Ilmu Pengetahuan dan Kekuasaan
1. Pendahuluan
Pengetahuan dapat dikategorikan dalam dua paradigma utama di Bali, (1) Ilmu Pengetahuan modern dalam konteks science, dan (2) dalam konteks tradisional (ngelme) Bali. Seperti yang diteorikan oleh Foucault (1969) science is power, dengan demikian maka dapat dipalikasikan untuk memahami dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana pengetahuan itu beroperasional. kajian budaya menggunakan metodologi pengetahuan Foucault pengetahuan yang sudah dianggap given benar di masyarakat disebut arkheologi, sedangkan menghubungkan pengetahuan itu dengan proses pembentukannya dengan pengetahuan (relasi kuasa) di dalamnya disebut genealogi pengetahuan. Dengan demikian genealogi menurut pandangan kajian budaya Foucaultan asal-usul yang dilihat selalu mengaitkannya dengan kekuasaan. Kekuasaan dapat mengkontruksi kebenaran, di dalamnya bermain kekuasaan yang bersifat dominatif atau hegemonik dalam pandangan Gramsci. Kepemimpinan dengan mengoperasikan hegemoni dalam Gramscian dilakukan dengan melakukan kepemimpinan karismatik, wibawa, kepercayaan, dengan demikian kehendak pemimpin diikuti secara sukarela tanpa paksaan, bahkan yang dipimpin ikut melakukan perjuangan mempertahankan ide dan gagasan seorang pemimpin, terjadi persetujuan dan saling menerima antara yang dipimpin dengan yang dipimpin. Operasionalisasi kepemipinan hegemonik menggunakan ilmuan organik dalam melaksanakan kepemimpinannya, yang bertugas untuk melakukan ideologisasi pada pengikutnya, dan melakukan pendekatan secara struktural melalui pendekatan kultural pada pengikutnya. Kelompok ini disebut dengan kelompok organik ideologis, seperti guru, dosen, peneliti, penyuluh, dll. Jika tidak berhasil melalui pendekatan hegemonik baru kemudian kekuasaan digunakan dengan melaksanakan dominasi yaitu pemaksaan untuk diikuti apa yang dikehendaki oleh pemimpin. Dengan demikian ilmu pengetahuan adalah kekuasaan (science is a power).
2. Hegemoni pengetahuan modern terhadap pengetahuan tradisional
Science is a power sudah banyak dibahas oleh para ahli, sehingga tidak perlu diuraikan kembali dalam artikel ini, untuk menghindari panjangnya uraian. Tetapi dapat dilihat bagaimana jejak-jejak kolonial Belanda melakukan hegemonik di Bali dengan menggunakan pengetahuan dalam menjalankan kekuasaannya. (1) Pemasangan Lonceng di beberapa Catus Pata penting di Bali Utara dan Bali Selatan, merupakan operasionalisasi dari pengetahuan kolonial terhadap catus pata di Bali, yaitu betapa pentingnya daerah astral ini dalam melakukan ritual kebalian, seperti medunan dewa, ngtang gering, ngirim atma (ngaben) dan ritual kebalian seperti ngenasakan sastra dalam ngelmu di Bali. Sering ditemukan adanya aktivitas mecaru di daerah prapatan agung sesungguhnya representasi dari mengembalikan dan memberikan upah pada sanghyang kala patpat (asal kanda phat), sebagai logika dasar dalam swastika, tapak dara, tanda tambah dalam simbol agama Hindu. Pentingnya kearifan pengetahuan lokal itu yang menjadi sari kebalian, maka kolonial Belanda melakukan hegemoni dengan menempatkan Lonceng simbol gereja, simbol "the time is money', fakta itu dapat ditafsirkan bahwa penempatan Jam di catus pata itu, bukan hanya untuk mengingatkan waktu dan posisi sanghyang surya pada dauh berapa, tetapi lebih jauh dilihat dari pengetahuan tradisional Bali adalah hegemoni yang dilakukan oleh kolonial Belanda dalam mengeporasikan kekuasaannya melalui pemahaman pengetahuan tradisional Bali.
Dengan hegemoni pengetahuan timur oleh kekuasaan kolonial, maka diharapkan desakralisasi terjadi, dengan demikian dalam mewujudkan menjadi kenyataan pengetahuan tradisional Bali menjadi "tidak kabul, matah/kecluagan", misalnya bagaimana Ilmu Megik harus dioperasionalkan dalam kebalian, karena sudah terjadi desakralisasi daerah hilirnya/hulunya, maka semuanya sia-sia dengan konstruksi wacana dengan ideologi pelemah yaitu "widine suba ngejohang", Pis Arjuna< Pis Jaran, Pis Kresna, dll suba meganti aji pis cengkeh/seratus ribuan, mobil Merci, Kuda Jepang dan sebagainya. Konstruksi wacana itu bertarung dalam masyarakat akhirnya dengan masuknya ideologi barat (materialistis, hedonis, dan libralisme) maka melunturlah ilmu tradisional Bali itu. Ilmu penerangan dan ngujanan sudah diganti dengan wacana tenda atau terpal, dukun dengan dokter, obat-obatan tradisional dengan pil dan sebagainya. Jadi pelan tapi pasti hegemoni pengetahuan barat masuk dalam ideologis manusia Bali, dan kemudian mempengaruhi segala pikiran, tindakan, dan perbuatannya, sehingga habislah kebalian orang Bali itu, dimulai dengan hegemoni pengetahuan kemudian merembes ke segala bentuk, fungsi dan makna kehidupan orang Bali.
3. Pengetahuan dalah kekuasaan
Pengetahuan adalah kekuasaan secara sederhana dapat dibuktikan dengan mengambil salah satu kasus Catus Pata di Bali. Pengetahuan modern menghasilkan IPTEK untuk membantu manusia mengolah alam (culture), terutama untuk membantu memperluas mikrokosmos dalam memahami dunia dan alam. Sedangkan pengetahuan tradisional Bali mengabdi pada Makrokosmos (Hyang Widhi Wasa) untuk mendapat kekuatan alam (super natural) untuk mewujudkan keinginannya, dengan demikian dia menyatu dengan alam sebagai ciptan-Nya. Wujud pengetahuan timur "hana tan hana", sarananya pun api, air, bunga, serta sastra dengan wujud huruf Modre Bali. Dokter dan Dukun adalah juru obat dengan sarana berbeda, yang pasti kematian pasti terjadi hanya ditunda/menyusul kemudian atau terjadi pada saatnya. Baju anti peluru wujud IPTEK, sedangkan "sabuk keteguhan" wujud ilmu tradisional Bali (ngelmu). Menguasai ilmu pengetahuan modern atau pengetahuan tradisional Bali adalah kekuasaan. Seorang dukun yang didatangi oleh dokter yang sakit, akan menyerah dan memberikan kekuasaan dukun bermain dalam mengoperasikan pengetahuannya, demikian sebaliknya seorang dukun sakit, harus dioperasi karena usus buntu misalnya, pasrah menyerahkan nasibnya pada dokter. Dengan demikian kekuasaan ilmu memiliki ranah dan keterbatasan satu dengan yang lainnya, sehingga etika pengetahuan keduanya harusnya distandarisasi sehingga menjadi produktif dalam kesejahtraan manusia Bali.
4. Simpulan
Kekuasaan dan ilmu pengetahuan baik modern maupun tradisional memiliki efisteme tersendiri, atau paradigma tersendiri, sehingga kekuasaannya berada pada ranah yang berbeda. Kalau Ilmu Pengetahuan Modern telah distandardisasi, seharusnya pengetahuan tradisonal ada usaha untuk melakukan standardisasi, sehingga ke depan keduanya mendapatkan legitimasi sepadan dan adil dalam perlakuannya. Dengan demikian tidak terjadi dukun palsu, obat tradisional palsu dan sebagainya yang merugikan masyarakat luas di Bali karena kita nafikan pengetahuan tradisional itu. Pengobatannya dipandang pengobatan alternatif, bukan utama, mengapa tidak dibalik, dukun utama dan pengobatan modern dijadikan pengobatan alternatif. Karena tidak dilembagakan maka kita menjadi bangsa yang terhegemoni oleh pengetahuan dan kekuasaan Barat.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda