Kamis, 24 Desember 2015

Ajeg Bali

1. Pendahuluan

Wacana Ajeg Bali setelah tahun 2015 mulai menghilang dari pembicaraan publik, namun menengok munculnya gagasan ajeg Bali tidak dapat dilepaskan dari pandangan Henk Schulte Nordholt di tahun 2007, ketika dia mewacanakan Bali sebagai Benteng Terbuka, sebagai akibat dari pariwisata yang sangat berkembang pesat di Bali. Bukunya yang berjudul Bali An Open Fortress, 19995-2005 diterjemahkan menjadi "Bali Benteng Terbuka 1995-2005" oleh Arif.B. Prasetyo (2010). 

2. Pembahasan
Buku ini sangat sederhana, tetapi menampilkan fakta budaya orang Bali yang sangat mencengangkan. bagian satunya berbicara tentang mencari kestabilan, karena orang Bali merasa tidak nyaman dalam minoritas dari Islam Jawa dan Lombok yang membayangkan dirinya akan menjadi asing di pulaunya sendiri, sehingga orang Bali rajin berseminar di hotel-hotel berbintang. Pariwisata budaya Bali menjadi primadona dan mengantarkan masyarakat Bali ikut dikomodifikasi dalam dunia pariwisata. Bagian duanya membahas gejolak dan perubahan yang terjadi, terutama dalam menghadapi investor dan jakarta sebagai pusat pemerintahan. bagian tiga gejolak di dalam membahas tentang kasta dan desa, terjadi penguatan sistem kasta di daerah pedesaan. bagian empat membahas bentuk-bentuk kekerasan, dengan munculnya ajeg Bali terjadi gejolak perbatasan desa, pecalang dan memunculkan kekerasan simbolik di pedesaan. Dampaknya sampai tahun 2015 masih ditemukan kekerasan antar lembaga swadaya masyarakat yang menamakan dirinya Laskar Bali dan Baladika membuat kericuhan di Lapas krobokan Badung, sehingga menewaskan beberapa orang Bali yang mengidentifikasikan dirinya pada ikatan laskar swadaya pengamanan Bali, yang kontroversi ingin membuat aman tetapi memunculkan situasi ketidak amanan, sehingga masyarakat risih mendengarkan dan banyak berseru agar dibubarkan, dan dikenakan sancsi yang berat. Dalam bagian lima membahas negara partai yang tidak stabil, sehingga banyak partai memanfaatkan pengaman swadaya masyarakat itu sebagai pengamanan, yang tidak bedanya dengan menggunakan kekuatan freman, karena berlagu seperti polisi tanpa identitas negara yang jelas. akibatnya sering berlaku hukum rimba siapa yang kuat dia yang menang. bagian enam membahas ajeg Bali, mana yang diajegkan apakah menengok ke masa lalu sehingga mengkultuskan tokoh masa lalu, sehingga menjadi masyarakat yang tradisional, kaku, dan tidak dapat diajak berubah, atau mengunggulkan masa depan yang nota bena harus meninggalkan tradisionalisme itu yang cenderung mitis dan premitif (kata Wijaya, 2009). Bagian ketujuh membahas pemilu yang diwarnai oleh politik aliran, sehingga menghasilkan pemilu lektoral yang menyamakan suara seorang guru besar dengan seoorang buruh bangunan, atau pemulung di jalanan. bagian delapan membahas melampaui ajeg Bali yang memberikan penilaian tehadap bali secara kritis mwnggunakan perpsketif sejarah. ternyata etnik Bali memiliki perspektif kekerasan,     sangat keji dengan etnik sendiri, bagaikan sabit makan ke dalam, seperti ayam Bali yang memiliki sifat petarung, sehingga mengabaikan otak dan perutnya. 

Orang asing dalam memandang dan memotret bali ternyata jauh lebih tajam dan jernih dibandingkan dengan orang Bali melihat dirinya sendiri, karena "debu di sebarnga lautan dapat dilihat, sedangkan gajah di pelupuk mata tidak tampak". berarti pula sangat tidak senang melihat kemajuan etnik sendiri, sehingga kesempatan maju di tanah sendiri diberikan pada etnik lain. Misalnya bagaimana bedugul yang demikian krogitnya, karena dilakukan oleh etnik nonbali jalan rayapun digunakan sebagai lapak dagangan diamini. Maukah kita belajar dari sejarah?????

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda