Minggu, 13 Maret 2016

Sebuah Refleksi Sejarah ' Sang Merah-Putih'

1. Warna Merah Putih

Mengapa warna merah dan putih menjadi warna bendera Indonesia? apakah karena pengaruh benrdera Belanda Merah-Putih-Biru, sehingga cukup menyederhanakan menjadi hanya tinggal merah-putih, seperti dipahami banyak orang. Pertanyaan ini dijawab secara akademik oleh Prof. H. Muhammad Yamin, dalam buku hasil penelitiannya berjudul "6000 Tahun Sang Merah-Putih" diterbitkan oleh Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Tahun 1928. Buku ini diterbitkan dalam rangka memperingati 30 tahun hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Secara tradisional di Bali apa yang dipahami Yamin, masih dapat diurai benang merahnya dengan pikiran jernih dalam perspektif sejarah lebih panjang. Berikut akan dibahas warna merah-putih itu dalam esai pendek ini. 

 2. Penetapan Tahun 6000 oleh Yamin
6000 tahun lalu dari 2016 tahun ini, maka sejarah yang dijadikan pedoman adalah masa praasejarah, yaitu sekitar tahun 4000 BC. Tahun itu dijadikan pedoman sesungguhnya mengambil momen sejarah perpindahan bangsa asia Tenggara ke Nusantara, dengan mengambil lokasi daerah Vietnam atau Thayland (Hindia Belakang). Warna merah adalah getah makluk Hidup (darah), dan putih adalah gatah Tumbuhan, sehingga lambang warna Merah Putih diambil dari penghargaan warna yang telah ada sejak tahun 4000 BC. Dengan demikian Yamin menyebutkan Warna Merah Putih adalah warna asli diambil dari lambang makhluk hidup dan pepohonan hidup yang ada di Asia Tenggara. Dengan demikian persoalan yang ada adalah bangsa Indonesia tidak ada yang dapat disebut sebagai penduduk asli secara genealogis, karena berasal dari kawasan asia tenggara, seperti disebutkan oleh Yamin dalam bukunya itu. Perspektif sejarah ini adalah untuk memberikan kesadaran bersama sebagai bangsa Indonesia, bahwa pengaruh India, Cina, Arab, dan Barat yang membagi penduduk menjadi tiga golongan yaitu Bangsa Barat, Timur Asing, dan Pribumi sesungguhnya sebuah ideologi untuk menjadikan bangsa Indonesia tetap merasa sebagai bangsa kelas tiga, yang kemudian dikaburkan oleh negara modern menempatkan Indonesia dan negara terjajah lainnya sebagai negara Dunia Ketiga, negara sedang berkembang, dan butuh bantuan untuk dibangun dalam wacana barat. 

Perspektif ekonomi ini kemudian menjadikan bangsa Indonesia secara mental, peradaban, dan kemajuan dalam berbagai bidang merasa dirinya sebagai bangsa bawahan, rendahan, kurang mampu dalam segala bidang. Kehebatan dunia modern menggunakan kelebihannya untuk menguasai mental bangsa Indonesia, yang secara tidak kritis diakui dan dilembagakan oleh penyelengara negara. Kegagalan Indonesia memahami sejarah bangsanya yang dimanfaatkan oleh struktur ekonomi dunia, untuk menguasai sikap mental bangsa Indonesia sungguh luar biasa. 

Negara Indonesia boleh secara politik baru merdeka di tahun 1945 dari belenggu penjajahan politik Belanda dan barat lainnya, tetapi secara kultural seharusnya tidak secara serta merta harus disamakan dengan kekuasaan terakhir bangsa Indonesia (yang berasal dari Bangsa Melayu Austronesia ini yang berasal dari asia tenggara).

Sejarah menggunakan memori jangka pendek ini, memang menyesatkan bangsa Indonesia, bangsa Indonesia sebelum datangnya bangsa asing ke nusantara, bukanlah bangsa yang ada pada Zaman Jahilijah, seperti sejarah Arab praislam, tetapi telah terbukti memiliki berbagai keunggulan local genius yang sangat tinggi. Dengan demikian sejarah kebangsaan pra-NKRI harus mendapat posisi untuk menempatkan posisi peradaban bangsa ini, Armyn Pane dan Yamin telah menunjukkan bahwa bangsa ini telah memiliki Negara Besar sebelumnya yaitu Sriwijaya, Mataram, Mojopahit, Kerajaan Islam kemudian dijajah barat, baru secara politik kemudian menjadi Indonesia Merdeka. Longoduree (aliran Annalles) temporal dalam pemahaman sejarah perdaban bangsa ini, menjadi sangat menguntungkan dilihat dari kerekatan berbangsa dan bernegara. Persoalannya sekarang "maukah kita belajar dari sejarah panjang bangsa ini??? Kalau tidak mau bagaikan orang ujian kelulusan, maka kita tidak akan lulus ujian, sehingga membutuhkan pengulangan pelajaran yang sama di tahun berikutnya, itu adalah pelajaran dari hukum alam. Pertanyaannya apakah bangsa Indonesia sudah lulus dan tidak mau lagi belajar dari sejarah bangsanya?

Sejarah memberikan pedoman dalam ujian menghadapi kolonial Belanda, belajar dari puncak sejarah hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yaitu model untuk mengatasi ketidakbersatuan bangsa ini di Nusantara dalam menhadapi kekuatan asing (penjajah). Hanya saja Sumpah Pemuda baru megajarkan cara untuk mengatasi perbedaan, kedaerahan untuk bersatu melawan penjajah. Sesungguhnya seperti disebutkan Sartono Kartodirdjo, sejarah Perhimpunan Indonesia (1925) menjadi pelajaran yang mengajarkan bangsa Indonesia dalam tiga point inti, yaitu Persatuan, Kemerdekaan, dan Kesetaraan. Kemerdekaan telah direbut tahun 1945, sedangkan kesetaraan (intinya keadilan) masih tetap diperjuangkan sampai saat ini. 

3.Warna Merah-Putih dalam Ritual di Bali
Warna Merah-Putih-Hitam digunakan dalam ritual kebalian (Kebudayaan Melayu Austronesia) dalam pengurip-urip bangunan di Bali. kayu yang telah ditebang, kemudian diurip kembali (dihidupkan kembali), dengan mantaram........urip ikang taru..... dalam ritual itu dioleskan tiga warna, yaitu Merah dari Darah, Putih dari Pamor, dan Hitam dari Arang, yaitu simbolisasi dari hukum alam "Lahir-Hidup-Mati", sebagai siklus yang terjadi di alam. Dengan demikian warna merah-putih juga sudah dikenal sebelum Agama Hindu datang ke Bali (Indonesia), yang disimbolisasikan dalam ritual menghidupkan bangunan, sebuah tradisi memandang alam sebagai bagian hidup dari manausia, dan manusia ada dan menyatu dengan alam. Sehingga unsur dualitas yang berada dalam ujung yang bersebarangan harus diharmoniskan, sehingga kehidupan menjadi benar-benar hidup. 

Dalam ritual "segehan" juga diberikan warna yang bertentangan sebagai simbolisasi harmoni dalam perbedaan yaitu Putih dilawankan dengan Kuning (Timur dengan Barat), Hitam dengan Merah (Utara-Selatan), ritual yang ditradisikan ini, tidak mendapatkan pemaknaan yang baik dari pewarisnya, sehingga menjadi tradisi yang berjalan dalam rutinitas tanpa makna seperti yang dikehendaki oleh yang mewariskan. Kala atau waktu bertentangan diharapkan ingat dengan pertentangan tajam yang harus diharmonikan, bukan dimatikan, karena kalau dimatikan dengan cara apapun maka terjadi ketidakseimbangan di alam ini. Jika ketidakseimbangan tidak terjadi maka kehidupan pun tidak akan terjadi. Seperti bagaimana Lingg-Yoni yang dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia Tenggara tidak mendapat makna seperti kepercayaan asli bansga Melayu Austronesia itu. 

Pemaknaan Merah Putih juga kalau hanya diandaikan sebagai lambang Darah dan Getah, keberanian dan kesucian, tidak dikonstruksi seperti hubungan harmoni terjadi dari pertentangan kontras di atas, maka makna Merah-Putih hanya menjadi simbol kenegaraan, dan tidak bermakna menjadi simbol kemasyarakatan yang penuh dengan pertentangan dan kepentingan yang sangat bervariasi. Ujung pertentangan tajam yang terjadi harus dipahami sebagaimana hubungan Lingga-Yoni, Purusha-Pradana, Laki-Perempuan, Pemerintah-Rakyat dan sebagainya yang baru menjadi bermakna jika dikembangkan dalam aras keharmonisan dari pertentangan hakiki dalam hidup itu. 

4. Efilog
Warna-Merah Putih memang dapat dipahami sudah dijadikan simbol religi, dan simbol kekuatan alam sejak zaman prasejarah (6000 tahun silam), seperti ditunjukkan oleh M. Yamin. Pemaknaan dalam ritual masih tersisa dalam ritual "Kebalian/Budaya Melayu Austronesia yang menjadi "Agama Bangsa Melayu Austronesia", sebelum menerima pengaruh luar, terutama Agama-agama besar dunia. 

Pemaknaan Merah-Putih butuh dikembangkan untuk dijadikan pegangan hidup bermasyarakat, karena ritual nasionalisme dengan Lambang warna benrdera Merah-Putih masih hidup dan menjadi lokal genius bangsa Melayu Austronesia yang merupakan Nenek Moyang Bangsa Indonesia, terutama yang berkulit sawo matang. 

Kontruksi penduduk asli-tidak asli, barat-timur, pribumi sesungguhnya adalah konstruksi politik demi perpecahan bangsa Indonesia, seperti yang dikehendaki oleh penjajah. Hegemoni mental melalui degradasi ekonomi, menjadikan generasi muda bangsa ini merasa direndahkan oleh sejarah pendek (eventnualy) yang mengaburkan kemajauan  dan kejayaan masa lalu, dengan konstruksi sejarah pendek saat kegelapan masa lalu itu, sehingga dalam menatap masa depan bangsa Indonesia dibayang-bayangi oleh kegelapan masa penjajahan. Mengapa masa kejayaan Jawa misal di masa lalu bangsa Indonesia ikut mengkorupsinya, sehingga menjadikan bangsa Indonesia selalu berpikir sebagai bangsa kelas tiga???? 

Hanya pelajaran sejarah yang mencerahkan, tanpa kepentingan kelompok atau kekuasaan, yang akan dapat menjadikan Indonesia Baru ke depan menjadi Indonesia Raya nan Jaya. Mari belajar dari sejarah, didikkan sejarah yang mencerahkan kebersamaan, kemerdekaan, dan kesetaraan yang bebas dari bayang-bayang  primordialisme, keagamaan, penguasaan, dan penggelapan anak bangsa.  

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda