Minggu, 11 Juni 2023

Pendidikan Keluarga: Pendidikan Kodrati dan Pendidik Utama Pertama

 1. Keluarga

Keluraga batih yang lengpak adalah terdiri dari anak, bunda, dan ayah (sebutannya bersifat antropologis), sesuai dengan kebiasaan lokus keluarga itu, dan bahasa berlaku dalam kehidupan keluarga. Ada keluarga single parent tidak banyak ditemukan, ayah dan bunda jika tidak melahirkan anak benlum bisa disebut bunda, masih bernama sesuai dengan akta kelahirannya. kalau di Bali sering juga dalam folklor disebut Men Bekung dan atau Nang Bekung (bekung artinya tidak mendapatkan anak dalam perkawinannya. Dengan demikian keluarga yang utuh adalah keluarga yang ada anak dalamnya, untuk kelengkapan keluarga bagi keluarga di Bali dapat negngkat anak, memeras anak keluarga, dan atau mengadopsi dari rumah sakit atau Panti Asuhan, pelaksanaannya sesuai dengan kebiasaan adat untuk meras, dan sesuai dengan regulasi angkat anak yang dikeluarkan oleh pemerintah. 

Anak sangat menentukan masa depan keluarga itu, terutama di Bali yang menganut patrilinial, sebagai pelanjut keturunan, terutama dalam mewarisi "Hiyang Widhi" dan kewajiban adat lainnya, terkait dengan pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Hyang Widhi. Hyang adalah keluarga yang sudah dibersihkan (metepung tawaran)/ diaben. Sedangkan widhi/wedha ajaran dari India sesungguhnya menyangkut sistem religi keluarga (sektarian di masa lalu), wedha/ilmu pengetahuan dari India, mengenao dewa-dewa yang dijadikan bagian hibridasi dalam "hyang widhi" di merajan soang-soang keluarga di Bali. Di samping artabrana, warisan hyang widhinya inilah yang menjadikan orang Bali sangat gundah kalau tidak memiliki laki-laki sebagai calon pelanjut pemujaan hyang widhinya.

Hyang inilah memberikan pemahaman unik di Bali, mengenai bebantenan sebagai soda dan simbol/ajaran "nak Bali" yang sangat rumit, kalau dilihat dan dibandingkan dengan agama hindu di luar Bali. 

Menarik untuk dikaji bagaimana idealnya pola asuh pendidikan di Bali, terutama melihat lembaga keluarga sebagai pendidik utama pertama, dan pendidik kodrat sebagai pendidik yang tidak dapat digantikan oleh orang lain. Terutama peranan bunda dalam pendidikan di keluarga sangat menentukan masa depan anak-anak yang terlahir dari rahim seorang ibu. Bagaiamana dengan Ayahnya, diberikan wewenang utama dalam pertanggungjawaban, karena pemberian sesungguhnya bukan kodrat, seperti bundanya. 

Modernisasi, globalisasi, gatgetisasi, handfonisasi, menuntut pendidikan keluarga untuk dapat menyesuaikan diri dalam pola asuh pendidikan di keluarga. banyak kelihatannya sebuah keluarga memberikan HP pada anak-anak belia, sebagai pengganti untuk "ngempu/ngasuh", sehingga anak-anak menjadi kecanduan akan perainan yang ada di HP, berupa film, game, hiburan, dan sebagainya, terutama karena keluarga tidak memiliki kesadaran akan bahaya HP dilihat dari kesehatan fisik dan kesehatan mental. Dengan demikian perlu diberikan pemahaman bagaimana jadinya kalau kecanduan itu, terus diberikan sampai anak-anak sakau, atau terinpeksi oleh game/hiburan lainnya. 

 2. Pola Asuh Pendidikan Keluarga

Secara teori ada tiga pola asuh keluarga, yaitu: 1. Pola Asuhan Otoriter (Authoritarian); 2. Pola Asuhan Liberal (leses fire); 3. Pola Asuhan Demokratis. Pola asuhan pertama diwarnai oleh sifat tegas, aturan yang ketet, suka menghukum, dan anak-anak sangat kawatir hidupnya karena takut kena hukuman, karena telah diberikan rambu-rambu yang sangat ketat kalau dilanggar sudah pasti hukumannya; kedua yang liberal (permissive) memberikan kebebsan pada anak sebanyak mungkin, tidak mengekang, tidak mengontrol diberikan kebebsan pada anak sesuai dengan kemaunnya; sedangkan yang ketiga demokratis, kewajiban anak dan orang tua sama-sama saling melengkapi, orang tua banyak terlibat dengan kegiatan pendidikan analnya, terbuka mengembangkan kondisi dialogis dengan anak-anaknya. 

Tiga teori itu umum ditemukan dalam teori pendidikan, sedngkan demokratis sesungguhnya sangat longgar, dan sangat banyak interpretasinya (mazabnya banyak), demokratis yang diharapkan adalah seperti yang dikembangkan oleh Kihajar Dewantoro, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo: di depan memberikan tauladan pada anak kita; Ing Madyo mangun karso, di tengah anak-anak membangun karsa (agasan-gagasan), dan pikiran demokratis, penuh dialogis, memberikan anak-anak sebagai teman dialog untuk memecahkan masalahnya; Tut Wuri handayani, di belakang memberikan dorongan. Tentu demokratis ini dapat dikatan sebagai demokratis kondisipnal (mimikri) menyesuaikan diri sesuai dengan keadaan yang ditemukan. Seperti misalnya, anak-anak ditugaskan oleh gurunya membuat karya tangan harus menggunakan Bambu, Kayu, dan dalam pengerjaannya harus menggunakan pisau tajam, pahat, serut. gergaji dimana anak-anak belum pantas menggunakan senjata tajam itu, karena tangannya masih lemah, maka orang tua ikut berpartisipasi mendampingi, dan mengambil pekerjaan yang tak mungkin dikerjakannya, namun menyerahkan kembali yang sudah patut mereka kerjakan. Kembali kita mengawasi dan mereka mengerjakannya secara berkolaborasi dengan temannya. Pola asuh ini sering juga disebut pola asuh temorizer, sesuai situasional. 

3. Keluarga Pendidik Utama Pertama

Banyak orang mendidik anak-anaknya didasarkan pada prinsip yang salah: 1. Seperti prinsip kasih sayang berlebihan, sehingga apa-apa diambil alih oleh orang tuanya, karena berdasarkan kasih sayang berlebihan, sehingga anaknya sadar bahwa dirinya sangat disayangi, kesadaran itu akan dimanfaatkan olah anaknya untuk melakukan "pemerasan yang lainnya" dalam pola pendidikan dan perkekbangan anak itu selanjutnya. Anak akan menjadi manja berlebihan, selalu "tuding tujuh/berkuasa dan menjadi tukang perintah dalam kehidupan selanjutnya, dan ini menjadi pola dan mengenatal dan mengeras di bawah sadarnya, akan dapat menyengsarakan anak itu sendiri di kemudain hari ketika orang tuanya telah tiada. Karena pada hakikatnya manusia selalu ingin aluh dan enak dalam hidupnya, dalam pergaulan sosial selanjutnya pola itu akan terbawa ke masyarakat dan pergaulan dengan temannya sebaya, anak seperti itu lambat laun ditinggalkan oleh temannya, dan menjadi anak tidak bertanggungjawab. Ini bererti kegagalan orang tua laki-perempuan dalam mengembangkan sikap mental dan kebiasaan anak sejak kecil, yang bermula dari kasih sayang berlebihan. 2. Berdasarkan kesadaran gender berlebihan, ini pekerjaan laki-laki dan itu pekerjaan wanita, sehingga dari kecil anak-anak sudah memilah pekerjaan (50%) menjadi bukan tanggungjawabnya, tanggung jawab laki-laki/perempuan. Anak selalu memilih pekerjaan berbasarkan gender, dan apa lagi mana kodrat dan mana gender tidak dipahami dengan baik. Sehingga dengan demikian anak akan bertumbuh menjadi anak-anak "terlalu memilih" dalam hidupnya, terutama dari mulutnya akan selalu keluar kata-kata berdasarkan prinsip gender itu, juga perbuatan, dan terutama pikirannya tidak bertumbuh secara seimbang, terutama di Bali yang sebagian besar keluarga memiliki anak-laki-laki lebih sedikit dari perempuannya, dan terutama anak laki-laki tunggal dalam jumlah keluarga yang lebih banyak perempuannya. Keluarga akan memberikan perhatian, kebijakan, dan penghargaan lebih pada laki-laki, sehingga dirinya merasa menjadi anak emas, pewaris tunggal. Keluarga demikian anak laki-laki itu akan menjadi merasa super di antara saudaranya, sehingga dia akan menjadi mau menang sendiri, karena toh juga dia tahu akan dimenagkan oleh keluarganya (bali menganut keperusaan). Rasa persatuan, persamaan, persaudaraan, dan keadilan dirasa tidak terjadi di keluarga, maka keluarga itu akan mengembangkan "rasa bathin" tidak seutuhnya sebagai basis pendidikan utama dan pertama di keluarga. 

4. Keluarga Sebagai Pendidik Kodrati 

Keluarga (Ayah dan Ibu) harus sadar bahwa dirinya adalah guru kodrati yang tidak tergantikan, dengan demikian sebagai guru kodrati yang tidak dapat digantikan, jangan mempercayakan seluruh pendidikan anak terutama anak yang sedang sensitif sesuaai dengan "tingkat kematangannya", 0-5 (Balita), 6-12 (masa menentang), 12-19 (Masa remaja/Pubertas Pertama), 20-25 (Pubertas kedua dan masa dewasa) (lihat pembagian ahli dalam psikologi anak/remaja. Peranan orang tua harus mampu memahami masa perkembangan anak kita, di Bali masa 0-5 tahun itu masih dipandang sebagai dewa, harus diladeni dan diikuti kemaunnya, namun dikendalikan secara baik sehingga bathinnya tidak cacat. masa remaja dipandang sebagai teman bermain, sedangkan dewasa dipandang sebagai lawan diskusi, memberikan posisi penghargaan dan sekali-kali dimenangkan mereka agar tumbuh kebanggaan pada diri anak, terutama terkait dengan hasil belajarnya yang sedang dipelajari, terutama di depan teman sebayanya. 

sadarkanlah diri kita sebagai pendidik di mata anak-anak, sehingga semua peri laku kita sesungguhnya secara tidak sadar dijadikan acuan nilai dalam hidupnya, dengan demikian pendidikan istri sangat menentukan kedewasaan anak, pola asuh keluarga sangat menentukan masa depan anak. Awasi anak dalam belajarnya, dengan kesadaran tetapi tidak diketahui oleh anak, seperti ketika anak masih begadang belajar, jangan orang tua "mejangkut dengan istrinya" menutup pintu, dan memberikan anak seperti tidak mendapat perhatian, sehingga mereka merasa tidak dapat pengawasan. Tiduran di sampingnya, buatkan minuman, nasi goreng jika dia ngantuk, dan ada pekerjaan dikerjakan sampau larut malam, minta ijin kalau payah tidur duluan, jangan tutuk kamar tidur, bangun sekali-kali dan tanyakan masih banyak pekerjaannya nak? buatkan apa ia?, belikan nasi kunig? pantau secara tidak sadar mereka tahun selanjutnya diperhatikan oleh orang tuanya, entah si bapak/si ibu, itu akan memberikan penguatan dalam belajarnya. 

Setiap saat berikan wejangan mana baik dan mana buruk, jangan memberikan pendidikan harapan dan keharusan untuk anak ketika anak sedang merasa salah atau terpojok. jangan saling menyalahkan antara bapak dan ibu, desain bahwa kalau ibunya memarahi anaknya, laki-laki pura-pura tidak tahu, diam saja jangan "ngelonang pianak di hadapan ibu/bapaknya", terkandung siapa yang memberikan penguatan nilai dan norma yang harus diikuti. 

5. Kesuksesan dalam Pendidikan Keluarga 

Penentu kesuksesan dalam keluarga memiliki dimensi sangat banyak, disamping juga ada jalan Tuhan yang tidak dapat saya jelaskan di sini. 

Dimensi keluarga memiliki tiga dimensi yaitu dimensi proses yang sudah saya sampaikan dalam keluarga yaitu pola asuhan di atas. Dimensi lainnya dimensi sikap, dan dimensi struktural, walaupun sesungguhnya dimensi proses itu merupakan faktor variabel berkaitan dengan dimensi sikap dan dimensi struktural. Sikap akan berpengaruh langsung terhadap pola asuh keluarga. 

Aspek -aspek dominan mungkin yang secara teoretis perlu diperhatikan adalah: Dimensi struktural meliputi: - jumlah keluarga dan kedudukan anak di keluarga; - waktu orang tuan bertemu dengan anak-anaknya;- kelengkapan/keutuhan keluarga;- relegiusitas keluarga (jangan berlebihan karena anak memiliki kematangan berbeda);- bahasa pergaulan di keluarga;- pekerjaan, pendidikan, orangtua, status penghasilan keluarga, perlengapan rumah tangga (seperti ruang belajar, buku-buku, ,sarana dan praserana anak-anak belajar); pendampingan pemecahan masalah jika menemukan masalah.  Dimensi Sikap, meliptui: -sikap orang tua terhadap pendidikan anaknya;- ambisi orang tua terhadap pendidikan dan pekerjaan anak di masa depan; -aspirasi orang tua terhadap anak dan anak terhadap dirinya. Dimensi proses menyangkut pola asuhan, yaitu seperti disebutkan di atas, secara teori tidak akan dapat diterapkan mana yang terbaik diterapkan di keluarga, tetapi semunya mengandung kelebihan dan kekurangan, dengan demikian 'orang tua harus pintar-pintar memadukan dan memilih bagian-bagian baiknya, disesuaikan dengan tingkat kematangan anak. jangan terus diberikan norma bahwa uang segalanya, atau masyarakat segalanya, atau tuhan segalanya, ada kalanya dalam meberikan penguatan, seperti sila-sila panca sila satu dengan yang lainnya saling melingkupi. Jangan bunuh sifat intelektual anak-anak dengan mengatakan semuanya itu hanya bersifat sementara, kecerdasan spiritual di atas segalanya; demikian juga jangan katakan berdoa tidak dapatkan uang dari langit; jangan berikan anak menjadi sekuler, dengan memberikan pemahaman yang rasional untuk anak-anak yang sedang bertumbuh secara rasional. Seperti berterimakasihlah nak, pada nafasmu, karena karena kamu masih bernafas nanak disebut hidup, juga berterimakasih nak dalam nafasmua masuk udara di dalamnya ada oksigen karena anugrah poon dan matahari, tanpa fotosintesis, tidak ada oksigen, benafaslah dengan kesadaran dan penuh rasa syuku dan terimakasih pada pohon nak, pohon itu patut dicontoh, matahari patus dicontoh pernahkan dia pamrih padamu yang memberikan hidup dan kehidupan pada dirimu? nafas adalah dapat dibuktikan sebagai sumber hidupmu bukan yang lain, kalau tidak percaya tutup hidung dan mulutmu rapat-rapat lima menit saja bagaimana rasanya nak, pohon memberikan oksigen walau kamu berikan Co2, dia berika O2; matahari tetap bersinar, sehingga mphon dapat menyerap energinya, sehingga daun pohon, bunganya, buahnya, batangnya, umbinya dapat memberikan kita sumber kehidupan. berterimakasih dan syukurlan nanak untuk itu. berikan wejangan ini pada teman sebayanya juga, jangan berikan pemahaman yoga tingkat tingga (hana tan hana, kosong, astral, megik, sakti, dll akan dijadikan momok dan menakutkan bagi anak-anak). hanya sekali-kali saja, tunjukkan dengan contoh, berikan bukti dalam tindakan kita, dan jangan banyak omong, tetapi bukti menjadi saksi, ketauladanan orang tua.  

  6. Pendidikan Nilai dalam Keluarga

Apa itu nilai, bagaimana nilai harus dimaknai dalam kehidupan anak-anak? nilai-nilai modern di era globalisasi, penting diketahuia anak-anak, terutama zamannya. Pengaruh peradaban barat yang didasari oleh libralisme dan kapitalisme (ekonomi pasar), bahkan tubuh dapat dijadikan sumber uang, perlu diketahui oleh anak-anak. Nilai kebenaran keilmuan (berbasis pancaindria), Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan wujud bendanya agar dapat diketahuia (ngudi kewicaksanaan hidup) di dunia ini, seperti ajarkan oleh filsafat barat. Semuanya orientasinya pada kebenaran ilmu pengetahuan, berbasis panca indria (laboratorium). Kebenaran universal di dunia ini, dengan metode dan metodologi yang dapat diulang dimana saja kapan saja oleh manusia di muka bumi ini, menuju keuniversalan kebenaran ilmiah, terutama terkait dengan natural science. bagaimana gelombang yang kasat mata dapat ditangkan oleh alat yang diciptakan manusia, sehingga manusia dapat berkomunikasi jarak jauh, setelah ada hibridasi dari telpon, komputer, radia- dan TV, sehingga menjadi telpon genggam yang dunia dapat dimasukkan ke dalam saku manusia modern. Betapa mengagumkan penemuan manusia, karena Tuhan menghadiah Kecerdasan intelektual, sehingga manusia menjadi pencipta kedua tiada tandaingan di dunia ini, stelah Tuhan. Itulah nilai modern yang perlu dipahami anak-anak kita, sehingga dia sebagai manusia dapat menghargai temuan manusia lain, dan tidak bertumbuh menjadi manusia munafik, dimana hasil teknologinya digunakan, tetapi manusia pengasilnya dicaci-maki, dijelek-jelekan, namun dirinya juga menjadi penggunak utama dan pertama dengan harga mahal, menggunakan keringat orang lain lagi. Semuanya peradaban darat merupaka hasil dari olah akal sehat/rasio untuk menghasilkan tenologi untuk membantu kekurangan manusia, sehingga pengetahuannya menjadi sempurna. 

Nilai tradisional kita terkait dengan olah rasa dan olah budhi, orienatasinya ke atas, ke sang pencipta sehingga nilai utama yang diagungkan adalah hana-tan hana, didasarkan pada world view bahwa alam dan isinya ini adalah maya/ semu dalam konteks  ngudi kesampurnan (manunggaling kaula gusti). Sehingga nilai yang dihargai adalah nilai tidak materaialistis penuh (50%); setengahnya untuk non-materialistis. Berada pada ruang antara pada kehidupan ini, karena badan manusia terdiri dari badan kasar (duniawi) dan badan halus (rohaniah), disitulah piliha nilai dalam masyarakat Bali. 

Keluargalah tempat anak mendapatkan pendidikan nilai, penuh pengorbanan, tampa pamrih, melihat semua manusia sama, materi adalah alat untuk hidup berdampingan dengan manusia lain, alam adalah sumber hidup, tuhan bekerja pada pohon lihat dan buktikan sendiri. 

Simpulannya di keluarga anak-anak diberikan pendidikan moralitas berdasarkan sari ajaran agama dan tradisi leluhur kita. Berikan wejangan, berikan contoh, ajak menghayati, dan hilang rasa takut dengan gambaran serem kekuatan gaib, tatawam asi, trihita karana, trikaya parisuda dalam  prakteknyata. Apa yang didapatkan di bangku sekolah hanya berupa  hard skill, bukan solf skill, sehingga di rumah dipraktekkan dan hayati, dan jadikan internalisasi dalam dirinya, mana yang dipandang penting sesuaikan dengan tingkat kedewasaan/kematangan anak, dengan mengahayi situasi kebathinan anak. 

7 Simpulan dan Saran

a. Simpulan

Pilihan pola asuh sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan kematangan anak, jangan paksakan bahwa abak kita menjadi kita, biarkan mereka menjadi dirinya sendiri, bekali dengan prinsip-pripsip hidup yang lengkap baik nilai modern, relegius, sosial secara universaal dan khusus berdasarkan tradisi kita. jelaskan sebuah tradisi yang dapat menyadarkan dirinya bahwa tradisi leluhur kita adalah teks yang tidak dapat dituliskan oleh leluhur kita, karena telah ada sejak zaman prasejarah. Kecerdasan itu adalak lokal genius yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, sebagai sarana pendidikan nilai yang tidak lekam dimakan zaman. Seperti konteks pemujaan matahari, pohon, dan nafas manusia, dengan mencontoh ketulusannya dalam berbuat, tanpa disuruh dengan kesadaran alam begitu rtanya mengagumkan manusia. 

Dalam poltik identitas, di tahun pemilu ini perlu disadari, bahwa semua agama yang diimpor ke nusantara adalah hasil tradisi tulis tokoh bangsa asing, yang dimaknai dan dikembangkan berdasarkan kearifan dan kegeniusan bangsa asal agama itu. Namun kegeniusan dan kearifan bangsa sendiri, terutama terkait dengan Pancasila dan Trihita Karana, dan ajaran lainnya merupak produk dasar berpikir yang sangat bijaksana dari leluhur kita, diabaikan. Bangsa kita tumbuh menjadi bangsa "belog ajum" setelah mendapat pengaruh asing, tahu sedikit dari peradaban asign digunakan untuk meminggirkan peradaban bangsa sendiri, mengagungkan peradaban bangsa lain, seperti bangsa eropa, arab, India, Cina dan sebagainya. Peradaban bangsa Indonesia yang diakui dunia adi luhung, dan terbukti artefaktualnya masih tersisa sangat mengagumkan, namun terus juga secara "dungu kata rocky gerung".

b. Saran-saran

Disarankan pada orang tuan dan anak-anak, tuliskanlah sebuah tradisi bersama dengan anak dan orang tua, yang dapat dijadikan nilai oleh anak-anak kita, sehingga tidak apreori dan memberhalakan, sebelum tahu makna yang terkandung di balik tradisi (peradaban air dan hutan) yang datang dari zaman purba.

Hormati tradisi jangan hapuskan sebelum kita tahu makna yang terkandung di dalamnya, yang merupakan mustika masa lalu, terutama dalam menjadikan hidup ini lebih bermakna, dan tidak tercerabut dari akar budaya adi luhung milik kita sendiri.  Sebagai bangsa Belog Ajum, perlu waspada dalam pendidikan keluarga, agar memberikan nilai secara seimbang dalam pendidikan anak kita. Semoga berguna, terimakasih.       



   

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda