGER NUSANTARA
Bali Utara secara umum merupakan daerah yang menjadi
gerbang utama masuknya pengaruh luar, terutama zaman Bali Kuno-Bali
Pertengahan, sebelum masuknya bangsa Barat ke Bali. Alasan pertama peninggalan sejarah, berupa artefak, tulang/fosil ditemukan
dari daerah Cekik- Pacung di Timur (sudah eksis sekitar 250 tahun SM); kedua manusia masih dideterminasi oleh
alam, daerah Indonesia dalam ombaknya, anginnya, gelombang samudra memungkinkan
berlayar dengan perahu di Bali Utara; (3) banyak bukti awal pengaruh hinduisme
ditemukan di Bali Utara, termasuk di Bungkulan. Sampai di sini pandangan IS
sangat memungkinkan. Bahkan memang benar bahwa penemuan situs Bhuda di
Kalibukbuk (Hotel Angsoka), dan Kalang Anyar mengugurkan teori sejarawan barat
mengatakan Hinduisme itu bermula dari Bali Selatan (Balnjong Sanur dan atau
daerah Pejeng Gianyar.
Kata Bungkulan menurut pandangan saya memang lebih cocok
dicarikan toponiminya (kesamaan namanya) dengan Bengkulen (menjadi Bungkulen),
wilayah yang ada di Sumatra Selatan, daerah pusat perdagangan di daerah Barat
Jawa. Daerah yang kuat kena pengaruh Bhuda/Sriwijaya yang menjadi saingan kuat
raja-raja Jawa Timur (Raja Wura-wari disinyalir penyebab pralaya Kediri dari
Swarna Dwipa).
Karya Iwan Pranajaya dan Surya Majapahit, “Medang I Bumi Mataram Gerbang Kerajaan
Majapahit: Geger Nusantara: Geger Nusantara”(Denpasar, 2017, total 161
halaman).
[---“IS menyebutkan daerah Bungkulan Gigir
Manuk (punggung Ayam), titik nol, merupakan kawitan trah raja-raja nusantara
atau trah dalem, serta kawitan dari raja Siliwangi (Pejajaran). Keduanya
berdampingan dalam satu lokasi. Ada di Pura Dalm Kresna Kepakisan, di pura ini
ditemukan “Stempel Otentik Kerajaan, terpeting Stempel Surya Majapahit, terbuat
dari kayu, ditemukan pula tokoh-tokoh besar seperti Gajah Mada, Kebo Iwa, dn
diidentifikasi daerah ini sebagai “pusat pemerintahan Majapahit”. Serta detail lainnya terkait dengan Gajah
Mada, Gajah Mada sosok tunggal dengan Prabu Udayana (bedanya dalam kedudukan
Patih dan /Raja). Kebo Iwa (bergelar Sri Tabanendra Warmadewa) berkedudukan sebagai raja di Tabanan, dengan
pusat Pura Batukaru (disamakan dengan Sri Masula-Masuli), kembar buncing’(lihat
halaman 11). Identifikasi Perang Bubat Bungkulan tempat Gajah Mada, Tribhuana,
dan Ayam Wuruk menunggu Dyah Pitaloka putrid prabu Lingga Buana, berlabuh
dipantai Lingga(hal. 13-16; ), perlambang yang digunakan sebagai sumber
ilustrasi adalah Lukisan Wayang Kamasan (hal. 17-38)---.
--- IS
menggunakan literatur Keraton Sawangan (dari sawanganbali. http://blogspot.co.id/p/pe) menyebut
sungai jimba, diidentifikasi Tukad Yeh Aya, juga terkait dengan warna
merah-putih diambil dari “tanah Barat ada di desa Seraya Karangasem, dan tanah
putih di HBB, menjadi panji merah-putih di Majapahit,---.
--- IS menraha
pada kawitan yang sama di Bungkulan Bali Utara, gelar Sri Udayana (Sri
Dharmodayana Marakata Pangkajastano Tunggadewa) dibalikan menjadi “market atep pengkaje” , diarahkannya ke
daerah Bungkulan.
--- Sistem trah
yang ada di Bali untuk mewariskan ketrampilan khusus dari leluhurnya, agar
tetap ajeg keahliannya. Ngelong trah (kamuplase/nyineb pusat kerajaan) di Bungkulan, untuk menghinari kehancuran
pusat kerajaan yang ada di Gelgel dan di Majapahit.-- dst…][5]
Secara kronologis karya IS banyak yang menyimpang dari
penggalan waktu, dalam sejarah akademik yang sangat diperhatikan. Seperti
disebutkan dalam teori kronologis, setiap zaman akan memiliki jiwa dan budaya
zaman yang berbeda, dan kontinuitas dan diskontinuitas dari ideology masa
sebelumnya, dapat dipahami dengan teori perubahan yang disebut mimikri dan atau
hibridasi. Paling tidak dalam abad, kalau tidak dapat menunjukkan waktunya
secara pasti. Sejarah sebagai ilmu yang penting ada heuristic, kritik, interpretasi,
dan penulisan (simpulan putusan penulis dalam bentuk eksplanasi secara
kronologis). Cerita,penjelasan fakta, dan hubungan sebag akibat, dengan
memperhatikan prinsip koligasi (pembabakan, kesesuaian zaman) dibuat dalam
bentuk pemahaman rasional, sistematis, terbuktikan bahan ceritanya.
Kesalahan kronologis berakibat fatal terhadap pemahaman
(verstehen), karena hibridasi dan mimikrinya tidak dapat dijelaskan, dalam
karya IS. Tidak ada sesuatu di dunia ini tanpa genealogi, hampir semuanya dapat
dijelaskan, secara realitas, kecuali kepercayaan yang didasari oleh dogmatis,
mitis, atau karena tidak ada sumber atau pengetahuan padanya, yang benar-benar
baru sebagai invention. Berikut akan dijelaskan beberapa poin yang perlu IS klarifikasi,
terutama fakta yang mengegerkan nusantara.
III
KEGAGALAN KONSTRUKSI FAKTA GEGER NUSANTARA
Beberapa fakta bertentangan dengan bukti kuat peristiwa sejarah
terkait dengan Bali, khususnya Bali Utara.
1. Analisis
(where/Locus/field), disinyalir IS
sebagai pusat pemerintahan Majapahit (lihat hal.6).
Pembuktian
berpikir Tife S-2: Pura segara dicari Pura Gunungnya, dan atau Pura Gunung
Sarinya (terbuktikan ada); Penandanya Batu Tapak dua Kaki dikerjakan oleh Kebo
Iwa, symbol kekuasaan raja Waisnawa (pengikut ideology, pemolaan (IS),
“seterelisasi prasasti Ciaruteum Bogor (Bali=Banten) ,…. Inilah telapak kaki
yang mulia Sang Purnawarman menguasai dunia sebagai telapak wisnu” (wujud
Cultus Dewa Raja); Pura Agung Bungkulan di damping Pande (pagu Tife S-3 cf
Batur),sebagai Raja lokalnya dengan Pura Dalem Purwa (Purwa=Muka+penguasa)
(terbuktikan ada); Penandanya Pura Batur (tife S-3). Pasek/Pacek/Hamengku
Bumi/Bwana di Jawa. Sistem kekuasaan sistem Banwa (maka penyisirannya ke dsa di
atasnya, yaitu Menyali--- (banwa Menyali, Galungan, Sekumpul, dan Lemukih),
daerah pantainya berkembang sistem kekuasaan pakraman baru, sama dengan pola
kubutambahan (tife S-2 dan S-3).[6]
2. Zaman
Raja Jaya Pangus, gugur bermasalah sistem kultus dewa rajanya, karena raja memiliki
istri seorang Bhuda bernama Kang Ceng Wie (ayahnya bernama Ping-An, saudagar pinggan
berlokasi di Pura Pegonjongan/Gretek dan membuat lokasi pengepulnya di Pingggan
Kintamani (Desa Pinggan), sehingga rakyat menolak kuasa rajanya, dengan alasan
melanggar kultus dewa raja itu, dan anaknya yang buncing bernama “Ma-Sula dan
Ma- Suli/ warga Ma di Cina, Masora dan Masori di Besakih). Keadaan ini sehingga
raja dan anaknya ditolak dan dianggap bukan turunan dewa atau dewa lagi. Untuk
itu dan untuk membangun kepercayaan rakyat dia mengeluarkan sekitar 40
prasasti, dan istrinya selalu disandingkan dan semuanya mengaku turunan Bulan
(sekta Surya: “Bulan Matahari, bintang tarnggana”); Istrinya dijadikan Ratu Ayu
Syah Bandar mengatur perdagangan laut; memosisikan diri dan istrinya
sebagai BarongLandung menguatkan
kedudukannya sebagai Dewa Pelindung; Memolakan pura di Bali dalam penanda Hindu
dan Bhuda, berbentuk hibridasi; Penanda/perlambangnya menjadi makhluk-makhluk
serem, seperti: Harimau, Singa, Gajah Mina, Mina Warak, dan sebagainya.
Cerita
Bubuksah dan Gagak aking dengan turunnya Raja Hutan direliefkan dalam bentuk cerita Ciwa Bhuda turun ke dunia
dalam wujud Singa, Harimau pada relief Candi Sukuh Jatim. Terjadi “dominasi,
hegemon, mimikri, dan hibridasi”, antara Waisnawa, Trimurti, Bhuda Mahayana, dan
Ciwaisme dalam perjalanan sistem religi di Bali. Contoh: Singaraja--- Hindu
Waisnawa dan Bhuda—Sayapnya Garuda kendaraan Wisnu, dan Singa wujud Bhuda
Mahayana; Gajah-Mina: hibridasi Ganapati-Waisnawa; Wilmana manusia bersayap
(Bhuda-Wisnu); sedangkan wujud randa sudah jelas sekta ciwa perlambang Rangdeng
Dirah. Sedangkan barong Ket (wujud Banaspati raja) Sang Catur Sanak manusia
sakti, simbolisasinya terdapat dalam tari Barong, Rangda dengan sisyanya
melawan Barong dengan Bojog Hitamnya (sekta Waisnawanya), sehingga dalam perang
sekta itu hasilnya drow (sapih sama kuat). Ini adalah analisis
simbolik, karena simbolik atau perlambang maka bersifat dinamis dan
multitafsir, sangat bergantung pada “Waktu-tempat-agansi- dan struktur
masyarakatnya” (Giddens, 2010). Salah memegal waktu, agen, dan struktur maka
akan berakibat menjadi uraian tanpa konteks (menjadi sebuah keyakinan tanpa
kronologis/ilmu sejarah).
Dengan
demikian saya menafsirkan pelinggih Sri
Kresna Kepakisan di Bungkulan, yang disinyalir “Kawitan Raja-raja dan Patih
besar Nusantara”: (1) merupakan bentuk hibridasi yang awalnya bentuk pelinggih
tife S-3; (2) kemudian di tahun 1927-an terjadi renovasi pelinggih di Bali
Utara zaman Baliseering ajeg Bali
zaman Belanda, sehingga dalam rehab itu, masuklah ideologi Ciwaisme ikut
berhibridasi di dalamnya (zeitgeist dan
cultuurgebudenheid) dalam periodisasi, sehingga menjadi tife F-H (Fertilitas Hybrid).
Analisis
situs palinggih yang didata IS di Bungkulan memiliki sebaran sign/tanda-tanda/symbol/perlambang
gambaran tife M.A, Tife S-2, tife S-3, tife
F.H. Pura Kawitan Sri Kresna Kepakisan diklaim sebagai pusat
pemerintahan dan pusat genealogi raja-raja dan tokoh-tokoh besar Nusantara Kepakisan yang memerintah tahun 1350-1373 M. Memiliki ciri-ciri
zaman Jaya Pangus, saya lebih menafsir pelinggih abad ke-12 direnovasi kemudian
menjadi tambahan cirri-ciri hibridasi tife S-9 dan Tife F.H.
Relief
dan Babad merupakan sumber sejarah paling lemah, karena penuh dengan
“konstruksi politik/relasi kuasa/pendewaan siempunya Babad). Dengan emikian
untukmendapat patokan abad paling tidak perlu pembacaan sumber sejarah lebih valid
dan mendalam, dan yang sezaman seperti prasasti (tambra sasti). Yang banyak
ditemukan di Bali Utara prasasti dikeluarkan oleh Jaya Pangus (1099-1103).
“Saya menjadi ragu setelah membaca Prasasti
Ragajaya, dibuat Jaya Pangus bertahun 1155 Masehi: menyebut desa Les, Paminggir
(hiliran/Tejakula), Buhundalem, Julah, Purwasidi, indrapura, bulihan, manasa,
banyubrah, Manasa, bukit sinunggal (cf Prasasti
Raja Ekajaya Lencana); P. Sembiran 975 Masehi, hampir sama isinya dengan
Prasasti Julah, prasasti Bebetin, dan Prasasti Kerobokan/ Sanding Bulian
Tamblingan, Prasasti Gobleg, Prasasti Banyusri. Tidak ada menyebut Pura itu,
dan tidak ada disebut-sebut Bungkulan atau “Bengkulen”, di Bungkulan. Yang
banyak disebut-sebut justru Hiliran, Bulihan, Manasa, Banyubrah, Tamblingan,
Bantiran, dan Desa Wintang Ranu (Bintang Danu), buahan, trunyan, abang,
maniklyu, lantih, panarajon/pucak penulisan.”[7]
3. Alasan
sayan, penanda tife S-2 dan S-3 lainnya adalah Pura Dalem Balingkang, itu
adalah tife S-3, dapat dipastikan akan ada Ratu Ayu Syahbandarnya, Dalem
Pingitnya, penanda Kudanya (dagang), penanda Harimaunya. Memosisikan Kang Ceng
Wie sebagai Dewi seperti Dewi Danuh (istri pertamanya) di daerah Songan Batur
(tife S-2). Sedangkan Pura Batur di Banwa Batur, masuk tife S-3 dan kini
didominasi dengan tife F-H (mimikri Siwa). Penandanya meru berjejer, dan ada
pelinggih untuk Syahbandarnya (cf. Puru Batur); Pura Jati (PasekKayu Selem)
(tife S-2); dan penada relief yang diperlihatkan dalam Buku IS Geger Nusantara.
4. Pemerintahan
Ketut Ngulesir di Gelgel (1380-1460 M), kakaknya bernama Agra Samprangan
(lemah), dan Dalem Tarukan (suka Kekayaan di Pula Sari), Putri (tidak jelas
namanya), dan Dalem Ketut Ngulesir dijadikan raja di Gelgel. Representasinya
adalah Pura Dalem Ketut (ada tife S-9 dan tife F.H); Pura Dalem Puri; Pura
Kentel Gumi; Pamrajan Satria; Gelgel merupakan raja yang digadang oleh Arya
Kloping (sama dengan Arya Kelapadiana, A. Kebon Tubuh, A. Batan Nyuh) yang
merelakan tanahnya sebagai Puri Gelgel, sehingga dia dibawa ke Gelgel dari
Pandak Gede Tabanan. Penandanya Pura Batan Nyuh.
5. Zaman pemerintahan Agra Samprangan banyak
terjadi pembrontakan desa Bali Aga, karena tidak sepenuhnya mengakui raja Dalem
sebagai Titisan Wisnu dari Airlangga/ Daha dan Kediri), dia dari Fakis
Blambangan, dan turunan seorang Brahmana. Hal ini diasumsikan Enceh Gumi Baline,
sehingga muncul “Pura Kentel Gumi dan Setra Ganda Mayu” (ada di Bungkulan),
serta wujud pura tiga Klan yaitu Pande (Brahma,
Rsi, Raja),konsepNgaben Massal setelah Perang Brata Yuda (sesuluh dari Efos
Mahabratha). BelumMuncul Brahmana yang mendominasi sampai Kultus Resi Dewa
(Dewa Brahma+ana, Ciwa ia, Surya ia, Pedanda ia, Guru ia, Bagus ia).[8]
IV
ANALISIS SUMBER FOTO, PATUNG, RELIEF.
Bagaimana
seharusnya dijelaskan beberapa perlambang pada pura yang dijadikan “geger
nusantara ini”, contoh penggunaan teori yang saya ajukan, agar dapat mengerti
apa sesungguhnya dilambangkan, ideology apa yang tersembunyi di baliknya, apa
yang mimikri dan atau berhibridasi di dalamnya.
(1)
Rentetan Meru pada halaman 46, harus
dipahami dalam tife S-3 zaman Jaya Pangus berubah ke dominasi Gelgel setelah
kekuasaan Dalem Kresna Kepakisan.
(2)
Foto hal 49 berbentuk Bhudhaisme
Mahayana (Harimau) raja hutan bercitra Ciwaisme.
(3)
Foto-foto hal 52, tife S-9 ciwaistik di
tengah, hibridasi sektarian (Tife S-2) dan Bhuda Mahayana.
(4)
Foto –foto Pura Dalem Balingkang: mistik
dengan penanda kultus dewa raja, Kuda dan babi Hitam (Bhuda dan Wisnu) Kang
Ceng Wie (Ratu Ayu Syahbandar) dan Jaya Pangus (Dalem Pingit). Sama dengan
Gambur Ngalayang, ada Ratu Mekah, Sundawan, ratu Melayu, Dlaem Pingit, dan Dewa
Tirta. Surya penunjuknya, sebagai sistem religi tife S-3.
(5)
Halaman 59 Syair Kidung tua: bermakna
pertemuan dengan Islam, di bawah raja
Batur (Jaya Pangus), peranakan cina (ratu Syahbandar), Juru Kemudi pedagang
berkemudi Kuda, Perahu, pedati, dll. Ciri-ciri dan penanda kekuasaan Jaya
Pangus dengan Istrinya. Di Bungkulan, sama dengan pusat dagang di Sumatra
Selatan Bengkulen.
(6)
Foto halaman 63, Bhudaisme (harimau)
dengan Jaga Balanya.
(7)
Foto-foto halaman 64: Dua Patok kaki
(sama dengan symbol kaki raja, waisnawa dalam kultus dewa raja) tife S-2; di
sampingnya ada symbol Surya (matahari) symbol sekta raja (Surya-Candra-Bintang
Tranggana).
(8)
Foto-foto hal. 73-74; Hibridasi Bhuda
–Waisnawa, Bhudanya ke Baerawa (Jaman Kebo Parud di Bali Singosari); Wayang
berbendtuk Monyet adalah anak buah dari Sang Rama dan Sinta (Awatara Wisnu/
Waisnawa).
(9)
Foto-foto halaman 77-78: Menjangan
Seluang (tife S-3), Harimau (Bhudaisme), dua patok tife S-2. Binatang yang
dipegang pahami melalui mitologi/folklore rakyat setempat.
(10) Foto-foto
hal. 79-80: Patung dengan falus besar (Bhuda Baerawa,ingat kebo edan Gianyar);
Bhuda, Ganapati (sectarian).
(11) Foto-foto
hal. 81-82: kalamakara (Bomantaka), monyet Waisnawa; Matahari (sibol sekta
raja, di sampingnya ada Ciwaisme dan Bhudaisme.
(12) Foto-foto
hal. 83-84: Kuda, Singaraja, dan manusia bertopi (Kling atau Melayu). Pelinggih
tife S-3, tiang dengan tiga cabang di atasnya Trimuti bersatu menjadi Agama
Negara (Pesamuan Tiga Gianyar), tife S-3.
(13) Foto-foto
hal. 85-86. Di Pura Dalem Purwa. Rangda motif Ciwa Durga, Bhuda, Wisnu, dan
Raja (Mimikri budaya Agama).
(14) Foto-foto
hal.hal 105-106; Pura Patih, seorang patih Dalem Balingkang (Jaya Pangus),
bersekta Wisnu-Bhuda. Naga Wisnu dan Harimau bawah Bhudaisme.
(15) Foto-foto
hal. 107, inti sektanya pura itu, Kalaulaki ditengah dua putrid di sampingnya
itu penanda Jaya Pangus dengan dua istrinya, Jika patung wayang (kera)
Waisnawa.
(16) Foto
hal.201. Banwa dengan sekta wisnunya penanda di Pura Dalem Solo desa Sedang
Badung. Daerah Badung merupakan daerah yang didominasi oleh tife S-3 (Padma
Trilingga).
(17) Silsilah
halaman 122 meragukan dilihat dari isi prasasti, sehingga membutuhkan
pembuktian, bahwa kresna kepakisan yang dari Desa Pakis Jawa Timur memang
berasal dari Bungkulan? Raja-raja zaman Bali Aga memang didominasi oleh sekta
Bhuda dan Sekta Waisnawa, serta sekta lainnya yang menjadi aliran kepercayaan
masing-masing personal (pribadi).
(18) Foto
hal.128. adalah foto kala makara, boma, yang di dalamnya berisi Lingga
merupakan Pura Segara dari Pucak Penulisan, dengan perutnya di Bedulu (Pura
Penataran Sasih dan Pura Pancering Jagat. Termasuk sistem religi tife S-2,
Nyegara-Gunung di tengah-tengah perutnya (pusar kehidupan), dengan sekta Surya
Candra ranggana (Wisnawa, dengan Jaya Pangus sebagai Barong-Landung),
berkedudukan di Bata Anyar, dan istri Bhudanya di Dalem Balingkang. Sejak itu
kerajaan berkaki dua, yaitu: di selatan Bali dan di Utara Bali. Tetap tife S-2
dan S-3.
IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan.
Dari analisis situs Bungkulan dengan
keberadaan Pura dengan nama-nama dan lokasi pura dan penanda lainnya, dapat
disimpulkan:
1.
Gugur Geger Nusantara dilihat dari kaca
mata ilmu sejarah, karena Situs Bungkulan masih dapat dijelaskan dengan konteks
sejarah umumnya, yaitu terdiri dari dua tife utama yaitu tife S-2 dan S-3 yaitu
sistem religi yang dikembangkan pengikut Rsi Markandeya abad ke -8 (tife
S-2), dan Tife S-3 yang dikembangkan Mpu
Kuturan abad ke-12. Dengan hibridasi Hindu-Bhuda ditampilkan dengan patung,
relief, dan pemujaan raja sebagai dewa, karena ada relasi kuasa yang sangat
kuat. Terutama pemolaan sistem religi yang ada sebelumnya berhibridasi dengan
Trimurti, dan Raja Jaya Pangus dengan Istrinya Cina.
2.
Kekuasaan di Bali Utara sebelum Ketut
Ngulesir tidak berani ada mengusik Bali Utara karena masih ada dalam perlindungan
pendiri Majapahit, yaitu Arya Wiraraja (penguasa di Maduru zaman Singosari)
yang dipersiapkan melawan Kubhilaikan, dengan Pabalinya (1275 Masehi). Sehingga
Bhuda Baerawa, dengan 5 Ma-nya dikembangkan, seperti Kebo Edan di Bedulu, wakilnya
Raja Patih bernama Kebo Parud.
3.
Kekuasaan Ketut Ngulesir melakukan
dominasi ke Desa-desa Bali Aga, dengan mengirim penguasa lokal utusan Gelgel,
juga terjadi dalam penguasaan daerah Bungkulan ini
4.
Setempel
Majapahit ternyata hanya sebagai symbol sekta raja ketika itu adalah Sekta
Surya-Candra-Bintang Trangana, seperti pusat kekuasaannya di Bedulu (di bata
Anyar dan Dalem Balingkang pada abad ke-12). Prasasti-prasasti yang muncul di
Bali Utara sebagian besar dikeluarkan oleh Raja Jaya Pangus dalam melegitimasi
istrinya yang ditolak sebagai pendampingnya, karena Bhudis.
5.
Raja Lingga Bhuana ketika dibaca dalam
Blog yang ditunjuk hanyalah sebuah folklorseperti Babad, yang mencoba
melegitimasi klenya untuk dapat menjadi turunan raja lain trah, ketika terjadi
peralihan kekuasaan.
6.
Relief, patung, dan sistem religi
terakhir ketika dikonstruksi setelah abad ke-16, banyak yang disesuaikan dengan
konsep siwa tiga (Ciwa-Sada Ciwa, Parama Ciwa), yang sebelumnya Brahma-Wisnu-Ciwa.
Dan Rwabhinedanya diasosiasikan dengan tokoh leluhur, raja, resi.
7.
Tidak dapat dibuktikan bahwa trah Kresna
Kepakisan dari Bungkulan, dan adanya ajaran beliau melalui Ketut Ngulesir dan
Arya Kloping adalah peristiwa politik yang terjadi pro dan kontra dalam
menerima rajanya dari Pakis Jawa Timur, yang dibawa ke Bali oleh Gajah Mada,
karena Gajah Mada berguru di Fakis itu, sehingga semua keluarganya menjadi
bagian kekuasaan Gajahmada.
4.2 Saran-saran
(1) Perlu
penelitian ini dilanjutkan dengan tidak hanya berdasarkan metode perlambang
(semiotika saja) yang kalau dikontekskan
dengan “waktu-agen-struktur” bisa menyesatkan, karena perlambang adalah bukti
konstruksi zaman kemudian, yang didasari oleh hibridasi sistem religi, ideologi (zeitgeist),
dan ikatan budaya jaman (Cultuurgebudenheid)
ketika perlambang itu diciptakan.
(2) Disarankan
untuk meneliti apakah mungkin cap surya Majapahit itu berumur sekitar 650
tahunan? Termasuk padas, dan relief yang dijadikan analisis perlambang.
Sehingga perlu penguatan kritik sumber (eksternal dan internal), dan kemampuan
koligasi, bukan hanya imajinasi seperti penarang novel. Sejarah adalah cerita
berfakta secara kronologis, sehingga maknanya ada dalamkonteks ideology dan
budaya zamannya.
(3) Perlu
dilengkapi dengan pembacaan Prasasti Bulian, Bebetin, Goleg Pura Desa A dan B,
Prasasti Raga Jaya (Teja Kula), dan Prasasi desa Julah, Sembiran, dan Prasasti
Sanding Bulian Tamblingan yang merupakan gambaran tentang luasnya kekuasaan dan
hegemoni Jaya Pangus bersama istrinya di Bali Utara dan Bali umumnya.
(4) Coba
kaitkan Bungkulan dengan Banwa Menyali-Sekumpul, Galungan, dan Lemukih. Daerah
pantai Bungkulan terkait dengan Nyegara-Gunungnya di masa lalu. Seperti daerah
Kubutambahan terkait dengan Banwa Bulian-Depaha-Bayad- tampekan/Tajum dengan
Bukit Sinunggal sebagai hulunya.
DAFTAR PUSTAKA
Atmodjo,
R.M. Sukarto K. 1970. Manuskrip
“Prasasti Buyan-Sanding-Tamblingan. Disampaikan dalam Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus di Yogyakarta.
|
Foucault,
Michel. 2012. Arkeologi Pengetahuan.
Inyak Ridwan Muzir (penerjemah). IRCiSoD: Yogyakarta.
|
Giddens,
Anthony. 2010. Teori Strukturasi:
Dasar-dasar Pembentukan Struktur Soaial Masyarakat. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
|
Ginarsa,
Ketut. tt. “Prasasti Baru Raja Ragajaya”,
dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra
Indonesia.Maret –Juni 1963. Jilid IV, No 1,2. UI: Jakarta.
|
Martono,
Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan
Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Postkolonial. Rajawali
Pers: Jakarta.
|
Palmer,
Richard E.Hermeneutika: Teori Baru
Mengenai Interpretasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
|
Ricoeur,
Paul.2009. Hermeneutika Ilmu Sosial. Kreasi
Wacana: Yogyakarta.
|
Shastri,
N.D. Pandit. 1963. Sejarah Bali Dwipa.
Jilid I. Bhuwana Saraswati: Denpasar Bali.
|
Sumaryono,
E. 2013. Hermeneutik: Sebuah Metode
Filsafat. Kanisius: Yogyakarta.
|
Tinarbuko,
Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi
Visual. Jalasutra: Yogyakarta.
|
[1]
Tulisanini dikerjakan dalam rangka Bedah Buku Iwan Prabajaya dan Surya
Majapahit, 2017. Medang I Bumi Mataram Gerbang Kerajaan Majapahit:
Geger Nusantara. Xeanz
Publisher: Denpasar. Tanggal 21 April 2018 di Kampus FHIS Undiksha Singaraja
Bali.
[2]Di sinilah persoalannya kalau
menggunakan perpsektif ilmu sejarah, yeng mengutamakan autetisitas, urutan
waktu yang jelas (perodisasi), dan pemaknaan as actuality (verstehen)
dalam kontinuitas dan diskontinuitas (zeitgeist
dan cultuurgebudenheid).
[3] Teori lain yang perlu
dipertimbangkan adalah teori Relasi kuasanya M. Foucault, teori Hegemoni dan
Dominasinya Gramsci, Teori Orientalisnya Edward
Said, dll.
[4] Tiga tokoh ini dapat disebut
Cultural heroes yang banyak mempengaruhi ideology (pemolaan) dalam sistem
religi di Bali, tentu harus diingat ada zaman batu Besar (Megalithicum) yang
besar kontribusinya terhadap sistem religi di Bali.
[5]
Hasil pembacaan karya IS (buku yang dibedah).
[6] Banwa sama dengan gebog domas,
di dalam banwa itu ada raja-lokal—dan dukuhnya/rsinya di masa zaman Bali kuno
awal. Di Pura desa distanakah roh leluhur semua klan, raja sebagai puncaknya,
dibuat meru berjejer yang paling tinggi posisi raja. Pura banwa/Pura Desa
dilengkapi Balai Agung Kembar, lokus posisi ulu apad dalam tife S-2 yang sama
fungsinya dengan Balai Banjar setelah Zaman Kuturan (Tife-S-3). Sedangkan
Jagaraga adalah sistem banjar baru, setelah abad ke-19 (menjelang pembangunan
Benteng Jagaraga, setelah tahun 1846-1849. Palemahan itu milik banwa Menyali.
[7] Purwasidi seharusnya terletak
antara Julah- Depaha tidak diidentifikasi sekarang, oleh Ginarsa. Tejakula
berasal dari kuula-kuula (u dirge) yang berarti tepi/pinggir, ditambah mitos
teja
kukus (sinar melejeg ke langit) menjadi kini menjadi Tejakula.
[8] Hal ini konstruksi zaman Baliseering zaman kolonial
(indirect rule) kolonial Belanda di
Bali, raja jadi regent zaman kolonial, hegemoni terakhir kolonial Belanda,
menyiapkan pura-pura di Bali Utara menjadi objek pariwisata menarik dan ritual
eksotis.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda