Selasa, 13 Februari 2018

RUANG KEBUDAYAAN ERA OTONOMI PERSPEKTIF MULTIKULTURAL





Oleh
I Made Pageh



1. Pendahuluan
            Ruang kebudayaan kita dari Sabang sampai Meraoke, dalam bentangan alam itu masyarakat Indonesia sangat pluralistik, tercermin dari banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia. Tersebar di seluruh wilayah diperkirakan berjumlah  sekitar 656 suku bangsa[1]. Setiap suku bangsa yang tinggal di wilayah tertentu mengembangkan identitas daerahnya tersendiri. Bahkan etnik Bali saja misalnya, mereka memakai pula agama Hindu sebagai identitas etnik. Begitu pula etnik Aceh, tidak bisa dilepaskan dari agama Islam. Agama sebagai identitas etnik, tidak saja dipakai sebagai pedoman bertindak, tetapi yang lebih penting difungsikan pula sebagai atribut kekhasan dari daerah lainnya.
Indonesia dengan bentang alam yang begitu luas, memiliki etnik nusantara yang sangat banyak. Identitas etnik  terlihat dalam bentuk ritual agama, pementasan seni, seni arsitektur dll menjadi sangat bervariasi. Variasi budaya etnik dan penampilan ruang itu memberikan berkah kepada masyarakat lokal khususnya dan Indonesia umumnya. Karena dapat diartikan hal ini merupakan kekayaan kebudayaan yang tidak ternilai harganya. Namun, sesuai dengan hakikat hidup adalah rwabhineda (berdasarkan ajaran Aji Samkya), menyebutkan dua yang berbeda dalam keseimbangan yang harmonis melahirkan kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu,  di balik berkah itu, kemajemukan itu pula mengandung kelemahan, bahkan bias menjadi malapetaka bagi masyarakat kita, karena rawan memunculkan pertentangan, bahkan menuju ke konflik terbuka. Bahkan, bisa menjadi konflik bersifat kronis pada masyarakat pluralis (Nasikun, 1992, 1997). Sifat konflik bisa latent yang sewaktu-waktu bisa bersifat terbuka, seperti terlihat pada kasus Aceh, Ambon, Poso, Sambas, Sampit, Kota Waringin, dll. Karena itulah seperti dikatakan oleh Liddle (2001) bahwa salah satu sumber konflik utama di Indonesia terletak pada perbedaan suku bangsa. Kondisi ini menjadikan masalah utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masalah integrasi nasional (persatuan dan kesatuan), yakni bagaimana menyatukan etnik-etnik yang bertebaran di Indonesia ke dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pencapaian sasaran ini tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang sekali jadi, sesuatu yang terberi, atau jatuh dari langit. Melainkan harus dibentuk, dengan menumbuhkan kesadaran kebangsaan dengan memupuk rasa nasionalisme dari zaman ke zaman secara berkesinambungan (continuity) dari semua komponen bangsa.

2. Strategi Pengembangan Nasionalisme Zaman Orde Baru  
            Pada Era Orde Baru usaha mewujudkan persatuan dan kesatuan dilakukan dengan membuat kebijakan untuk memasyarakatkan pancasila dan UUD 1945 secara sistematis dan intensif. Sasarannya adalah menjamin bahwa loyalitas daerah-daerah, baik dalam bentuk kegiatan politik, ekonomi, kebudayaan dan spembuatan symbol-simbol yang tidak mengakibatkan terjepitnya nasionalisme Indonesia. Begitu pula penilaian terhadap perbedaan dan keragaman dikondisikan agar  tidak mengarah kepada perpecahan (Tirtosudarmo et al., 2001). Pencapaian sasaran ini tidak hanya karena kondisi objektif masyarakat Indonesia yang pluralistik, multietnik atau multikultural, sehingga memendan konflik yang kronis, tetapi juga karena pemerintah memberlakukan  ideologi baru, citra/image yakni ideology pembangunan depelovmentalisme (Fakih, 1996, 1996a).[2] Penerapannya mutlak memerlukan ketertiban dan keamanan agar aneka program pembangunan yang dicanangkan oleh  pemerintah bisa berjalan dengan baik (rust and order). Untuk mewujudkan sasaran itu penguasa Orde Baru menjadikan semboyan persatuan dan kesatuan, demi pembangunan, melanggara Pancasila dan UUD 1945 sebagai senjata pamungkas dalam menjalankan rekayasa sosialnya, yang ternyata berakibat buruk setelah tahun 1998, diuji oleh adanya reformasi (Mulder, 2001).
Konflik yang bersumberkan pada masalah etnisitas dikendalikan ke arah keseimbangan antara sukuisme dengan nasionalisme atau ikatan primordial dengan kecintaan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Untuk itu, pemerintah Orde Baru membina kebudayaan daerah, yang antara lain dipercayakan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lembaga ini berkewajiban membina dan mengarahkan bentuk dan isi ruang kultur lokal agar dapat  berkembang subur, namun tidak sampai menimbulkan disintegrasi naisional. Kebudayaan etnik yang dianggap bisa menimbulkan ancaman bagi integrasi nasional, bisa ditekan atau bahkan dikenakan pelarangan, sebagaimana yang menimpa nasib kebudayaan etnik Tionghoa  (Suryadinata, 1999).
Sebaliknya, untuk mewujudkan kecintaan terhadap bangsa dan tanah air, pemeritah melakukan  nasionalisasi, antara lain dengan memperluas pemakaian simbol-simbol nasional, seperti bahasa Indonesia dan ideologi Pancasila melalui sekolah dan atau media komunikasi kebudayaan, seperti surat kabar, radio,  TV, dll. Namun sayangnya, sebagaimana dikemukakan Mulder (2001) apa yang dilembagakan sebagai budaya nasional, kebanyakan diambilkan dari budaya Jawa. Karena itulah, nasionalisasi pada hakikatnya adalah identik dengan Jawanisasi. Begitu pula ritual politik nasional, misalnya Perayaan HUT Kemerdekaan RI lengkap dengan kewajiban memasang Sang Pusaka Merah Putih, dilembagakan sampai ke pelosok tanah air. Para tokoh pahlawan nasional maupun pahlawan revolusi, diperkenalkan secara luas ke tengah masyarakat (Kuntowijoyo, 2000), dengan tujuan, tidak saja menumbuhkan  kebanggaan nasional, tetapi juga memberikan model bertindak bagi generasi muda, yakni rela berkorban demi kelangsungan hidup bangsa dan tanah air Indonesia. Dengan cara ini maka nasionalisasi - Jawanisasi secara perlahan-lahan menampakan hasilnya, di mana budaya nasional -  Jawa menggantikan budaya lokal, simbol-simbol nasional – Jawa  menggusur simbol lokal (Kuntowijoyo, 2000; Mulder, 2001).
 Selain itu, pemerintah Orde Baru menggunakan pula kebudayaan daerah sebagai sarana bagi penciptaan kondisi yang baik untuk menumbuhkan ekonomi dan teknologi. Karena itu, banyak unsur kebudayaan lokal, misalnya subak di Bali, dipakai sebagai kendaraan bagi penerapan Revolusi Hijau, dengan sasaran meningkatkan kesejahteraan hidup petani. Begitu pula banjar dan lembaga-lembaga tradisional lainnya, dipakai sebagai kendaraan bagi aneka program masuk desa, seperti  KB (Keluarga Berencara), kesehatan,  listrik, WC, dll.[3] Bahkan yang tidak kalah pentingnya, perayaan-perayaan desa pun dipenuhi dengan aneka pesan pembangunan, seperti KB, kesehatan, lingkungan, dll. Karena itu, hampir semua  ruang kutural lokal dimasuki oleh jargon-jargon pembangunan. Kata pembangunan merupakan kata yang paling populer, sebagaimana terlihat dari kemunculannya pada setiap ruang kultural lokal dan wacana publik. Pemakaian kata pembangunan begitu luasnya, sehingga tidak mengherankan jika  mereka yang mengabaikannya, bisa dijangkiti oleh perasaan rendah diri atau bahkan bisa pula mengarah ke rasa bersalah. Orang lain pun bisa merendahkannya, karena  yang bersangkutan dianggap sebagai orang maladaptasi, yakni tidak mampu  menyesuaikan diri dengan keadaan zaman, yakni Zaman Pembangunan.
Tujuan pembangunan adalah identik dengan modernisasi, yakni mengantarkan  masyarakat Indonesia  atau etnik-etnik yang tercakup di dalamnya ke arah masyarakat modern. Kriteria kemodernan adalah kebudayaan Barat, yakni Eropa dan atau Amerika Serikat. Kebijakan ini berimplikasi kultural, yakni memunculkan dokhotomi antara kebudayaan Barat dan Timur (kebudayaan etnik-etnik yang ada di Indonesia) atau kebudayaan modern - tradisional. Pemilahan  ini tidak sekedar berdikhotomi, tetapi disertai pula dengan penilaian, di mana kebudayaan Barat yang berwatak  modern adalah  lebih baik atau lebih unggul sehingga syah diterapkan, sebaliknya kebudayaan etnik yang bersifat  tradisional, adalah  lebih jelek kualitas atau  kalah keunggulannya, sehingga tidak syah diterapkan guna mewujudkan kesejahteraan.
Gagasan serupa ini menimbulkan hegemoni kultur, yakni kultur  modern terhadap kultur tradisional. Hal ini menimbulkan implikasi budaya, yakni penggurusan ruang kultur tradisional,  digantikan dengan ruang kultur modern (Fakih, 2000). Penggusuran itu dilakukan dengan cara membiarkan kebudayaan tradisional  mati secara alamiah dan atau sengaja dirangsang agar lenyap dengan  sendirinya. Akibatnya, banyak kearifan lokal dan atau ethnoscience – pengetahuan rakyat pedesaan  yang di dalamnya mencakup etno-ekologi, ilmu tanah, etno agronomi, etno-botani, etno-medisin, etno-estetik, dll. (Chambers, 1987) lenyap dengan sendirinya. Padahal ethnoscience  semula berfungsi penting pada komunitas  yang bersangkutan, yakni sebagai pedoman bertindak dalam beradaptasi dengan lingkungan alam maupun lingkungan sosial di mana mereka berada.
Bersamaan dengan itu Indonesia memasuki pula era globalisasi, yakni “zaman dimana  manusia benar-benar hidup secara real dan harafiah dalam bumi yang satu” (Sumarthana, 2000: 76). Sejalan dengan itu Indonesia menerima arus manusia, komoditas, uang, ide, dan informasi sdari berbagai penjuru dunia (Lull, 1993). Bahkan, berkat kemajuan media komunikasi kebudayaan, yakni TV, maka arus ide dan informasi dapat masuk langsung sampai ke ruang  tamu. Hal ini, di satu sisi bisa membrikan kemanfaatan yang luar biasa bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia, namun di sisi yang lain bisa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, antara lain  berkembangnya budaya konsumen atau  lahirnya peniruan budaya luar yang belum tentu sesuai dengan sistem budaya lokal maupun budaya nasional. Karena itulah, kebijakan kebudayaan  pada zaman Orde Baru diarahkan pula untuk menetralisir dampak yang tidak diinginkan dari globalisasi. Dalam konteks ini, pengembangan kebudayaan daerah maupun kebudayaan nasional, terutama nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, diharapkan dapat berfungsi sebagai filter budaya, sehingga dampak yang tidak diinginkan dari globalisasi terminimalisasi.
Penerapan aneka kebijakan pada era Orde Baru, baik yang bertalian dengan kebijakan kebudayaan maupun pembangunan dalam arti yang luas, acapkali dilakukan dengan menerapkan dominasi, antara lain berbentuk tindakan kekerasan yang ditujukan terhadap mereka yang  berseberangan dengan pemerintah. Kekerasan yang dilakukan bisa berbentuk kekerasan fisikal, yakni menghukum mereka yang membangkang, atau bisa pula berbentuk kekerasan bahasa, misalnya mereka yang melawan dicap sebagai sisa-sisa PKI, anti Pancasila, subersif, dll. Penerapan dominasi disertai pula dengan hegemoni – membentuk keyakinan ke dalam norma yang berlaku, sehingga  apapun yang diterapkan oleh pemerintah bisa berjalan dengan baik, karena secara normatif apa yang dia lakukan selalu dianggap syah adanya (Hikam, 1996, 1999; Hendarto, 1993).
Walaupun demikian,  protes dari bawah yang ditujukan terhadap kuatnya dominasi dan hegemoni negara, maupun sebagai wujud dari ketidaksukaan mereka terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetap ada, dengan menggunakan ruang kultur lokal yang mereka miliki, yaitu membuat plesetan dari apa yang diproramkan oleh pemerintah. Protes ini   antara lain berbentuk ekspresi lisan, seperti humor, gosip, rumor, plesetan, dll. Dengan mengikuti C.J. Scott (2000) cara-cara protes dengan humor, gosip, plesetan itu merupakan senjatanya orang-orang yang kalah, yakni rakyat, yang tidak mungkin bisa menandangi keperkasaan sang penguasa. Namun, bagaimanapun juga, dengan cara itu mereka pun berkeinginan melakukan kontrol sosial guna memperbaiki situasi sosial yang tidak diinginkan ke arah suatu keadaan yang lebih baik.


3. Semangat Otonomi Daerah 
 Kebijakan kebudayaan yang diterapkan oleh Orde Baru dengan sasaran menyeimbangkan sukuisme dengan nasionalisme di tengah-tengah arus globalisasi, ternyata tidak selamanya berhasil dengan baik. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa  pemerintah amat kuat berpegang pada depelovmentalisme, sehingga ha-hal lain bisa dikorbankan, asalkan tujuan pembangunan bisa diwujudkan, yakni  pertumbuhan ekonomi yang seoptimal mungkin. Dalam konteks inilah ruang kultur lokal sering dikorbankan, misalnya hak rakyat atas tanah maupun hutan dirampas, padahal bagi penduduk lokal, seperti suku Dayak misalnya, hutan adalah sumber kehidupan pokok yang bisa memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Karena itu, kalau hutan hancur maka basis kebudayaan orang Dayak juga mengalami kehancuran yang pada gilirannya mengancam kelangsungan sistem sosiokultural mereka (Florus ed., 1993).
Kondisi itu mengakibatkan munculnya kondisi, bahwa menjelang jatuhnya Orde Baru  protes dari kalangan bawah yang semula lebih banyak menggunakan ekspresi lisan, berubah menjadi ekspresi kekerasan fisik, sebagaimana terlihat pada kasus Aceh, Irian Jaya, Poso, Lampung dll. Dengan mengikuti Geertz (1973)  perlawanan mereka dimotivasi oleh keinginan untuk mencari  identitas budaya yang selama ini dirasakan telah hilang, akibat dari kebijakan budaya yang diterapkanzaman  pemerintah Orde Baru. Penyampaian tuntutan masyarakat disertai dengan ancaman sparatisme atau denasionalisasi, sebagaimana terlihat pada kasus Irian Jaya, Aceh, Riau, dll. Melalui perlawanan itu rakyat daerah itu ingin mengembalikan atau membersihkan ruang budaya dan ruang publik mereka yang selama ini telah dirampas dan atau dicemari oleh berbagai kebijakan yang merugikan pada zaman pemerintah Orde Baru. Perlawanan mereka menjadi lebih hebat karena dikaitkan dengan masalah kesenjangan ekonomi pusat dengan daerah, di mana pusat melimpah ruah, sedangkan daerah terjerat oleh kemiskinan, bahkan busung lapar seperti kasus Timika Irian Jaya. Kasusnya baru menjadi hangat setelah ada pemecatan sebagai tenaga kerja di Freeport asing, dan bahkan ada sampai gorok leher sendiri karena kecewa terhadap situasi yang dialami.
Padahal pemerintah pusat melalui Undang-undang Nomor 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-undang Otonomi Daerah) yang antara lain memberikan hak otonomi  kepada daerah kabupaten dan kota  untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, namun masih tetap  dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah daerah diberikan  berbagai kewenangan, yakni bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja. Dengan kewenangan itu pemerintah daerah diharapkan lebih punya kewenangan dan kemampuan untuk meningkatkan  taraf hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Indikator kesejahteraan, tidak hanya terpenuhinya kebutuhan rakyat atas berbagai barang dan jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia, tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan kualitas diri termasuk di dalamnya sosial-kebudaya, sehingga hakikat manusia sebagai makhluk berbudaya terwujudkan secara optimal. Dengan kata lain pemerintah daerah diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan yang berimbang antara kesejahtraan material dan spiritual berbasis komunitas, yaitu bertumpu kepada kebudayaan lokal.
Undang-undang Otonomi Daerah pada hakikatnya memberikan peluang formal yang seluas-luasnya  bagi  etnik-etnik yang berada di dalam pangkuan NKRI untuk mengembangkan, atau melakukan pencerahan terhadap identitas budaya etnik yang dimiliki.[4] Peluang yang mengembirakan ini  disambut dengan penuh kegairahan oleh berbagai etnik yang ada di Indonesia. Misalnya, etnik Bali memperoleh momentum yang tepat untuk mengembangkan kebudayaan yang mereka miliki, baik sebagai respon atas kuatnya nasionalisasi/Jawanisasi pada era Orde Baru, atau sebagai jawaban atas globalisasi, dengan kedudukan Bali sebagai daerah tujuan wisata (DTW). Dalam konteks inilah Bali menggunakan desa adat sebagai wadah bagi pemeliharaan, pengembangan dan pencerahan kebudayaan Bali, terwujud dalam kebijakan Ajeg Bali. Pemakaian desa Pakraman sebagai basis pengembangan budaya lokal memang memungkinkan, karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh  Undang-undang Otonomi Daerah. Hal ini terlihat misalnya pada tugas yang diemban oleh Kepala Desa, di mana dia antara lain berkewajiban mencipkan kesejahteraan dan kedamaian. Sejalan dengan itu diapun berhak sebagai petugas yang mendamaikan perselisihan yang muncul di desanya, sehingga kedamaian tetap bisa diwujudkan. Penyelenggaraan tugas-tugas tersebut tentu  tidak terlepas dari rambu-rambu budaya yang berlaku. Karena itulah, menjadi kewajiban bagi Kepala Desa untuk menumbuhkembangkan kebudayaan yang mereka miliki agar kedamaian lahir-batin di kalangan warganya bisa diwujudkan secara berkelanjutan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, di setiap desa dibentuk pula Badan Perwakilan Desa yang antara lain berfungsi mengayomi adat istiadat dan membuat peraturan desa. Peraturan yang mereka rumuskan .tentu harus sejalan atau bahkan meletakkan sendi-sendi yang kokoh bagi kebertahanan  sistem budaya yang mereka anut. Adat-istiadat yang berlaku di suatu desa tidak saja wajib ditaati oleh warganya, tetapi juga oleh pemerintah daerah. Karena Undang-undang menggariskan bahwa peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul dan adat-istiadat daerah di Indonesia.
Pencapaian sasaran itu mutlak  memerlukan sumber daya ekonomi. Karena, bagaimanapun juga, kelangsungan hidup suatu kebudayaan tidak terlepas dari basis ekonomi.  Dalam konteks inilah berbagai daerah di Indonesia berlomba-lomba menuntut agar diberikan hak atas pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerahnya, dengan sasaran agar bisa lebih berkomitmen untuk mensejahterakan warga lokal. Tututan ini sah-sah saja, tidak saja berdasarkan pengalaman bahwa pengelolaan sumber daya alam yang selama ini disentralisir oleh pusat kurang memberikan kemanfaatan kepada masyarakat lokal, tetapi juga karena pengembangan kebudayaan lokal dalam segala aspeknya, mutlak memerlukan basis ekonomi. Dalam kaitan inilah timbul gagasan bahwa sumber daya ekomoni yang ada di wiliyahnya, harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan lokal, sisanya barulah diserahkan ke pusat.

4. Etnosentrime dalam Bingkai Nasional
Kebijakan kebudayaan yang digariskan dalam  Undang-undang Otonomi Daerah lebih mengarah kepada pemberdayaan masyarakat lokal dalam segala aspeknya, termasuk bidang kebudayaan. Dalam kaitan ini kebudayaan lokal tidak lagi ditempatkan sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai sumber daya bagi pembangunan yang harus dipedomani dan sekaligus diberdayakan, sehingga masyarakat lokal berkembang di atas basis kebudayaannya sendiri. Gagasan ini memperoleh sambutan positif dari berbagai etnik, namun apa yang mereka lakukan  ternyata menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Karena, pengembangan budaya yang mereka lakukan diwarnai oleh etnosentrisme, yakni kecenderungan memandang orang atau etnik lain dengan menggunakan ukuran kebudayaan etnik kita sendiri (Bennett, 1990). Kebudayaan sendiri biasanya dianggap paling baik, sedangkan kebudayaan orang lain adalah sebaliknya. Kehadiran orang lain di dalam wilayah budaya kita, acapkali dicurigai mengotori kebudayaan kita, apalagi kalau hal itu memang benar-benar  terjadi, maka etnosentrisme bisa mengarah kepada xenophobia, yakni antipati terhadap etnik lainnya. Kasus inilah yang terjadi di Sambas maupun Sampit, di mana kehadiran etnik Madura dianggap mencemari ruang budayanya. Kemarahan orang Dayak menjadi bertambah hebat karena mereka dianggap pula merampas ruang ekonomi yang mereka miliki, sehingga mereka menjadi termarginalisasi (Matulada, 1999; Pelly, 1999; Alqadrie, 1999). Begitu pula ledakan kecil yang terjadi Bali, yakni kasus Kuta dan Benoa, di mana terjadi penertiban terhadap pendatang yang nyata-nyata dianggap mencemari kebudayaan Bali, karena mereka melakukan kegiatan sebagai pelacur, penghuni rumah kumuh, pencuri, pencopet, dll. Begitu pula pada setiap ujung jalan  masuk ke suatu desa, banyak dijumpai papan pemberitahuan yang berbunyi: “Pemulung dilarang masuk!”. Hal ini merupakan pula reaksi budaya, dalam artian, orang Bali ingin mempertahankan ruang kulturnya secara baik, tanpa ada gangguan dari orang lain yang tidak jelas indentitas budayanya (Atmadja, 2000).
Etnosentrisme dengan berbagai perilaku yang menyertainya, memang  merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang multibudaya. Namun, sebagaimana yang digariskan pada Undang-undang Otonomi Daerah, etnosentrisme tidak bisa dilepas begitu saja, melainkan  harus tetap berada dalam bingkai nasionalisme, dalam artian, setiap daerah bisa mengembangkan ruang-ruang kulturnya secara baik, namun mereka harus tetap berada di bawah naungan NKRI, sebagaimana tercermin dari kewajiban mereka untuk mengakui dan memakai apa yang menjadi simbol-simbol nasional. Hal ini antara lain dapat ditunjukkan dari Undang-undang Otonomi Daerah, antara lain menyatakan bahwa DPRD berkewajiban mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI dan juga mengamalkan Pancasila dan UUD 45, serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini bermakna bahwa DPRD sebagai wakil rakyat, selain harus berorientasi kedaerahan, dia harus pula berorientasi kenasionalan, dalam artian, apa yang dilakukannya, misalnya dalam bentuk kegiatan merumuskan peraturan daerah, tidak boleh melanggar simbol-simbol nasional.
Dengan demikian, di era otonomi saat ini, pengembangan budaya lokal diberikan ruang gerak yang lebih leluasa. Hal ini merupakan titik balik dari apa yang berlangsung pada era Orde Baru. Pada saat itu, terjadi kebijakan kebudayaan yang sentralistik yang lebih menekankan pada nasionalisasi/Jawanisasi, sehingga ruang kultur lokal menjadi terbatas, bahkan tercemari. Namun saat ini, kebijakan kebudayaan yang diterapkan lebih mengarah kepada otonomi, dengan sasaran terbentuknya suatu keseimbangan antara nasionalisasi dan regionalisasi. Gagasan ini tidak semat-mata untuk menekan kemunculan perlawanan budaya yang dilakukan oleh etnik-etnik yang bernaung di dalam wadah NKRI, tetapi tidak bisa pula dilepaskan dari cita-cita untuk mewujudkan Indonesia Baru, yakni sivil society, masyarakat sipil, masyarakat madani atau masyarakat kewarganegaraan. Dalam masyarakat sipil ada dua hal yang amat ditekankan, yakni pertama, hak-hak sipil dan kedua, civic culture (Sihaan, 2000).

5. Agama Sebagai Bingkai Pengembangan Budaya
            Dalam rangka menetralisir dampak yang tidak diinginkan dari otonomi budaya, yakni over-etnosentrisme yang bisa melahirkan dominasi budaya atau bahkan konflik antaretnik, maka agama bisa memainkan peranan amat penting. Karena, agama tidak hanya memuat tata aturan atau kaidah-kaidah tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan – hubungan vertikal, tetapi juga tata aturan tentang hubungan antarmanusia – hubungan horizontal. Selain itu, agama memiliki otoritas normatif yang paling tinggi daripada norma-norma lainnya, sehingga daya dorong untuk melakukan suatu kebajikan, begitu pula  daya tangkal untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pengembangan budaya maupun hubungan antarbudaya dalam masyarakat majemuk  menjadi sangat ampuh. Belum terhitung lagi adanya kenyataan bahwa agama terjalin luas dalam segala aspek kehidupan manusia, sehingga di segala aktivitas manusia agama bisa berfungsi sebagai bingkai moralnya. Sejalan dengan itu ada beberapa misi yang bisa dikembangkan oleh agama-agama yang hidup di Indonesia, diuraikan lebih lanjut.
(1)   Misi Solidaritas, pandangan Baum (1999) misi utama agama yang harus dikembangkan adalah missi solidaritas antarumat beragama. Sebagai akibat dari dari adanya kehetroginitas agama dan sukubangsa masyarakat Indonesia, berupa fakta yang  tidak terbantahkandan tidak mungkin dapat diipungkiri. Karena itu Coward (1996) menyatakan bahwa kehidupan agama  dunia di masa depan,  bukan terletak pada dominasinya, tetapi pada sejauh mana agama-agama itu mampu toleran atas azas multikulturalisme dan pluralisme itu. Di Indonesia, secara tegas digariskan dalam semboyan bhineka tunggal ika, pada lambang negara Garuda Pancasila yang bermakna bahwa integrasi nasional yang ditegakkan adalah masyarakat yang berlandaskan keberagaman dalam ketunggalikaan di Indonesia.
                  Dalam konteks itu, agama-agama yang ada di Indonesia perlu menggali dalam teks-teks sucinya kaidah-kaidah fundamental yang bersifat koordinatif untuk dijadikan landasan menumbuhkembangkan keyakinan, pikiran, dan perilaku yang menghargai perbedaan dalam kebersamaan (unity in diversity). Agama Hindu misalnya sangat menghargai perbedaan dengan ajaran tat twam asinya,  memberikan  landasan yang kokoh untuk menumbuhkan kesadaran hakiki tentang persamaan,  perbedaan, dan persaudaraan universal. Gagasan serupa dengan ini pada agama lain  perlu dilembagakan di kalangan umatnya masing-masing, sehingga agama tidak berbalik justru berfungsi sebagai faktor disintegrasi utama dan mengembangkan kita dan mereka, tetapi diharapkan agama bisa menumbuhkembangkan solidaritas lintasbudaya, lintasagama maupun lintasetnik. Dengan demikian pluralisme dapat hidup berdampingan sebagaimana kecendrungan dunia di masa depan. Dengan perkembangan teknologi telekomunikasi, tidak ada jarak lagi untuk berkomunikasi dalam lintas pluralitas kehidupan di dunia ini (borderless in globel village).
                  Pencapaian solidaritas sosial lintasagama tidak hanya memerlukan penanaman nilai-nilai keagamaan yang menghargai pluralisme, tetapi memerlukan pula dialog antaragama secara kontinyu. Dialog menurut Mukti Ali dikutip oleh Sabri (1999: 168) menyatakan berupa pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk agama. Dialog adalah komunikasi antara orang-orang yang percaya pada tingkat agama. Yang dapat menjadi jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerja sama menyangkut kepentingan bersama. Ia merupakan pertemuan antarpemeluk agama, tanpa ada merasa tinggi-rendah, dan tujuan yang dirahasiakan, di antara mereka.
                  Dialog tidak selamanya hanya dapat diwujudkan dalam suatu pertemuan formal, melainkan dialog bisa pula dalam keseharian pada lingkungan dekat, pada tetangga, kawan sekampung, sedesa, sekerja. (Suseno, 2000). Dengan penanaman nilai-nilai pluralistik bersumberkan pada agama, ditambah dialog antaragama, maka cita-cita mewujudkan warga berkebudayaan (civic culture) sebagai salah satu persyaratan terbentuknya masyarakat sipil, secara otomatis dapat terisi.

(2)   Misi Emansipatoris, pengembangan budaya, termasuk di dalamnya penanaman nilai-nilai solidaritas lintasagama maupun lintasetnik, harus disertai dengan missi emamsipatoris. Dalam artian, agama tidak saja berkewajiban menanamkan nilai-nilai kemuliaan, tetapi sekaligus pula mampu membebaskan manusia dari kemiskinan budi. Karena kemiskinan budi bisa merusak budaya yang berlangsung dalam suatu komunitas sosial.
 Pembebasan manusia dari kemiskinan budi harus terus diusahakan, mengingat bahwa dalam agama Hindu misalnya, dijelaskan bahwa di dalam diri manusia selalu terdapat Tri Guna, yakni sattwam, rajas dan tammas, sehingga manusia bisa bersifat ketuhanan (sattwam), hewani (tammas), dan duniawi (rajas) (Zaehner, 1992; Mudiarcana, 1992). Begitu pula dalam agama Islam diajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dua dimensi, yakni dimensi malakuti atau kemalaikatan dan dimensi hewani, sehingga manusia berkencenderungan berperilaku mulia atau sebaliknya (Mazhahiri, 2000). Sejalan dengan itu maka tugas agama adalah mengemansipasikan manusia dari sifat-sifat-sifat kebinatangan maupun kelobaan akan benda-benda keduniawian, sehingga yang muncul adalah sifat-sifat yang sattwam maupun kemalaikatan. Untuk itu, agama tidak saja harus berkemampuan mengkritik masyarakat, tetapi juga siap dikritik oleh masyarakat, sehingga fungsi agama sebagai pedoman hidup atau resep bertindak dalam kehidupan bermasyarakat, bisa fungsional secara berkelanjutan. Kalau hal ini bisa diwujudkan, maka terlahirlah kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga masyarakat menjadi damai dan sejahtera.

6.  Harmonisasi Nilai Moralitas Pribadi dan Sosial Publik
             Penanaman nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya nilai-nilai solidaritas tidak boleh berhenti hanya pada pembentukan etika pribadi, tetapi yang lebih penting harus menyentuh aspek etika sosial publik. Dalam artian, nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama-agama, harus diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, tidak hanya ketika berhadapan dengan warga seetnik maupun seagama, tetapi juga berdimensi lintasetnik, lintasbudaya, maupun lintasagama. Pengamalan itu dilakukan dengan cara menyatukan pikiran, perkataan dan perbuatan aktual di dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Dengan demikian, akan terbentuk keselarasan antara moralitas pribadi dengan etika sosial. Hal ini amat penting, mengingat manusia tidak hanya semata-mata sebagai makhluk individual, tetapi juga sebagai makhluk sosial.
6. Penutup
            Sebagaimana dipaparkan pada uraian terdahulu bahwa pada era Orde Baru diterapkan kebijakan kebudayaan yang sentralistik dengan arah lebih menekankan pada persatuan dan kesatuan, atau nasionalisasi dengan arah yang berkecenderungan pada Jawanisasi. Di era otonomi saat ini, ada pembalikan, di mana masyarakat daerah diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kebudayaannya, sehingga diharapkan terbentuk suatu masyarakat yang damai dengan berbasiskan pada sumber daya lokal, baik sumber daya ekonomi maupun sumber daya budaya. Walaupun demikian, mereka tetap harus berada dalam bingkai NKRI yang berasaskan bhineka tunggal ika. Untuk mewujudkan sasaran ini, dan sekaligus untuk menangkal dampak yang tidak diinginkan dari adanya otonomi budaya, maka agama bisa memberikan sumbangan yang sangat berharga. Dalam kaitan ini agama bisa berfungsi sebagai bingkai moralitasnya, sehingga kebudayaan yang dikembangkan pada setiap daerah memiliki kebermaknaan di lihat dari segi agama.


DAFTAR PUSTAKA

Alqadrie, 1999. “Konflik Etnis di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis”. Jurnal Antroplogi Indonesia, XXIII, No. 58. Halaman 36-55.

Bennett, M.J. 1990. “Mengatasi Kaidah Emas: Simpati dan Empati”. Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat ed. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Halaman 76-99.

Baum, G. 1999. Agama dalam Bayang-bayang Relativisme Sebuah Analisis Sosiologis Pengetahuan Karl Mannheim tentang Sistese Kebenaran Historis – Normatif. (A.M. Chaeri Penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Chambers, R. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. (Pepep Sudradjat Penerjemah). Jakarta: LP3ES.

Fakih. M. 1996. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. (Muhammad Miftahudin Penerjemah). Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Fakih, M. 1996a. “Agama dan Proses Demokratisasi di Indonesia, Suatu Analisis Kritis”. Dalam Eko Prasetyo ed., Nasionalisme Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 36-76.

Fakih, M. 2000. “Tinjauan Kritis terhadap Revolusi Hijau”. Dalam Dadang Juliantara ed., Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat Emansipasi dan Demokrasi dari Desa. Jakarta: Lapera Pustaka Utama. Halaman 3-22.

Florus, P. ed., 1993. Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Trasnformasi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.

Geertz C.1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books, Inc.

Hendarto, H. 1993. “Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci”. Dalam Tim Redaksi Driyarkara ed., Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Halaman 66-88.

Hidayah, Z. 1977. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Hikam, M.A.S. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.

Hikam, M.A.S. 1999. Politik Kewarganegaraan Landasan Redemokratisasi di Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Imarah, M. 1999. Islam dan Pluralistas Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. (Abdul Hayyie Al-Kattanie (Penerjemah). Jakarta: Gema Insani Press.

Kuntowijoyo. 2000. “Desa dalam Perspektif Perubahan Sosial”. Dalam Dadang Juliantara ed., Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat Emansipasi dan Demokratisasi dari Desa. Yogyakarta: Lapera. Halaman 107-116.

Kusumo, B. 2000. “Merebut Makna, Membangun Ruang Publik”. Dalam Dadang Juliantara ed., Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat Emansipasi dan Demokratisasi dari Desa. Yogyakarta: Lapera. Halaman 161-179. 

Liddle, W. 2001. “Tiga Observasi Sederhana”. Kompas, Rabu, 23 April 2001. Halaman 4.

Lull, J.1993. Media Komunikasi Kebudayaan Suatu Pendekatan Global. (A. Setiawan Abadi Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Matulada, 1999. H.A. “Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia: Prospek Budaya Politik Abad ke-21”. Jurnal Antroplogi Indonesia, XXIII, No. 58. Halaman 5-12.

Mazhahari, H. 2000. Mengendalikan Naluri Ajaran Islam dalam Mengatasi Gejolak Kencenderungan Alamiah Manusia. (Iwan Kurniawan Penerjemah). Jakarta: Lentera.

Mudiarcana, ING. 1992. “Kepribadian Hindu dan Pembangunan Masa Depan”. Dalam Putu Setia ed. Cedekiawan Hindu Bicara. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Halaman 70-87.

Mulder, N. 2001. Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia. (Noor Cholis Penerjemah). Yogyakarta: LKiS.

Nasukun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Ralawali Pers.

Nasikun. 1997. “Pembangunan dan Dinamika Integrasi Nasional dalam Masyarakat Majemuk”. Dalam Eko Prasetyo ed., Nasionalisme Refleksi Kritis Kaum Ilmiah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 3-12.

Pelly, U. 1999. “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia”. Jurnal Antroplogi Indonesia, XXIII, No. 58. Halaman 27-35.

Rahardjo, Ch. P. 1996. “Dinamika Plesetan Jawa Sebuah Konstruk Anekdotis Politik”. Prisma, XXV, Nomor 1. Halaman 12-22.

Sabri, M. 1999. Keberagamaan yang Saling Menyapa Perspektif Filsafat Perenial. Yogyakarta: Ittaqa Press.

Scott. J. C. 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah. (A. Rachman Zainuddin Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sihaan, H. 2000. “Warga Negara dan Hegemoni Negara”. Dalam Mohammad Nastain ed. Fiqih Kewarganegaraan Intervensi Agama-agama terhadap Masyarakat Sipil. Jakarta: PB-PMII. Halaman 69-78.

Sudagung, H.S. 2001. Mengurai Pertikaian Etnis Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat. Yogyakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Sumarthana, Th. 2000. “Kebangkitan Agama dalam Era Globalisasi”. Dalam Th. Sumarthana ed. Reformasi Politik Kebangkitan Agama dan Konsumerisme. Yogyakarta: Institut Dian. Halaman 75-84.

Suryadinata, L. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES.

Tirtosudarmo, R. ed. 2001. Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-undang Otonomi Daerah. Bandung: Penerbit Pratama.

Zaehner, R.C. 1992. Kebijakan dari Timur Beberapa Aspek Pemikiran Hindu.  (A. Sudiarja Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



[1] Jumlah suku bangsa di Indonesia  ada berbagai variasi angka. Hal ini dapat dilihat pada Soerjono Soekanto. 1983. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali.
[2] Pemakaian istilah developmentalisme sebagai agama baru, berkaitan dengan kepercayaan negara-negara sedang berkembang bahwa pembangunan merupakan strategi yang paling ampuh guna mengatasi  masalah yang mereka hadapi, sebagamana halnya dengan agama yang mereka anut.
[3] Keunggulan lembaga tradisional dalam menyukseskan program modernisasi desa diakui oleh berbagai pihak. Karena itu, lembaga tradisional tidak selamanya merupakan penghambat  pembangunan, tetapi bisa pula merupakan sumberdaya bagi  pembangunan.
[4] Di Indonesia suku bangsa terkait dengan lokalitas,  misalnya suku Jawa dengan pulau Jawa, suku Aceh dengan daerah Aceh, dll. Hal ini berarti bahwa pembangunan daerah pada hakikatnya terkait pula dengan peningkatan kesejahteraan suku bangsa yang bersangkutan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda