Orasi Ilmiah
ORASI ILMIAH
INDIGENOUS KNOWLEDGE HISTORY AND LIVING MUSEUM:
KAJIAN KRITIS SEJARAH KEBERAGAMAAN NARA BALI
DWIPA
KONTEMPORER
Oleh:
Prof.
Dr. Drs. I Made Pageh, M.Hum.
FHIS
UNDIKSHA
Rabu,
18 Januari 2023
Bidang
Ilmu Kajian Sejarah
Om Swasti Astu, Om Awignam astu Namosidham.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi
Wabarakaatuh
Namo buddhayo
Salam Kebajikan, Salom,
Salam Sejahtera bagi kita semua
Salam Harmoni
Yang terhormat
-
Rektor Universitas Pendidikan Ganesha
beserta jajarannya.
Yang saya
hormati:
-
Ketua Senat beserta seluruh
anggota Senat Universitas Pendidikan Ganesha
-
Para Dekan, Direktur Pascasarjana
dan Staf Pimpinan di masing-masing
Fakultas dan Pascasarjana di lingkungan Universitas Pendidikan Ganesha.
-
Panitia, Bapak, Ibu Undangan
yang saya hormati.
-
Para Sahabat, Andai
Tolan, dan Keluarga, Serta semua hadirin, undangan lain yang saya muliakan.
Puji
syukur saya panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga kita dapat berkumpul dalam acara pengenalan Jabatan Guru Besar saya pada hari Rabu tanggal 18 Januari 2023 ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya pula saya sampaikan atas kesediaan Bapak/Ibu, saudara, serta hadirin semuanya yang sudah memenuhi undangan kami hari ini. Selanjutnya
saya mohon diijinkan untuk menyampaikan orasi ilmiah pengenalan jabatan Guru Besar saya dengan judul ”Indigenous Knowledge History And Living Museum: Kajian Kritis Sejarah Keberagamaan Nara
Bali Dwipa Kontemporer”.
I. Pendahuluan
Indigenous
knowledge yang dimaksudkan adalah pengetahuan tradisi lokal Bali, dan Living
Museum adalah artefak sejarah zaman megalitik,
yang masih live-hidup secara ajeg difungsikan dalam sistem religi di
Bali.
Orasi
ini bertujuan untuk
menyampaikan
hasil meta analisis kritis, dari peninggalan peradaban zaman prasejarah, untuk
melihat representasinya dalam kehidupan keberagamaan di Bali kontemporer. Objek
utamanya Indigenous knowledge dan Living Museum yang ada di Desa Selulung, Trunyan, Tamblingan, Ponjok Batu
yang masih fungsional dalam keberagamaan Nara Balidwipa kontemporer.
Kajian
menggunakan metode sejarah dengan pendekatan kritis, yaitu teori poskolonial
“mimikri dan hibridasi/bekisarisasi” (H. K. Bhabha), dan konsep “genealogi
pengetahuan dan arkheologi budaya”, Michael Foucault secara eklektik. Sesuai
dengan pengukuhan Guru Besar saya dalam “Ilmu Kajian Sejarah”.
II. Temuan
Penting dalam Keberagamaan Bali
Kontemporer:
A.
WIT HYANG WIDHI (Brahman-Atman Aekyam)
Hang Widhi
diwujudkan “keberadaannya” dengan tindakan ngaben, memfungsikan Atman
dan Sang Catur Sanak, menjadi Bhatara dan Hyang-Widhi.
1. Ngaben tindakan
mengubah manusia menjadi Hyang. Ngaben wit-nya dari Bekal Kubur (Funeral
Gift) dalam sejarah. Jadi ngaben (Ngaba+in) adalah mengubah status manusia menjadi Hyang. Jadi dibekisarisasi di Bali
menjadi Hyang Widhi. Nama lain ngaben, ngewisnuin, mepasah,
bea tanem, dll. Ngaben membakar, baru ditradisikan setelah tahun 1001
(Jejak Samuan tiga).
2. Lingga-Yoni (Living
Museumi di Pura tua): Simbol Penciptaan, agar memahami posisi taksu/hidup/tenget
Bali itu ada di: (1) Daerah Liminitas (ruang antara/ambang); dan (2) di Sadpata
(Astral) disebut Catus Pata; (3) dan di Margatiga.
3. Atman
ditunggalkan dengan Wedha/Widhi (Vid/Ilmu Pengetahuan) menjadi Hyang Widhi
distanakan di Gedong Sineb. Jadi Gedong Sineb wit-nya Sarkopagus.
4. Sedangkan
Sang catur Sanak distanakan Nyatur, saya sebut Konsep Nyaga Satru: senyatanya
di bali diposisikan: (1.) Prajapati (Ulun Setra/ Pura Mrajapati); (2.)
Anggapati (Jro Gede Penunggun Karang); (3.) Banaspati (Panglurah Agung di
Maraja); (4.) Banaspatiraja (Ngider
bhuwana (di Sadpata, Penjaga Pintu Masuk, dan di daerah tenget
lainnya). Di Bali menjadi Nabenya LIAK; Nabenya Dukun; menjadi Dewa Nyatur
setelah pengaruh Hindu,.
B. Wit dari Keberamaan di Bali:
Living Museum |
Hasil Analisis Wit dari Keberadaan |
Keberagamaan Bali Kontemporer |
||
Pura Candi di Desa Selulung |
Punden berundak wit Meru, Wadah, Dansil, di Bali Jani. Ada Lima Pura Candi hingga sekarang di Desa
Selulung |
Meru Tumpang Ganjil |
||
Sarkopagus Ponjok Batu |
Sarkopagus Wit Gedong Sineb Didedikasikan pada Ratu
Ayu Mas Syahbandar. |
Pelinggih Kang Cengwie |
||
|
Patung Perwujudan Jayapangus dan Istrinya,
arca di Desa Selulung; Wit Barong Landung di Bali. Konsep Kultus Dewa
Raja. Dan patung Megalitik di Dalem Tamblingan, Wit
Daksina Linggih. |
|
||
|
Patung nenek moyang wit Dewa-Dewi,
Pratima, Simbolik lebih menukik Living Museum Lingga-Yoni,
Celakkontong-Lugeng Luwih, Dalem Tamblingan. |
|
||
|
Tahta Batu menjadi Padma
Capah, Surya, dan Padmasana. Padma Capah dan Surya dasar
filosopisnya Tapak Dara (+) sedangkan Padmasana (Nawa Sanga/Padma Bhudaisme).
Padma Capah (Tirta Empul; Padma Trilingga (Beratan); Surya (Matahari),
Padmasana (Sanghyang Licin). |
|
Hasil Penelitian dan Literasi
Digital (Desember 2022)
C. Ilmu Sejarah Kritisnya
Agama Asli Bangsa Melayu
Austronesia (Bali termasuk) percaya pada kekuatan gaib yang dimiliki oleh roh
leluhur/ ketua suku, raja, rsi, menjadi pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Hyang+Wedha/Widhi); Sang Catur Sanak menjadi Bhatara (Pelindung) Desa
(Mrajapati), pelindung pekarangan Tugu Karang; Pelindung Mrajan (Anggapati);
dan Pelindung dimana-mana (banaspatiraja). Dengan bukti Living museum sudah
memiliki jejak keberadaan zaman prasejarah yaitu zaman megalitikum (sekitar
2500-1500 SM). Di Bali kepercayaan ini disebut kepercayaan Bali Mula/Mula Bali
atau Bali Asli/asli Bali, disebut Nara Balidwipa (manusia pulau Bali).
Babakan sejarah gelombang
ideologi agen perubahan datang ke Bali: (1) Rsi Markandya, datang awal ke-8,
disebut zaman Bali Aga; (2) datang Mpu Kuturan akhir abad ke-10 dengan konsep
Trimurtinya di Bali disebut zaman Bali Kuno; (3) Pengaruh Dang Hyang Nirartha,
pada abad ke-16 pengaruh Majapahit; 4. Pengaru sampradaya berideologi
memisahkan pemujaan roh leluhur dengan pemujaan dewa-dewa hinduisme, sehingga
muncul berbagai riak budaya dalam keberagamaan Bali kontemporer. Dengan indigenous knowledge
(pengetahuan lokal/tradisi/adat Bali), agama bangsa melayu Austronesia (Bali
Mula) ini menjadi dasar keberagamaan Nara Balidwipa, dibekisarisasi/hybridization, dengan pengaruh pengetahuan India
(wedha/widhi sama dengan pengetahuan India) local genius menjadi wujud agama
baru, bukan Bali dan bukan India, menjadi wujud baru (bengkiwa, bekisar,
hybrida).
Membuktikan
“taksu/tenget/kesujatian” (dengan ngelakoni/ngelmu) dicari di (1) daerah liminitas/harmoni
pada ruang antara. Sandikala, antara segara-gunung, di Sadpata/Astral; margatiga, dll. Dengan
ajaran “Bhuwana Agung lan Bhuwana Alit Nyawiji Mring Sariran Ingsun”, ajaran
kalepasan. Pohon dan matahari adalah Ibu dan Bapaknya yang sujati, pohon
dipahami sebagai yogin terbaik di seluruh dunia, karena dari tapanya dapat
anugrah oksigen dan energi makanan, untuk makluk hidup (pahami visi undiksha,
trihita Karana).
Jadi hakikat agama di Bali
bukan hanya Dresta Bali/tradisi lokal dan bukan pula hanya tradisi Wedha/agama
asing, tetapi hibridisasi (bekisarisasi) dari keduanya menjadi Agama Hinduisme
di Bali kontemporer. Kecerdasan dan kebajikan Bali menjadikan Bali tetap eksis
berkarakter Bali dan bertumbuh menjadi sempurna dalam perubahan zaman dari
zaman megalitik sampai Bali globalisasi.
Sistem religi yang berpengaruh belakangan, bukan hanya hinduisme, tetapi
juga sistem religi Arab, melayu, sunda, cina, Kristen dan barat dapat
dibekisarisasi.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa
jati diri keberagamaan Nara Balidwipa adalah “Pemujaan Roh Leluhur, Sang
Catur Sanak Nara Balidwipa, dan supernatural (bumi dan matahari)”,
jejak peradaban zaman megalitikum dan sistem religi lain dari penjuru dunia
dapat hidup dan beradaptasi damai di tanah Bali, dengan catatan dapat menghormati
sistem religi lokal, yaitu pemujaan Roh Leluhur, Sang Catur Sanak, dan
supernatural (Matahari dan peradaban air).
Masa peradaban air di Bali, Matahari/Raditya/Surya
disejajarkan dengan Brahman sebagai sumber dewa/sinar menjadi sumber hidup
(oksigen) dan sumber energi (pangan), dan pohon sebagai yogin terbaik di dunia
sangat dihormati untuk keberlangsungan hidup manusia, sebagaimana dijadikan
basis visi Undiksha, menuju Undiksha Unggul di Asia Tenggara tahun 2045
berbasis Trihita Karana. Sistem religi Bali menjadi agama bekisar (hybrid)
Bali-India. Kemampuan untuk menghybrid ini disebu kecerdasan berdasarkan indegineous
knowledge Nara Balidwipa, sehingga lahir “agama Hindu di Bali tidak
bisa dipisahkan dengan hinduisme dari India, hidupa secara harmonis dan
berkelanjutan. (Salam Harmoni).
D. Penutup
D-1 Simpulan
Living Museum dapat bukti kemapanan indigenous knowledge Nara
Balidwipa memang hebat, genius, tangguh dan berkarakter. Juga dibuktikan
oleh kontinuitas peradabannya dapat bertahan eksis menembus abad ke-21, era komputasi
awan.
Hyang Widhi adalah hibridasi/bekisarisasi dari hyang
dengan ilmu pengetahuan tradisi India (Wedha), menjadi sama-sama eksis dalam
keberagamaan orang Bali sampai saat ini.
Keberagamaan Bali kontemporer dapat
dipahami, bahwa banyak makna sejarah
yang tersembunyi dalam keberamaan disebut tradisi lokal yang “dimusuhi” oleh tradisi
asing (indianisasi, westernisasi, arabisasi, cinanisasi, dll), namun sampai
sekarang tetap selamat.
D-2 Rekomendasi
1. Bahwa tidak ada alasan untuk
mengabaikan indigenous knowledge lokal Bali yang unggul local genius
dan local wisdomnya dalam menjaga kelangsungan hidup manusia secara
universal,
2. Bahwa pandangan bhuwana agung
lan bhuwana alit nyawiji mring sarirannya, mengadung makna universal
we are one in the world, tatwam asi dalam konsep Bali. Bermakna keesaan
manusia dengan alam jagat raya, dan sesame manusia secara universal.
3. Bahwa visi Undiksha diwujudkan
terkait dengan, peradaban air dan pohon-pohon besar (oksigen dan sumber makanan)
THK (M-A), Matahari pemberi berkah alam, pohon dan manusia (M-T), manusia
dengan kecerasan lokal dan kebajikan lokal melakukan hidbidasi dengan kemajuan
asing, sehingga bertumbuh menjadi warga dunia yang universal (M-M). bertumbuh secara harmonis.
4. Bahwa agar Bali tetap Bali dan
tidak tertutup dari kebajikan dan pengetahuan luar, hanya saja konsep
hibridasi/bekisarisasi diterapkan dalam adaptasi peradaban ke depan agar Bali
tetap memiliki karakter Bali dan tidak rentan dalam pemertahanan budaya dan
peradabannya. (Salam Harmoni).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda