Cultural heroes Sistem Religi: Hibridasi dalam Hinduisme di Bali
1. Pengantar
Sistem Religi dalam pandangan antropologis adalah "kepercayaan pada kekuatan gaib yang datang dari luar diri manusia". Sebuah sistem religi dapat disebut Agama dengan beberapa persyaratan yang dibuat oleh pemerintah sebagai dasar penetapan sebuah agama dapat diakui sebagai agama oleh NKRI, agama dibedakan dengan aliran kepercayaan, namun eksistensinya diatur dalam UUD 1945 bahwa aliran kepercayaan diakui dapat hidup di Indonesia (Pasal 29 UUD 1945). Sebagai pembeda mana agama dan mana aliran kepercayaan di Indonesia, pemerintah menetapkannya dengan peraturan pemerintah.
Datangya aliran kepercayaan ke Bali dari luar secara bergelombang dalam waktu yang cukup panjang, mengakibatkan terjadi saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, sehingga muncul hibridasi antara satu dengan yang lainnya. Hibridasi itu, yang kemudian disebut agama menjadikan agama di Indonesia sudah berhibridasi dengan sistem religi yang sudah ada sebelumnya, karena agama yang datang dianut oleh manusia berbudaya dan beragama yang datang sebelumnya. jadi tidak ada masyarakat tanpa budaya dan sebaliknya tidak ada budaya tanpa masyarakat. masyarakat adalah wadah budaya yang hidup di muka bumi, karena bumi memberikan manusia makan. Agama makanan rohani, dan hasil bumi makanan badan kasar.
Persoalannya usaha mengosongkan agama dan budaya yang sudah ada untuk diisi dengan agama dan budaya baru yang datang belakangan menjadi ideologi dan harapan agama dan budaya yang datang belakangan. Dengan demikian terjadi "pemerkosaan masyarakat" agar melupakan agama dan budaya agama, serta tradisi yang berkaitan dengan peradaban belakangan menjadi masalah dalam masyarakat dunia dan Indonesia, khususnya di Bali.
Bentuk yang ditemukan dalam sejarah Indonesia, dominasi melalui kekuatan politik keagamaan dengan kekerasan, pemaksaan, pemusnahan baik penganut maupun kebudayaan yang tercipta tidak secara sertamerta dapat menghabiskannya. Dalam perjalanan waktu terjadi resistensi budaya, pertarungan ideologi budaya dominan (relasi kuasa dan legitimasi politik), dengan ideologi populis dengan legitimasi tradisi dan warisan leluhur menjadikan budaya di masyarakat merupakan arena atau representasi pergulatan dua kekuatan antara penguasa dengan ideologinya dengan rakyat kecil dengan ideologi dalam warisan tradisinya .
Dengan demikian maka dapat dikatakan makin keras tekanan dari atas dengan hegemoni pada aparatus negaranya makin tersembunyi ideologi yang resisten di masyarakat, sebaliknya makin adanya pengakuan dan kebebasan pada masyarakat sipil untuk menentukan dirinya sendiri maka makin menguat resistensinya itu. Dengan memahami hal itu, maka dapat dijelaskan mengapa di era demokratisasi era global ini, banyak muncul perlawanan pada agama dominan dengan sistem kemasyarakatan yang diciptakan untuk menguasai kelompok minoritas dengan resistensinya?
Masalah ini ini sangat menarik untuk didiskusikan untuk dapat pemahaman terhadap realitas kehidupan bangsa Indonesia yang multikultur sebagaimana diamanatkan dalam keberagamaan Nusantara sejak zaman Majapahit, dengan semboyan "Bhineka Tunggal Ikha tan hana dharma mangruwa (Sutasoma, oleh Tantular), yang kemudian menjadi Motta Bhineka Tunggal Ikha dalam Lambang Negara Indonesia.
2. Sistem Religi yang masuk Bali dan hibridasinya
Pertama SR Melayu Austronesia disebut Animisme dan Dinamisme oleh Agama-agama besar (impor belakangan). Dengan ciri peradaban zaman batu besar (Megalithicum), seperti Sarkopagus, Funden berundak, Menhir, patung sederhana, bekal kubur, korban binatang dan sebagainya.
Kedua SR Hindu sekta Waisnawa dan Bhuda dominan, dibawa ke Bali oleh Rsi Markandeya (sistem religi Markandeya India) ke Indonesia dari Gunung Raung Jatim ke Bali abad ke-8. Terkenal di Bali dengan sistem Rwabhinedanya, yaitu harmoni antara dua unsur yang berlawanan, sebagai penyeban kehidupan itu ada. Bapak dan Ibuk, Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi, Positif dan Negatif, dll. Memunculkan sekta-sekta di Bali (ada sekitar 8 -10 sekta yang berkembang). Sistem serba dua, direpresentasikan pada bebantenan, dan pembagian pelinggih utama Rong Dua, atau Kembar. Terutama diperuntukkan sakti (Sang catur Sanak) Ngempat/Nyatur.
Ketiga SR Hindu Sekta Trimurti, dibawa oleh Empu Kuturan, sebagai lequidasi, klasifikasi sekta berdasarkan hukum alam lahir, hidup, mati menjadi tiga sekta utama disatukan menjadi sekta trimurti, muncul Rong Telu. Bersanding dengan Bhuda Mahayana, sehingga Rwabhineda berubah menjadi Hindu-Bhuda, dan muncul sekta Trimurti. Mulai ada penataan serba tiga, Jeroan, Jaba Tengah, dan Jaba Sisi, kemudian menjadi Trihita Karana, Bhur Bwah Swah (Om), serta operasionalisasi ideologi itu dalam kehidupan bergama di Bali. Ideologi ini terjadi sekitar abad ke-11, zaman pemerintahan Prabu Udayana dengan Mahendaradatta (Jatim) seorang Durgaisme (Kutri sebagai jejaknya). Jejak Kuturan sebagai seorang Bhuda ada di Padang Kerta (Karangasem).
Keempat. SR. Danghyang Niratha (Pedanda Sakti Waurauh), dari Jatim, di Jawa seorang penganut Bhuda Mahayana, kemungkinan tantrayana (sebagai jejaknya beliau banyak Punya Istri- 5- Ma), sakti mantraguna, dapat mengobati banyak orang sakit. Menjadi Hindu sekta Ciwasidanta, Jejaknya di Pulaki (pertarungan Siwer Mas dan Canting Mas), beliau selamat karena masuk ke mulut Naga (naga simbol waisnawa) sekta dominan pada saat itu. Menjadi purohito di kerajaan Klungkung, kemudian menyatukan Trimurti menjadi ciwaistik (Ciwa-sadaciwa, Paramaciwa), muncul palinggih Padmasana.
Kelima, Muncul Samradaya resistensi atau transpormasi dari sekta-sekta, aliran kepercayaan sebelum tahun 1000-an. Ini merupakan pergulatan sistem religi, dengan legitimasi Wedha dan Sumber Aslinya India. Kita harus tahu di India pun sudah mengalami pergulatan dengan sistem religi lokal, sehingga kemurnian yang datang dari India juga butuh kekritisan, dan pendalaman secara hati-hati.
3. Prospek Masa Depan Religi di Bali
Pergulatan itu memunculkan hibridasi berbagai sistem religi di masa depan, terutama di era globalisasi. Gerakan kehendak memurnikan (gerakan radikalisme) dalam agama yang sudah berkembang ke era ini, yang latarnya sudah hibridasi dari sistem religi yang ada di Indonesia, sesuatu yang sulit bahkan tidak mungkin dilakukan, karena pemurnian dalam konsep, realitasnya adalah berupa wujud Transpormasi Sistem Religi. Akan menjadi pergulatan sepanjang sejarah menuju pemurnian, tetapi yang terjadi selalu transpormasi, pada gilirannya akan muncul Agama Baru (Sistem Religi baru sebagai reaksi dari yang sudah ada). Contonya dalam Kristen Katolik Vs K.Protestan, Hindu Vs. Bhuda, Jaena, Siks, dan sebagainya. Agama yang paling muda yaitu Islam sangat potensial muncul rekasinyaistem Religi Nabi Muhamad (Muhamad Religion) yang baru, demikian pula agama Hindu sebagai agama tertua tidak mentup kemungkinannya muncul sempalan lain lagi dengan menamakan agama baru, tetapi hakikatnya sama seperti disebutkan dalam kitab suci Hindu "ekam eva satwiprah bhahuda wadanti", Tuhan itu hanya satu orang mengaku tahu (bijak) menyebut banyak nama. Dengan demikian berbeda agama berbeda nama Tuhannya, Berbeda sekata berbeda nama dewanya, berbeda daerah berbeda pula pemaknaannya.
4. Refleksi
Sebagai pelajaran, kekerasan tidak dapat menyelesaikan pertentangan di dalam sebuah sistem religi, Tuhan tidak pernah terbadi walaupun muncul beribu-ribu agama di muka bumi ini, karena agama sesungguhnya merupakan bagian dari peradaban manusia, namun sering menganggap dirinya lebih beradap dari manusia purba prilakunya lebih biadab dari manusia purba. oleh karena itu banyak manusia menggunakan binatang yang bijak sebagai simbol untuk dicontoh dalam kehodupannya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda