Rabu, 27 Maret 2019

POTENSI PENEMUAN ARCHEOLOGIS DI SITUS PURA TUA DI BALI UTARA

1. Pengantar

Sistem religi bangsa Melayu Austronesia diwarnai oleh pemujaan roh leluhur biasanya ditempatkan dalam Sarchopagus atau kubur batu. Dengan demikian, kesadaran terhadap kekuatan gaib muncul pada manusia sejak zaman megalithicum, sehingga dapat dikatakan bangsa melayu austronesia yang sampai saat ini diterima hasil penelitian van He Kern (Bahasa) dan van Heine Geldern (artefact archeologis) bahwa nenek moyang Indonesia berasal dari Asia Tenggara (Teluk Bacson Hoabinh/Indocina). Kajian Javanologi mencoba melakukan konstruksi bahwa bangsa Indonesia berasal dari Jawa lembah bengawan solo, dengan bukti banyak ditemukan tulang belulang manusia sejaman dengan manusia Vekingensis, namun belu  mendunia.

Dari hasil kajian sistem religi tertua yang ada di muka bumi ini, maka dapat dikatakan bahwa Bangsa Melayu Austronesia sudah punya "agama asli" yaitu pemujaan terhadap roh leluhur serta sang catur sanaknya. Kemudian setelah agama-agama besar datang disebutkan animisme dan dinamisme.

Bagaimana sistem religi itu pada hari ini, khususnya di Bali? Bagaimana dia berkolaborasi dengan sistem kepercayaan zaman Hindu-Bhuda di Bali?

2. Pembahasan 

Manusia (leluhur apakah ketua suku, raja, rsi, dan orang yang disucikan) memiliki roh (atman), serta saudara bathin disebut sang catur sanak. Semuanya ini dipuja agar dapat memberikan perlindungan (Bthr/bhatara) terhadap musuh yang mengganggu disebut Nyaga Satru (sekala dan niskala). Karena itu maka agar tetap awet dan wujudnya dapat dilihat oleh pengikutnya maka dibuatkan Sarchopagus/kubur batu. Peninggalan sarchopagus banyak ditemukan baik di Pura Tua seperti di Pura Ponjok Batu dan di Pura Pulaki (Pura Pabean Pulaki), Pura Ulun Danu Beratan, Pura Pande Taman Bali, dan sebagainya maupun tidak ada pura di sekitarnya, seperti penemuan-penemuan sarchopag lainnya di Bali. Tetapi selalu ada tugu sebagai pelanjutnya yang dianggap memiliki kekuatan magis (gaib) oleh penduduk sekitarnya. Semuanya itu didasarkan pada pengalaman bathin seseorang untuk menentukan apakah kekuatan gaibnya masih kuat atau tidak.

Konsep nyaga satru itu dapat dipahami di Bali, seperti penyatuan Atman dengan Brahman {Brahman Atman Aekyam) dipuja di sanggah kemulan (rong siki, dua, atau rong telu) bedanya ada prosesi untuk memisahkan badan kasar dengan badan halus (stula sarira dan suksma sarira), dipuja sebagai pelindung terutama oleh trah pemujanya, sedangkan saudara empatnya, dapat dicontohkan salah satu bentuk nyaga satrunya, sebagai berikut: (1) Sanghyang Mrajapati melinggih dan dipuja di Pura Mrajapati di Hulun Setra/kuburan; (2) Sanghyang Anggapati distanakan sebagai nyagra satru di Natar Rumah (Tugun Karang), (3) Sanghyang Banaspati melinggih di Sanggah sebagai Anglurah Agung (Jro Nyoman, Juru Sapuh, Penyarikan, dll); dan (4)  Sanghyang Banaspatiraja ada di lebuh, menjaga manusia dimana saja (Satpam/Sekpri keliling), dengan demikian bersatana di tugun karang masuk pintu rumah, sanggah, kebun, perapatan agung, pangkung dan sebagainya).

Hindu datang membawa konsep Brahman dan Dewa datangnya dari atas (Luhuring Akasa, Sanghayng Embang, Surya, Sunia, Hening, Sepi- hana tan hana), mulailah berhibridasi dan bermimikri dengan kepercayaan lokal di atas, sehingga pemaknaan berubah menjadi Dewa-Dewi dan Dewa Nyatur. Mulai ada pemaknaan dengan sastra (Sa-Ba-Ta-A,I) disebut Pancadewata, ditengah pemaguan Bapa Akasa dengn Ibu Pertiwi, dibawa kefilsafat alam menjadi Surya-Candra trangana/ matahari-bulan bersinar terang. Dari Lingga-yoni menjadi Bapa Akasa- Ibu Pertiwi, sehingga terjadi hibridasi lokal genius dengan impor asing (India di sini). Maka menjadilah Hindu seperti di Bali yaitu pemaduan dua agama agama lokal dengan agama impor India, sehingga menjadi adat lokalnya, dan agama Indianya. Dengan demikian susah membedakan mana adat-mana agama, mana Indonesia mana India, karena sama dengan mengindentifikasi Bekisar menggunakan ukuran ayam Kampung dan Ayam Hutan, pasti tidak pas karena bekisar sudah menjadi makhluk utuh sendiri, yang gennya percampuran ayam kamping dengan ayam hutan.


3. Implikasi

Implikasi dari uraian dan pemahaman sedserhana ini, maka tidak salah kalau kita mengatakan semua agama besar di Indonesia itu merupakan agama impor dari luar, bangsa kita memang senang dengan barang baru maka setiap datang impor barang baru berusaha membuang miliknya, barangnya, dengan jalan mengatakan ketinggalan jaman, usang, jelek, ketinggalan jaman, kuno, artodok, tradisional, anomisme-dinamisme, kepercayaan purba, musrik, memedi, jim, setan, tonya, dan sebagainya. dengan bangga menjelaskan kepercayaan lokal yang sudah ada zaman megalitik zaman purba atau zaman bahari. Justru agama impor itu memberikan definisi semaunya menggunakan penjelasan luar negeri asal agama baru yang dianutnya. Sama dengan memberikan nama-nama pada tenggala/bajak dengan komponen alat-alat traktor.

Pura tua yang berisi pemujaan leluhur dapat berlanjut jaman Hindu-Bhuda awal abad masehi, hingga saat ini. Dengan demikian sangat potensial pura-pura kuno memiliki sisa peninggalan zaman megalitik. Bersuluh dari beberapa peninggalan sarchopagus sebagai sarana pemujaan roh leluhur zaman agama melayu austronesia life. Pembunuhan terhadap kepercayaan lama ini terus berlanjut sampai sekarang, namun tetap eksis, seperti kepercayaan "klenik" batu mulia seperti mirah bang, mirah delima, besi  kuning, bambu petuk, uang arjuna, uli gadang, keris sakti dan sebagainya. Benda-benda ini masih diejek dan dijelekkan namun diburu dan dicari oleh beberapa pejabat yang takut akan nyawanya tidak terlindungi, walau dia sudah beragama modern.

4. Simpulan
Bangsa Indonesia, sebagai satu bangsa melayu austronesia yang besar, tidak harus menggunggulkan kultur asal gama yang diimpor ke Indonesia, tanah air kita dari sabang sampai mearaoke merupakan ruang persebaran bangsa melayu austronesia. Memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda sebenarnya seasal bahasa yaitu bahasa melayu austronesia (Hasil Kajian van He Kern), persebaran hasil budayanya seperti kapak genggam, kapak lonjong, kejokenmondinger tersebar dinusantara. laut bagi bangsa bahari adalah jembatan emas, penghunung dan jalan tol dimasa lalu, tetapi menjadi hambatan komonikasi setelah kita menjadi orang darat. Kita harus dapat belajar dari sejarah zaman bahari, sebagai bangsa besar satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Terimakasih









0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda