RUANG KEBUDAYAAN ERA OTONOMI PERSPEKTIF MULTIKULTURAL
Oleh
I
Made Pageh
1. Pendahuluan
Ruang kebudayaan kita dari Sabang sampai Meraoke, dalam bentangan alam itu
masyarakat Indonesia sangat pluralistik,
tercermin dari banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia. Tersebar di seluruh
wilayah diperkirakan berjumlah sekitar
656 suku bangsa[1]. Setiap suku bangsa yang tinggal di wilayah tertentu mengembangkan
identitas daerahnya tersendiri. Bahkan etnik Bali saja misalnya, mereka memakai
pula agama Hindu sebagai identitas etnik. Begitu pula etnik Aceh, tidak bisa
dilepaskan dari agama Islam. Agama sebagai identitas etnik, tidak saja dipakai
sebagai pedoman bertindak, tetapi yang lebih penting difungsikan pula sebagai
atribut kekhasan dari daerah lainnya.
Indonesia dengan bentang alam yang
begitu luas, memiliki etnik nusantara yang sangat banyak. Identitas etnik terlihat dalam bentuk
ritual agama, pementasan seni, seni arsitektur dll menjadi sangat bervariasi. Variasi budaya etnik dan penampilan
ruang itu memberikan berkah kepada masyarakat lokal khususnya dan Indonesia umumnya.
Karena dapat diartikan hal ini merupakan kekayaan kebudayaan yang tidak
ternilai harganya. Namun, sesuai dengan hakikat hidup adalah rwabhineda (berdasarkan ajaran Aji Samkya), menyebutkan dua yang berbeda dalam
keseimbangan yang harmonis melahirkan kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, di balik berkah itu, kemajemukan itu pula mengandung
kelemahan, bahkan bias menjadi malapetaka bagi masyarakat kita, karena rawan memunculkan
pertentangan, bahkan menuju ke konflik terbuka. Bahkan, bisa menjadi konflik
bersifat kronis pada masyarakat pluralis (Nasikun, 1992, 1997). Sifat konflik bisa
latent yang sewaktu-waktu bisa bersifat
terbuka, seperti terlihat pada kasus Aceh, Ambon, Poso, Sambas, Sampit, Kota
Waringin, dll. Karena itulah seperti dikatakan oleh Liddle (2001) bahwa salah
satu sumber konflik utama di Indonesia terletak pada perbedaan suku bangsa.
Kondisi ini menjadikan masalah utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah
masalah integrasi nasional (persatuan dan kesatuan), yakni bagaimana menyatukan
etnik-etnik yang bertebaran di Indonesia ke dalam suatu wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pencapaian sasaran ini tidak boleh dianggap sebagai sesuatu
yang sekali jadi, sesuatu yang terberi, atau jatuh dari langit. Melainkan harus
dibentuk, dengan menumbuhkan kesadaran kebangsaan dengan memupuk rasa
nasionalisme dari zaman ke zaman secara berkesinambungan (continuity) dari semua komponen bangsa.
2. Strategi
Pengembangan Nasionalisme Zaman Orde Baru
Pada Era Orde Baru usaha
mewujudkan persatuan dan kesatuan dilakukan dengan membuat kebijakan untuk
memasyarakatkan pancasila dan UUD 1945 secara sistematis dan intensif.
Sasarannya adalah menjamin bahwa loyalitas daerah-daerah, baik dalam bentuk
kegiatan politik, ekonomi, kebudayaan dan spembuatan symbol-simbol yang tidak
mengakibatkan terjepitnya nasionalisme Indonesia. Begitu pula penilaian
terhadap perbedaan dan keragaman dikondisikan agar tidak mengarah kepada perpecahan (Tirtosudarmo
et al., 2001). Pencapaian sasaran ini
tidak hanya karena kondisi objektif masyarakat Indonesia yang pluralistik,
multietnik atau multikultural, sehingga memendan konflik yang kronis, tetapi
juga karena pemerintah memberlakukan
ideologi baru, citra/image yakni ideology
pembangunan depelovmentalisme (Fakih,
1996, 1996a).[2] Penerapannya mutlak memerlukan ketertiban dan keamanan
agar aneka program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah bisa berjalan dengan baik (rust
and order). Untuk mewujudkan sasaran itu penguasa Orde Baru menjadikan semboyan
persatuan dan kesatuan, demi pembangunan, melanggara Pancasila dan UUD 1945
sebagai senjata pamungkas dalam menjalankan rekayasa sosialnya, yang ternyata
berakibat buruk setelah tahun 1998, diuji oleh adanya reformasi (Mulder, 2001).
Konflik yang bersumberkan pada masalah
etnisitas dikendalikan ke arah keseimbangan antara sukuisme dengan nasionalisme
atau ikatan primordial dengan kecintaan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Untuk itu, pemerintah Orde Baru membina kebudayaan daerah, yang
antara lain dipercayakan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lembaga
ini berkewajiban membina dan mengarahkan bentuk dan isi ruang kultur lokal agar
dapat berkembang subur, namun tidak
sampai menimbulkan disintegrasi naisional. Kebudayaan etnik yang dianggap bisa
menimbulkan ancaman bagi integrasi nasional, bisa ditekan atau bahkan dikenakan
pelarangan, sebagaimana yang menimpa nasib kebudayaan etnik Tionghoa (Suryadinata, 1999).
Sebaliknya, untuk mewujudkan kecintaan
terhadap bangsa dan tanah air, pemeritah melakukan nasionalisasi, antara lain dengan memperluas
pemakaian simbol-simbol nasional, seperti bahasa Indonesia dan ideologi
Pancasila melalui sekolah dan atau media komunikasi kebudayaan, seperti surat
kabar, radio, TV, dll. Namun sayangnya,
sebagaimana dikemukakan Mulder (2001) apa yang dilembagakan sebagai budaya
nasional, kebanyakan diambilkan dari budaya Jawa. Karena itulah, nasionalisasi
pada hakikatnya adalah identik dengan Jawanisasi. Begitu pula ritual politik
nasional, misalnya Perayaan HUT Kemerdekaan RI lengkap dengan kewajiban
memasang Sang Pusaka Merah Putih, dilembagakan sampai ke pelosok tanah air.
Para tokoh pahlawan nasional maupun pahlawan revolusi, diperkenalkan secara luas
ke tengah masyarakat (Kuntowijoyo, 2000), dengan tujuan, tidak saja
menumbuhkan kebanggaan nasional, tetapi
juga memberikan model bertindak bagi generasi muda, yakni rela berkorban demi
kelangsungan hidup bangsa dan tanah air Indonesia. Dengan cara ini maka
nasionalisasi - Jawanisasi secara perlahan-lahan menampakan hasilnya, di mana
budaya nasional - Jawa menggantikan
budaya lokal, simbol-simbol nasional – Jawa
menggusur simbol lokal (Kuntowijoyo, 2000; Mulder, 2001).
Selain itu, pemerintah Orde Baru menggunakan
pula kebudayaan daerah sebagai sarana bagi penciptaan kondisi yang baik untuk
menumbuhkan ekonomi dan teknologi. Karena itu, banyak unsur kebudayaan lokal,
misalnya subak di Bali, dipakai sebagai kendaraan bagi penerapan Revolusi
Hijau, dengan sasaran meningkatkan kesejahteraan hidup petani. Begitu pula banjar dan lembaga-lembaga tradisional
lainnya, dipakai sebagai kendaraan bagi aneka program masuk desa, seperti KB (Keluarga Berencara), kesehatan, listrik, WC, dll.[3] Bahkan yang tidak kalah pentingnya, perayaan-perayaan
desa pun dipenuhi dengan aneka pesan pembangunan, seperti KB, kesehatan,
lingkungan, dll. Karena itu, hampir semua ruang kutural lokal dimasuki oleh
jargon-jargon pembangunan. Kata pembangunan merupakan kata yang paling populer,
sebagaimana terlihat dari kemunculannya pada setiap ruang kultural lokal dan
wacana publik. Pemakaian kata pembangunan begitu luasnya, sehingga tidak
mengherankan jika mereka yang
mengabaikannya, bisa dijangkiti oleh perasaan rendah diri atau bahkan bisa pula
mengarah ke rasa bersalah. Orang lain pun bisa merendahkannya, karena yang bersangkutan dianggap sebagai orang
maladaptasi, yakni tidak mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan zaman, yakni Zaman Pembangunan.
Tujuan
pembangunan adalah identik dengan modernisasi, yakni mengantarkan masyarakat Indonesia atau etnik-etnik yang tercakup di dalamnya ke
arah masyarakat modern. Kriteria kemodernan adalah kebudayaan Barat, yakni
Eropa dan atau Amerika Serikat. Kebijakan ini berimplikasi kultural, yakni
memunculkan dokhotomi antara kebudayaan Barat dan Timur (kebudayaan etnik-etnik
yang ada di Indonesia) atau kebudayaan modern - tradisional. Pemilahan ini tidak sekedar berdikhotomi, tetapi
disertai pula dengan penilaian, di mana kebudayaan Barat yang berwatak modern adalah
lebih baik atau lebih unggul sehingga syah diterapkan, sebaliknya
kebudayaan etnik yang bersifat
tradisional, adalah lebih jelek
kualitas atau kalah keunggulannya,
sehingga tidak syah diterapkan guna mewujudkan kesejahteraan.
Gagasan serupa ini menimbulkan hegemoni
kultur, yakni kultur modern terhadap
kultur tradisional. Hal ini menimbulkan implikasi budaya, yakni penggurusan
ruang kultur tradisional, digantikan
dengan ruang kultur modern (Fakih, 2000). Penggusuran itu dilakukan dengan cara
membiarkan kebudayaan tradisional mati
secara alamiah dan atau sengaja dirangsang agar lenyap dengan sendirinya. Akibatnya, banyak kearifan lokal
dan atau ethnoscience – pengetahuan
rakyat pedesaan yang di dalamnya mencakup etno-ekologi, ilmu
tanah, etno agronomi, etno-botani, etno-medisin, etno-estetik, dll. (Chambers,
1987) lenyap dengan sendirinya. Padahal ethnoscience semula berfungsi penting pada komunitas yang bersangkutan, yakni sebagai pedoman
bertindak dalam beradaptasi dengan lingkungan alam maupun lingkungan sosial di
mana mereka berada.
Bersamaan dengan itu Indonesia
memasuki pula era globalisasi, yakni “zaman dimana manusia benar-benar hidup secara real dan
harafiah dalam bumi yang satu” (Sumarthana, 2000: 76). Sejalan dengan itu
Indonesia menerima arus manusia, komoditas, uang, ide, dan informasi sdari
berbagai penjuru dunia (Lull, 1993). Bahkan, berkat kemajuan media komunikasi
kebudayaan, yakni TV, maka arus ide dan informasi dapat masuk langsung sampai
ke ruang tamu. Hal ini, di satu sisi
bisa membrikan kemanfaatan yang luar biasa bagi pemenuhan kebutuhan hidup
manusia, namun di sisi yang lain bisa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan,
antara lain berkembangnya budaya
konsumen atau lahirnya peniruan budaya
luar yang belum tentu sesuai dengan sistem budaya lokal maupun budaya nasional.
Karena itulah, kebijakan kebudayaan pada
zaman Orde Baru diarahkan pula untuk menetralisir dampak yang tidak diinginkan
dari globalisasi. Dalam konteks ini, pengembangan kebudayaan daerah maupun
kebudayaan nasional, terutama nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
diharapkan dapat berfungsi sebagai filter budaya, sehingga dampak yang tidak
diinginkan dari globalisasi terminimalisasi.
Penerapan aneka kebijakan pada era
Orde Baru, baik yang bertalian dengan kebijakan kebudayaan maupun pembangunan
dalam arti yang luas, acapkali dilakukan dengan menerapkan dominasi, antara
lain berbentuk tindakan kekerasan yang ditujukan terhadap mereka yang berseberangan dengan pemerintah. Kekerasan yang
dilakukan bisa berbentuk kekerasan fisikal, yakni menghukum mereka yang
membangkang, atau bisa pula berbentuk kekerasan bahasa, misalnya mereka yang
melawan dicap sebagai sisa-sisa PKI, anti Pancasila, subersif, dll. Penerapan
dominasi disertai pula dengan hegemoni – membentuk keyakinan ke dalam norma
yang berlaku, sehingga apapun yang
diterapkan oleh pemerintah bisa berjalan dengan baik, karena secara normatif
apa yang dia lakukan selalu dianggap syah adanya (Hikam, 1996, 1999; Hendarto,
1993).
Walaupun demikian, protes dari bawah yang ditujukan terhadap
kuatnya dominasi dan hegemoni negara, maupun sebagai wujud dari ketidaksukaan
mereka terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetap ada, dengan
menggunakan ruang kultur lokal yang mereka miliki, yaitu membuat plesetan dari
apa yang diproramkan oleh pemerintah. Protes ini antara lain berbentuk ekspresi lisan,
seperti humor, gosip, rumor, plesetan, dll. Dengan mengikuti C.J. Scott (2000)
cara-cara protes dengan humor, gosip, plesetan itu merupakan senjatanya
orang-orang yang kalah, yakni rakyat, yang tidak mungkin bisa menandangi
keperkasaan sang penguasa. Namun, bagaimanapun juga, dengan cara itu mereka pun
berkeinginan melakukan kontrol sosial guna memperbaiki situasi sosial yang
tidak diinginkan ke arah suatu keadaan yang lebih baik.
3. Semangat
Otonomi Daerah
Kebijakan kebudayaan yang diterapkan oleh Orde
Baru dengan sasaran menyeimbangkan sukuisme dengan nasionalisme di
tengah-tengah arus globalisasi, ternyata tidak selamanya berhasil dengan baik.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa pemerintah amat kuat berpegang pada depelovmentalisme, sehingga ha-hal lain
bisa dikorbankan, asalkan tujuan pembangunan bisa diwujudkan, yakni pertumbuhan ekonomi yang seoptimal mungkin.
Dalam konteks inilah ruang kultur lokal sering dikorbankan, misalnya hak rakyat
atas tanah maupun hutan dirampas, padahal bagi penduduk lokal, seperti suku
Dayak misalnya, hutan adalah sumber kehidupan pokok yang bisa memenuhi segala
kebutuhan hidup mereka. Karena itu, kalau hutan hancur maka basis kebudayaan
orang Dayak juga mengalami kehancuran yang pada gilirannya mengancam kelangsungan
sistem sosiokultural mereka (Florus ed.,
1993).
Kondisi itu mengakibatkan munculnya
kondisi, bahwa menjelang jatuhnya Orde Baru
protes dari kalangan bawah yang semula lebih banyak menggunakan ekspresi
lisan, berubah menjadi ekspresi kekerasan fisik, sebagaimana terlihat pada
kasus Aceh, Irian Jaya, Poso, Lampung dll. Dengan mengikuti Geertz (1973) perlawanan mereka dimotivasi oleh keinginan
untuk mencari identitas budaya yang
selama ini dirasakan telah hilang, akibat dari kebijakan budaya yang diterapkanzaman
pemerintah Orde Baru. Penyampaian
tuntutan masyarakat disertai dengan ancaman sparatisme atau denasionalisasi,
sebagaimana terlihat pada kasus Irian Jaya, Aceh, Riau, dll. Melalui perlawanan
itu rakyat daerah itu ingin mengembalikan atau membersihkan ruang budaya dan
ruang publik mereka yang selama ini telah dirampas dan atau dicemari oleh
berbagai kebijakan yang merugikan pada zaman pemerintah Orde Baru. Perlawanan
mereka menjadi lebih hebat karena dikaitkan dengan masalah kesenjangan ekonomi
pusat dengan daerah, di mana pusat melimpah ruah, sedangkan daerah terjerat
oleh kemiskinan, bahkan busung lapar seperti kasus Timika Irian Jaya. Kasusnya
baru menjadi hangat setelah ada pemecatan sebagai tenaga kerja di Freeport asing,
dan bahkan ada sampai gorok leher sendiri karena kecewa terhadap situasi yang
dialami.
Padahal pemerintah pusat melalui Undang-undang
Nomor 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-undang Otonomi Daerah)
yang antara lain memberikan hak otonomi
kepada daerah kabupaten dan kota
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat setempat, namun masih tetap
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah
daerah diberikan berbagai kewenangan,
yakni bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan
tenaga kerja. Dengan kewenangan itu pemerintah daerah diharapkan lebih punya
kewenangan dan kemampuan untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Indikator kesejahteraan, tidak
hanya terpenuhinya kebutuhan rakyat atas berbagai barang dan jasa yang terkait
dengan kebutuhan dasar manusia, tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan kualitas
diri termasuk di dalamnya sosial-kebudaya, sehingga hakikat manusia sebagai
makhluk berbudaya terwujudkan secara optimal. Dengan kata lain pemerintah
daerah diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan yang berimbang antara
kesejahtraan material dan spiritual berbasis komunitas, yaitu bertumpu kepada
kebudayaan lokal.
Undang-undang Otonomi Daerah pada
hakikatnya memberikan peluang formal yang seluas-luasnya bagi
etnik-etnik yang berada di dalam pangkuan NKRI untuk mengembangkan, atau
melakukan pencerahan terhadap identitas budaya etnik yang dimiliki.[4] Peluang yang mengembirakan ini disambut dengan penuh kegairahan oleh
berbagai etnik yang ada di Indonesia. Misalnya, etnik Bali memperoleh momentum
yang tepat untuk mengembangkan kebudayaan yang mereka miliki, baik sebagai respon
atas kuatnya nasionalisasi/Jawanisasi pada era Orde Baru, atau sebagai jawaban
atas globalisasi, dengan kedudukan Bali sebagai daerah tujuan wisata (DTW).
Dalam konteks inilah Bali menggunakan desa adat sebagai wadah bagi
pemeliharaan, pengembangan dan pencerahan kebudayaan Bali, terwujud dalam
kebijakan Ajeg Bali. Pemakaian desa Pakraman sebagai basis pengembangan budaya
lokal memang memungkinkan, karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Undang-undang Otonomi Daerah. Hal ini
terlihat misalnya pada tugas yang diemban oleh Kepala Desa, di mana dia antara
lain berkewajiban mencipkan kesejahteraan dan kedamaian. Sejalan dengan itu
diapun berhak sebagai petugas yang mendamaikan perselisihan yang muncul di
desanya, sehingga kedamaian tetap bisa diwujudkan. Penyelenggaraan tugas-tugas
tersebut tentu tidak terlepas dari
rambu-rambu budaya yang berlaku. Karena itulah, menjadi kewajiban bagi Kepala
Desa untuk menumbuhkembangkan kebudayaan yang mereka miliki agar kedamaian
lahir-batin di kalangan warganya bisa diwujudkan secara berkelanjutan. Kemudian
yang tidak kalah pentingnya, di setiap desa dibentuk pula Badan Perwakilan Desa
yang antara lain berfungsi mengayomi adat istiadat dan membuat peraturan desa.
Peraturan yang mereka rumuskan .tentu harus sejalan atau bahkan meletakkan
sendi-sendi yang kokoh bagi kebertahanan
sistem budaya yang mereka anut. Adat-istiadat yang berlaku di suatu desa
tidak saja wajib ditaati oleh warganya, tetapi juga oleh pemerintah daerah. Karena
Undang-undang menggariskan bahwa peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah
wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul dan adat-istiadat daerah di
Indonesia.
Pencapaian sasaran itu mutlak memerlukan sumber daya ekonomi. Karena,
bagaimanapun juga, kelangsungan hidup suatu kebudayaan tidak terlepas dari
basis ekonomi. Dalam konteks inilah
berbagai daerah di Indonesia berlomba-lomba menuntut agar diberikan hak atas
pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerahnya, dengan sasaran agar bisa lebih
berkomitmen untuk mensejahterakan warga lokal. Tututan ini sah-sah saja, tidak
saja berdasarkan pengalaman bahwa pengelolaan sumber daya alam yang selama ini
disentralisir oleh pusat kurang memberikan kemanfaatan kepada masyarakat lokal,
tetapi juga karena pengembangan kebudayaan lokal dalam segala aspeknya, mutlak
memerlukan basis ekonomi. Dalam kaitan inilah timbul gagasan bahwa sumber daya
ekomoni yang ada di wiliyahnya, harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk
kepentingan lokal, sisanya barulah diserahkan ke pusat.
4. Etnosentrime
dalam Bingkai Nasional
Kebijakan kebudayaan yang digariskan
dalam Undang-undang Otonomi Daerah lebih
mengarah kepada pemberdayaan masyarakat lokal dalam segala aspeknya, termasuk
bidang kebudayaan. Dalam kaitan ini kebudayaan lokal tidak lagi ditempatkan
sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai sumber daya bagi pembangunan yang
harus dipedomani dan sekaligus diberdayakan, sehingga masyarakat lokal berkembang
di atas basis kebudayaannya sendiri. Gagasan ini memperoleh sambutan positif
dari berbagai etnik, namun apa yang mereka lakukan ternyata menimbulkan dampak yang tidak
diinginkan. Karena, pengembangan budaya yang mereka lakukan diwarnai oleh
etnosentrisme, yakni kecenderungan memandang orang atau etnik lain dengan
menggunakan ukuran kebudayaan etnik kita sendiri (Bennett, 1990). Kebudayaan
sendiri biasanya dianggap paling baik, sedangkan kebudayaan orang lain adalah
sebaliknya. Kehadiran orang lain di dalam wilayah budaya kita, acapkali
dicurigai mengotori kebudayaan kita, apalagi kalau hal itu memang
benar-benar terjadi, maka etnosentrisme
bisa mengarah kepada xenophobia,
yakni antipati terhadap etnik lainnya. Kasus inilah yang terjadi di Sambas
maupun Sampit, di mana kehadiran etnik Madura dianggap mencemari ruang budayanya.
Kemarahan orang Dayak menjadi bertambah hebat karena mereka dianggap pula
merampas ruang ekonomi yang mereka miliki, sehingga mereka menjadi
termarginalisasi (Matulada, 1999; Pelly, 1999; Alqadrie, 1999). Begitu pula
ledakan kecil yang terjadi Bali, yakni kasus Kuta dan Benoa, di mana terjadi
penertiban terhadap pendatang yang nyata-nyata dianggap mencemari kebudayaan
Bali, karena mereka melakukan kegiatan sebagai pelacur, penghuni rumah kumuh,
pencuri, pencopet, dll. Begitu pula pada setiap ujung jalan masuk ke suatu desa, banyak dijumpai papan
pemberitahuan yang berbunyi: “Pemulung dilarang masuk!”. Hal ini merupakan pula
reaksi budaya, dalam artian, orang Bali ingin mempertahankan ruang kulturnya
secara baik, tanpa ada gangguan dari orang lain yang tidak jelas indentitas
budayanya (Atmadja, 2000).
Etnosentrisme
dengan berbagai perilaku yang menyertainya, memang merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan masyarakat yang multibudaya. Namun, sebagaimana yang digariskan
pada Undang-undang Otonomi Daerah, etnosentrisme tidak bisa dilepas begitu
saja, melainkan harus tetap berada dalam
bingkai nasionalisme, dalam artian, setiap daerah bisa mengembangkan
ruang-ruang kulturnya secara baik, namun mereka harus tetap berada di bawah
naungan NKRI, sebagaimana tercermin dari kewajiban mereka untuk mengakui dan
memakai apa yang menjadi simbol-simbol nasional. Hal ini antara lain dapat
ditunjukkan dari Undang-undang Otonomi Daerah, antara lain menyatakan bahwa
DPRD berkewajiban mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI dan juga
mengamalkan Pancasila dan UUD 45, serta mentaati segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini bermakna bahwa DPRD sebagai
wakil rakyat, selain harus berorientasi kedaerahan, dia harus pula berorientasi
kenasionalan, dalam artian, apa yang dilakukannya, misalnya dalam bentuk
kegiatan merumuskan peraturan daerah, tidak boleh melanggar simbol-simbol
nasional.
Dengan demikian, di era otonomi saat
ini, pengembangan budaya lokal diberikan ruang gerak yang lebih leluasa. Hal
ini merupakan titik balik dari apa yang berlangsung pada era Orde Baru. Pada
saat itu, terjadi kebijakan kebudayaan yang sentralistik yang lebih menekankan
pada nasionalisasi/Jawanisasi, sehingga ruang kultur lokal menjadi terbatas, bahkan
tercemari. Namun saat ini, kebijakan kebudayaan yang diterapkan lebih mengarah
kepada otonomi, dengan sasaran terbentuknya suatu keseimbangan antara
nasionalisasi dan regionalisasi. Gagasan ini tidak semat-mata untuk menekan
kemunculan perlawanan budaya yang dilakukan oleh etnik-etnik yang bernaung di
dalam wadah NKRI, tetapi tidak bisa pula dilepaskan dari cita-cita untuk
mewujudkan Indonesia Baru, yakni sivil
society, masyarakat sipil, masyarakat madani atau masyarakat
kewarganegaraan. Dalam masyarakat sipil ada dua hal yang amat ditekankan, yakni
pertama, hak-hak sipil dan kedua, civic culture (Sihaan, 2000).
5. Agama
Sebagai Bingkai Pengembangan Budaya
Dalam rangka menetralisir dampak yang tidak diinginkan dari otonomi budaya,
yakni over-etnosentrisme yang bisa melahirkan dominasi budaya atau bahkan
konflik antaretnik, maka agama bisa memainkan peranan amat penting. Karena,
agama tidak hanya memuat tata aturan atau kaidah-kaidah tentang hubungan antara
manusia dengan Tuhan – hubungan vertikal, tetapi juga tata aturan tentang
hubungan antarmanusia – hubungan horizontal. Selain itu, agama memiliki
otoritas normatif yang paling tinggi daripada norma-norma lainnya, sehingga
daya dorong untuk melakukan suatu kebajikan, begitu pula daya tangkal untuk menanggulangi hal-hal yang
tidak diinginkan dalam pengembangan budaya maupun hubungan antarbudaya dalam
masyarakat majemuk menjadi sangat ampuh.
Belum terhitung lagi adanya kenyataan bahwa agama terjalin luas dalam segala
aspek kehidupan manusia, sehingga di segala aktivitas manusia agama bisa
berfungsi sebagai bingkai moralnya. Sejalan dengan itu ada beberapa misi yang
bisa dikembangkan oleh agama-agama yang hidup di Indonesia, diuraikan lebih
lanjut.
(1)
Misi
Solidaritas, pandangan Baum (1999)
misi utama agama yang harus dikembangkan adalah missi solidaritas antarumat
beragama. Sebagai akibat dari dari adanya kehetroginitas agama dan sukubangsa
masyarakat Indonesia, berupa fakta yang tidak terbantahkandan tidak mungkin dapat diipungkiri.
Karena itu Coward (1996) menyatakan bahwa kehidupan agama dunia di masa depan, bukan terletak pada dominasinya, tetapi pada sejauh
mana agama-agama itu mampu toleran atas azas multikulturalisme dan pluralisme
itu. Di Indonesia, secara tegas digariskan dalam semboyan bhineka tunggal ika, pada lambang negara Garuda Pancasila yang bermakna
bahwa integrasi nasional yang ditegakkan adalah masyarakat yang berlandaskan
keberagaman dalam ketunggalikaan di Indonesia.
Dalam konteks itu, agama-agama yang
ada di Indonesia perlu menggali dalam teks-teks sucinya kaidah-kaidah fundamental
yang bersifat koordinatif untuk dijadikan landasan menumbuhkembangkan
keyakinan, pikiran, dan perilaku yang menghargai perbedaan dalam kebersamaan (unity in diversity). Agama Hindu misalnya
sangat menghargai perbedaan dengan ajaran tat
twam asinya, memberikan landasan yang kokoh untuk menumbuhkan kesadaran
hakiki tentang persamaan, perbedaan, dan
persaudaraan universal. Gagasan serupa dengan ini pada agama lain perlu dilembagakan di kalangan umatnya
masing-masing, sehingga agama tidak berbalik justru berfungsi sebagai faktor
disintegrasi utama dan mengembangkan kita dan mereka, tetapi diharapkan agama bisa
menumbuhkembangkan solidaritas lintasbudaya, lintasagama maupun lintasetnik.
Dengan demikian pluralisme dapat hidup berdampingan sebagaimana kecendrungan
dunia di masa depan. Dengan perkembangan teknologi telekomunikasi, tidak ada
jarak lagi untuk berkomunikasi dalam lintas pluralitas kehidupan di dunia ini (borderless in globel village).
Pencapaian
solidaritas sosial lintasagama tidak hanya memerlukan penanaman nilai-nilai
keagamaan yang menghargai pluralisme, tetapi memerlukan pula dialog antaragama secara
kontinyu. Dialog menurut Mukti Ali dikutip oleh Sabri (1999: 168) menyatakan
berupa pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk agama. Dialog adalah komunikasi antara
orang-orang yang percaya pada tingkat agama. Yang dapat menjadi jalan bersama
untuk mencapai kebenaran dan kerja sama menyangkut kepentingan bersama. Ia
merupakan pertemuan antarpemeluk agama, tanpa ada merasa tinggi-rendah, dan
tujuan yang dirahasiakan, di antara mereka.
Dialog tidak selamanya hanya dapat
diwujudkan dalam suatu pertemuan formal, melainkan dialog bisa pula dalam keseharian
pada lingkungan dekat, pada tetangga, kawan sekampung, sedesa, sekerja.
(Suseno, 2000). Dengan penanaman nilai-nilai pluralistik bersumberkan pada
agama, ditambah dialog antaragama, maka cita-cita mewujudkan warga berkebudayaan
(civic culture) sebagai salah satu
persyaratan terbentuknya masyarakat sipil, secara otomatis dapat terisi.
(2)
Misi Emansipatoris, pengembangan budaya, termasuk di
dalamnya penanaman nilai-nilai solidaritas lintasagama maupun lintasetnik,
harus disertai dengan missi emamsipatoris. Dalam artian, agama tidak saja
berkewajiban menanamkan nilai-nilai kemuliaan, tetapi sekaligus pula mampu
membebaskan manusia dari kemiskinan budi. Karena kemiskinan budi bisa merusak
budaya yang berlangsung dalam suatu komunitas sosial.
Pembebasan
manusia dari kemiskinan budi harus terus diusahakan, mengingat bahwa dalam
agama Hindu misalnya, dijelaskan bahwa di dalam diri manusia selalu terdapat Tri Guna, yakni sattwam, rajas dan tammas, sehingga manusia bisa bersifat ketuhanan (sattwam), hewani (tammas), dan duniawi (rajas) (Zaehner, 1992; Mudiarcana,
1992). Begitu pula dalam agama Islam diajarkan bahwa manusia adalah makhluk
yang memiliki dua dimensi, yakni dimensi malakuti
atau kemalaikatan dan dimensi hewani, sehingga manusia
berkencenderungan berperilaku mulia atau sebaliknya (Mazhahiri, 2000). Sejalan
dengan itu maka tugas agama adalah mengemansipasikan manusia dari
sifat-sifat-sifat kebinatangan maupun kelobaan akan benda-benda keduniawian,
sehingga yang muncul adalah sifat-sifat yang sattwam maupun kemalaikatan.
Untuk itu, agama tidak saja harus berkemampuan mengkritik masyarakat, tetapi
juga siap dikritik oleh masyarakat, sehingga fungsi agama sebagai pedoman hidup
atau resep bertindak dalam kehidupan bermasyarakat, bisa fungsional secara
berkelanjutan. Kalau hal ini bisa diwujudkan, maka terlahirlah kebudayaan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga masyarakat menjadi damai
dan sejahtera.
6. Harmonisasi
Nilai Moralitas Pribadi dan Sosial Publik
Penanaman nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di
dalamnya nilai-nilai solidaritas tidak boleh berhenti hanya pada pembentukan etika
pribadi, tetapi yang lebih penting harus menyentuh aspek etika sosial publik.
Dalam artian, nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama-agama, harus
diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, tidak hanya ketika berhadapan dengan
warga seetnik maupun seagama, tetapi juga berdimensi lintasetnik, lintasbudaya,
maupun lintasagama. Pengamalan itu dilakukan dengan cara menyatukan pikiran,
perkataan dan perbuatan aktual di dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Dengan demikian, akan terbentuk keselarasan antara moralitas
pribadi dengan etika sosial. Hal ini amat penting, mengingat manusia tidak
hanya semata-mata sebagai makhluk individual, tetapi juga sebagai makhluk
sosial.
6. Penutup
Sebagaimana
dipaparkan pada uraian terdahulu bahwa pada era Orde Baru diterapkan kebijakan
kebudayaan yang sentralistik dengan arah lebih menekankan pada persatuan dan
kesatuan, atau nasionalisasi dengan arah yang berkecenderungan pada Jawanisasi.
Di era otonomi saat ini, ada pembalikan, di mana masyarakat daerah diberikan
keleluasaan untuk mengembangkan kebudayaannya, sehingga diharapkan terbentuk
suatu masyarakat yang damai dengan berbasiskan pada sumber daya lokal, baik
sumber daya ekonomi maupun sumber daya budaya. Walaupun demikian, mereka tetap
harus berada dalam bingkai NKRI yang berasaskan bhineka tunggal ika. Untuk mewujudkan sasaran ini, dan sekaligus
untuk menangkal dampak yang tidak diinginkan dari adanya otonomi budaya, maka
agama bisa memberikan sumbangan yang sangat berharga. Dalam kaitan ini agama
bisa berfungsi sebagai bingkai moralitasnya, sehingga kebudayaan yang
dikembangkan pada setiap daerah memiliki kebermaknaan di lihat dari segi agama.
DAFTAR PUSTAKA
Alqadrie, 1999.
“Konflik Etnis di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis”. Jurnal Antroplogi Indonesia , XXIII, No. 58.
Halaman 36-55.
Bennett, M.J. 1990.
“Mengatasi Kaidah Emas: Simpati dan Empati”. Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin
Rakhmat ed. Komunikasi Antarbudaya. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya. Halaman 76-99.
Baum, G. 1999. Agama dalam Bayang-bayang Relativisme Sebuah
Analisis Sosiologis Pengetahuan Karl Mannheim
tentang Sistese Kebenaran Historis – Normatif. (A.M. Chaeri Penerjemah). Yogyakarta : Tiara Wacana.
Chambers, R. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang.
(Pepep Sudradjat Penerjemah). Jakarta :
LP3ES.
Fakih. M. 1996. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial
Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. (Muhammad Miftahudin Penerjemah).
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Fakih, M. 1996a.
“Agama dan Proses Demokratisasi di Indonesia, Suatu Analisis Kritis”. Dalam Eko
Prasetyo ed., Nasionalisme Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Halaman 36-76.
Fakih, M. 2000.
“Tinjauan Kritis terhadap Revolusi Hijau”. Dalam Dadang Juliantara ed., Menggeser
Pembangunan Memperkuat Rakyat Emansipasi dan Demokrasi dari Desa. Jakarta:
Lapera Pustaka Utama. Halaman 3-22.
Florus, P. ed., 1993. Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Trasnformasi. Jakarta : PT Gramedia
Widiasarana.
Geertz C.1973. The Interpretation of Culture. New York : Basic Books,
Inc.
Hendarto, H. 1993. “Mengenal Konsep Hegemoni
Gramsci”. Dalam Tim Redaksi Driyarkara ed.,
Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Halaman 66-88.
Hidayah, Z. 1977. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Hikam, M.A.S.
1996. Demokrasi dan Civil Society.
Jakarta: LP3ES.
Hikam, M.A.S.
1999. Politik Kewarganegaraan Landasan
Redemokratisasi di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Imarah, M. 1999. Islam dan Pluralistas Perbedaan dan
Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. (Abdul Hayyie Al-Kattanie
(Penerjemah). Jakarta: Gema Insani Press.
Kuntowijoyo. 2000.
“Desa dalam Perspektif Perubahan Sosial”. Dalam Dadang Juliantara ed., Menggeser
Pembangunan Memperkuat Rakyat Emansipasi dan Demokratisasi dari Desa. Yogyakarta : Lapera. Halaman 107-116.
Kusumo, B. 2000. “Merebut Makna, Membangun Ruang Publik”. Dalam Dadang
Juliantara ed., Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat Emansipasi dan Demokratisasi
dari Desa. Yogyakarta : Lapera. Halaman
161-179.
Liddle, W. 2001. “Tiga Observasi Sederhana”. Kompas, Rabu, 23 April 2001. Halaman 4.
Lull, J.1993. Media Komunikasi
Kebudayaan Suatu Pendekatan Global. (A. Setiawan Abadi Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Matulada, 1999.
H.A. “Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia: Prospek Budaya Politik
Abad ke-21”. Jurnal Antroplogi Indonesia,
XXIII, No. 58. Halaman 5-12.
Mazhahari, H.
2000. Mengendalikan Naluri Ajaran Islam
dalam Mengatasi Gejolak Kencenderungan Alamiah Manusia. (Iwan Kurniawan
Penerjemah). Jakarta: Lentera.
Mudiarcana, ING.
1992. “Kepribadian Hindu dan Pembangunan Masa Depan”. Dalam Putu Setia ed. Cedekiawan Hindu Bicara. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Halaman
70-87.
Mulder, N. 2001. Mistisisme
Jawa Ideologi di Indonesia. (Noor Cholis Penerjemah). Yogyakarta :
LKiS.
Nasukun. 1992. Sistem Sosial
Indonesia. Jakarta: Ralawali Pers.
Nasikun. 1997.
“Pembangunan dan Dinamika Integrasi Nasional dalam Masyarakat Majemuk”. Dalam
Eko Prasetyo ed., Nasionalisme Refleksi
Kritis Kaum Ilmiah. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar. Halaman 3-12.
Sabri, M. 1999. Keberagamaan
yang Saling Menyapa Perspektif Filsafat Perenial. Yogyakarta :
Ittaqa Press.
Scott. J. C. 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah. (A.
Rachman Zainuddin Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sihaan, H. 2000. “Warga
Negara dan Hegemoni Negara”. Dalam Mohammad Nastain ed. Fiqih Kewarganegaraan
Intervensi Agama-agama terhadap Masyarakat Sipil. Jakarta: PB-PMII. Halaman
69-78.
Sudagung, H.S. 2001. Mengurai Pertikaian Etnis Migrasi Swakarsa
Etnis Madura ke Kalimantan Barat. Yogyakarta: Institut Studi Arus
Informasi.
Sumarthana, Th. 2000.
“Kebangkitan Agama dalam Era Globalisasi”. Dalam Th. Sumarthana ed. Reformasi
Politik Kebangkitan Agama dan Konsumerisme. Yogyakarta :
Institut Dian. Halaman 75-84.
Suryadinata, L. 1999. Etnis
Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES.
Tirtosudarmo, R.
ed. 2001. Kebijakan Kebudayaan di Masa
Orde Baru. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan
Kebudayaan – LIPI.
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah
(Undang-undang Otonomi Daerah. Bandung: Penerbit Pratama.
Zaehner, R.C.
1992. Kebijakan dari Timur Beberapa Aspek
Pemikiran Hindu. (A. Sudiarja
Penerjemah). Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama.
[1] Jumlah suku bangsa di Indonesia ada berbagai variasi angka. Hal ini dapat
dilihat pada Soerjono Soekanto. 1983. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta : CV. Rajawali.
[2]
Pemakaian istilah developmentalisme
sebagai agama baru, berkaitan dengan kepercayaan negara-negara sedang
berkembang bahwa pembangunan merupakan strategi yang paling ampuh guna
mengatasi masalah yang mereka hadapi,
sebagamana halnya dengan agama yang mereka anut.
[3]
Keunggulan lembaga tradisional dalam menyukseskan program modernisasi desa
diakui oleh berbagai pihak. Karena itu, lembaga tradisional tidak selamanya
merupakan penghambat pembangunan, tetapi
bisa pula merupakan sumberdaya bagi
pembangunan.
[4] Di
Indonesia suku bangsa terkait dengan lokalitas,
misalnya suku Jawa dengan pulau Jawa, suku Aceh dengan daerah Aceh, dll.
Hal ini berarti bahwa pembangunan daerah pada hakikatnya terkait pula dengan
peningkatan kesejahteraan suku bangsa yang bersangkutan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda