Kamis, 19 Januari 2023

 JANGAN KITA BERUBAH AGAMA: “FROM MONOTYEISM TO MONEYTHEISM”

MENGADAIKAN LELUHUR KLAN LAIN TIDAK BERDAMPAK

MEMANUSIAKAN WALAU REJEKI MELIMPAH

 

Editorial dan Kritik Terhadap “Hasil Inventarisasi Pura-pura/Tempat-tempat Bersejarah dalam Rangka Rerouting Pariwisata Daerah Bali” Proyek Penggalian /Pembinaan Seni Budaya Klasik/Tradisional dan Baru, Tahun 1981/1982.

 

PURA ULUN DANU BERATAN

Catatan Kritis yang Penting dari hasil Laporan Penda Bali 1982.

1.     Buku lampiran ini mulai nomor 51, sehingga ada 50 halaman sebelumnya yang tidak dapat di (saya) baca, sehingga dapat dipahami secara utuh, terutama latar belakang penulisan buku ini, sehingga perlu dicari dokumen laporan lengkap buku ini, (lihat halaman lampiran buku ini, mulai dari halaman 51!).

2.     Penyebutan Teratai Bang dan Gunung Tapak. Secara kepercayaan dan latar belakang sejarah “Teratai bang adalah sama dengan Padma Abang, dalam Mantra Pebersihan dan pemahaman Teratai dalam Bahasa Bali sama dengan Tunjung Abang (Teratai Abang dalam panca tirta adalah adyusan Betara/Dewa Brahman. Terkait dengan pemujaan Api, Agni, Brahma, Raditya. Dengan demikian Pura ini adalah Hulu ke Barat, kalau dilihat posisinya dari Hulun Danau Berata. Bali sebelum menganut Trimurti (1001/ rawuhnya Mpu Kuturan), Hulunya Tunggal sebagaimana dalam kontek Peradaban (Lingga-Yoni) Bapa-Akasa Ibu Pertiwi. Ini keberlanjutan dari pemujaan roh leluhur, sebagai Bapak yang ada di Alam Embang (Duuring Akasa), di atas langit. Jadi Pura beratan adalah (1) Bagian  pura yang ada pada zaman Bali Kuno, seteara dengan Pura Gunung Agung Raung di Taro, meulu ke barat. Hulunya Teratai Bang, dibuktikan pula bahwa Pura Dalem Purwa (Bukan Dalem Setra) tetapi Dalem Setara Dalem Tamblingan, dalam konteks Kaula-Gusti (Kultus Roh Leluhur) yang dihibridkan/bekisarisasi dengan konsep Brahman-Atman Aekyam (leluhur denggan Brahman).  (2) Komplek telengin segara meru tumpeng 11 dan Padma Sama (Bukan Padma Tiga) adalah sistem religi tambahan baru untuk pura subak yang dimotori oleh kekuasaan raja mengwi pada zaman kejayaannya, bersamaan dengan pembuatan Pura Taman Ayun abad ke-17/18-an.

3.     Untuk jelasnya secara kronologis, Kalau dilihat sejarah sistem religi di Bali:  (I.) agama asli Bali (Mula Bali), sejak sekitar -1500 SM sampai tahun 1-8 Masehi adalah dalam konteks pemujaan Roh Leluhur dan Catur Sanaknya, dikenal dengan Peradaban Air sebagai sumber kehidupan utama dalam pertanian (Subak). (II.) Hinduisme Berpadunya (Bekisarisasi) Bali dengan India dari Jatim, sistem religi wong Aga dari Gunung Agung raung, sehingga mulai dikenal istilah Wong Bali-Aga (Bali+Wong Aga dari jatim). Di sini kenal dengan kedatangan Rsi Markandeya, dengan sistem religi (Perpaduan memuja Roh Leluhur (Atman) dan ditambah Memuja Dewa (Div=Sinar) dari Surya sehingga muncul Sekatarian di Bali. Bentuk Pelinggih Nempat-Nyatur (diwarnai dengan pilosopi Tapak Dara (Lihat Peleban Pura Ulun Danu Beratan). Ngeruwa Bhibeda dan ngempat Natur, bagian Barat untuk Atman (Pande?) dan Timurnya Untuk Dewa Brahma/Bang (Pelanggih Tratai bang Meru Tumpang 7 stana Bhatara Tratai bang, Bali Pelik Pande, sebagai petunjuk Sekta Pande dan Bhuda yang dalam babad Pande, punya leluhur Pande dan Bhuda.  (III.)  Dengan Banyaknya sekta di Bali sebelum Kuturan, zaman Rsi markandeya dengan pusat pesramannya di Gunung Agung Raung, maka Raja Udayana dan Permaisurinya Mahendradatta/Gunapriya Dharma Patni) mendatangkan Mpu Kuturan ke Bali, seorang Bhuda Mahayana, melakukan penggabungan seluruh sekta, menjadi Sekta Trimurti (Tripurusa), dengan memunculkan konsep Sakti yaitu Dewi Durga, Dewi Uma, dan Dewi Saraswati. Ini asih zaman Bali-aga dan Bali Kuno. Padma Kurung (saya sebut Padma Trilingga, untuk membedakan dengan Padma Tiga). Dewi Danuh (Wakil Ibu dan Juga Wisnu)-Putran Jaya (besakih/ wakil lahir dari Sakti  Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi)- sedangkan Lempuyang luhur (Simbol Bapa Akasa, Surya, Brahma). Putranjaya adalah Putih Ciwa dan representasi dari bertemunya Dewi Danu (Beratan?) dengan Lempuyang Luhur/Nyegara-gunung/ Ibu-Bapak). Kemudian berkelindan/ saling pengaruhi sistem religi zaman Bali Aga, Bali Kuno (Trimurti).  (IV.)   Berarti Pedarman Clan Pande, Dalem Purwa, dan lokasi pemujaan leluhur zaman megalitik di Pura Pande disebut Prapen dan atau Mrajapati. Memuja Leluhur secara sekala dan niskala (melayon utuh) seperti di Pura Ponjok Batu) sudah ada zaman peradaban Air era Megalitik. (V.)  Dan perlu dipahhami bahwa,  baru kemudian zaman Dalem Abad 15-16, dan Kemudian baru Muncul Perean/ Alas Kunyit (Arya Sentong/pecahan Pucak Asah), Marga dan Carang Sari (lihat babad Arya Sentong: trah Sentong Pecahan Perean, Mengwi, Badung (Setelah abad ke-17). Hal ini juga terkait dengan kehadiran mengwi yang menaruh Hulu di Pura Pucak Mangu, berdekatan dengan Kerajaan menguwi dan Badung, sehingga ada dua hulu di Pucak mangu (Mohon dipahami abadnya, zamannya, dan munculnya Menguwi yang menjadi pusat kekuasaan baru).Pahami dengan keberadaan Pura Sada yang ada dalam konteks pemujaan leluhur raja dengan para patihnya (lihat pura candi di Pura Sada).  Jadi Puri Mengwi baru kemudian dengan menempatkan Meru Tumpang 11 di antara pura Penataran dengan Meru Lingga Bang (Teratai Merah), hulunya di Pucak Mangu. Sya tegaskan bukan berhulu ke Teratai Bang (brahma Dewa). Dapat dibuktikan dipahami bahwa Meru tumpeng 11, dan Padma Sana adalah era kemudian, setelah jaman zaman Gelgel dan Klungkung (abad ke16/17).  (VI.) Penyebutan Lingga Petak, kalau dilihat secara politik merupaka hegemoni sekta siwasidanta terhadap sekta Brahma Dewa di Beratan, sebagai terah pemuja dewa Brahma (api/agni). Kalau penulisnya mengerti kebalian yang dipahami dalam berhibrid dengan India (konteks Local Genius leluhur Bali. (lihat dan simak hal 55). (VII.) Bale Pelik adalah pemusatan seluruh Betara dan Dewa yang ada (terkait dengan itu maka dapat dipahami dalam konteks Atman dan Brahma/api/agni (Brahmannya). Pande Swarnangkara Beratan adalah pande Ngegaluh (membuat perhiasan Emas dan Perak), berbeda dengan Pande Bang di Tamblingan disebut Pande Ngagandring, dalam rangka membuat Pusaka, senjata Perang, baju Mesi dan sebagainya, di samping kepentingan peralatan sehari-hari. 4.Pahami rarudnya  terjadi pada zaman Banwa yaitu konsep gebog (Ikatan/aliansi pakraman) dengan Balai Agung satu. Seperti: Gobelg-Gesing-Lunduk-Uma Jero (Pusatnya Dalem Tamblingan/ Prasasti Gobleg, Prasasti Endek, Prasasti Pan Niki); Pedawa, Cempaga,  Sidatapa, Tigawasa, dan Banyusri (Pusat Balai Agungnya zaman Gebong) 200x4 (800 desa Negak), (lihat isi Prasasti banyusri). Juga Bulian, Depaha, Bayad, Tajun (Prasasi Bulian); Julah, Pacung, bangkah, Purwasidi (Ponjok Batu), Desa Purwasidi berasal-usul di Ponjok Batu, beserta Islam batu Gambir di dekat sembirang di pegunungan Buleleng. Bagaimana dengan Gebog Satak atau Domas di Beratan? Mengapa desa-desa baru kemudian migrasi dari daerah Karangasem, bisa menjadi gebong Domas yang ada sejak zaman Prasastri Batunya, dan Prasasti Angsri. Pahami juga Pura Desa Bang -Ah yang juga meulu ke barat, walau sudah diisi dengan nilai baru; lihat pula Pucak Padang dawa yang meulu ke barat, sehingga taka da Padmasana (lahir zaman Danghyang Nirarta, abad ke-16-17 di Klungkung).

5.                 Masalah adanya dua Balai Agung dapat dipahai dalam konteks Rwa Bhineda 1. Untuk Batara-Betari Leluhur pande; 2. Untuk Dewa-dewi terkait dengan pengaruh India. Pahami juga dengan Balai Agung Pasti Kembar Balai Dawanya!! (belajar dari sejarah Pura di Bali) lihat Hasil Penelitian I Made Pageh (Google schooler, an. Made Pageh: Buku Revitalisasi Ideologi Desa Bali Aga Berbasis Kearifan Lokal, terbit 2018).

 Kesimpulan Sementara dan Rekomendasi:

A.    Simpulan Pokok

Ada dua komplek Pura di Beratan (Pura Ulun Danu Beratan):

1.     Pura beroriantasi ke barat, dengan hulunya Pura Teratai Bang, bahwa teratai bang umumnya dikaitkan dengan Brahmanisme (Pemujaan Brahma, Agni, dan hyang Api), terutama digolongkan pada clan ini: 1. Penganut Ajaran Sidi Mantra (brahmanisme zaman Bali Kuno); 2. Pande/memuja brahma (Agni) dalam kerja lebur emas, perak, besi, dan penempaan logam dengan utamanya bantuan agni seperti Pande mas (Swarnangkara/ngagaluh) seperti di Beratan; Pande Besi (Ngagandring) seperti di Tamblingan, Pande Gong tergolong pande Swarnangkara (olah perunggu, kuningan, emas, dan kerrawang/lihat bahan yang diolah). Juga adanya Bhuda penanda klen Pande yang pernah tinggal di Kayu Manis madura). Sudah ada sejak zaman megalitik (bukti Padma Kurung/Trilingga) dan Utamanya Komplek Pura Pande disebut Prajapati. Buktinya juga Pura Dalem Purwa meulu ke barat (ke tratai Bang dan atau Gunung Agung Raung di jatim). Ini Ngodalin Dewa dan Bhatara terkait dengan besi pada Saniscara Kliwon Wuku Landep/ Tumpek landep (Ngotonin Lelandep/ngodalin senjata, ajaran, dan pemuliaan leluhur termasuk di dalamnya). Sehingga Beratan dapat diasumsikan sebagai sebagai kawitan sekaligus Pedarman (Brahmanisme/pedharman pahami dharma kepandean).

2.     Komplek Pura Tengahinh Segara meru tumpeng 11 (dibuat belakangan zaman kerajaan Menguwi, memiliki ulu Gunung mangu (pahami Mangu Pura sebaga ibu kota menguwi), bukan dimaksudkan beratan tetapi Pucak Mangu/Bukit Pengelengan, sebagai hulunya dan terkait dengan Subak zaman kerajaan Mengwi. Terkait dengan peradaban air, subak, hutan, dan berhubungan dengan sawah yang hulunya dikuasai raja, sebagai sumber pengasilan utama dan munculnya peradaban ke balian di dalamnya. Jadi tidak berhubungan langsung dengan Palinggih Beratan dan Tratai Bang, segara-pusat-gunung (lingga Wisnu)-Pemujaan Hyang Widhi (leluhur hidrid dengan Wedha/Widhi/Ilmu Pengetahuan India)-Tratai Bang). Dengan demikian ‘Dalemnya menghadap ke Barat).

3.     Perlu diluruskan mana termasuk Gebog Satak dan Gebog Domas, lihatt sejarah keberadaan Desa Baru terutama yang disebut gebog Satak zaman Bali Kuno. Beberati Desa yang lahir kemudian setelah abad ke-18/19/20 bukan termasuk gebog domas dan satak seperti yang ada dalam sejarah dengan sumber prasasti dan lihat Karya Sarjana Australia (Thomas A. Reuter,yang berjudul: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali (2005); dan Rumah Leluhur kami: Kelebihduluan dan Dualisme dalam Masyarakat Bali Dataran Tinggi (2018).

4.       Orientasi penulisan Sejarah dalam proyek 1981/1982 perlu direvisi sesuai dengan konsep Pura di Bali, sedangkan demi pariwisata budaya (karena Pariwisata adalah anak dari kapitalisme), perlu diwaspadai terkadang membutakan manusia, sehingga mempermainkan sejarah, kekuasaan, legitimasi, dan pemujaan leluhur pande, demi uang yang telah mengubah kita dari monotheism eke moneytheisme. Bukti pernyataan ini, bahwa dengan banyaknya pengunjung/banyaknya uang, maka ada ambisi menghapuskan pura leluhur/klen pande swarnangkara beratan. Raja menguwi  abad 17 (Jaman jayanya Menguwi), tidak sama dengan raja hari ini, karena legitimasi kerajaan zamannya melibatkan Pande dalam Pembangunan Meru tumpeng 17, demikian juga Pande yang  tinggal di Marga hari ini tidak dapat mewakili warga pande yang rarud ke berbagai daerah saat terjadi konflik Kayu Selem Batur dengan Pande Beratan pada zaman Banwa (batur sebagai ketua Banwa),  kerajaan Mengwi boleh bubar, tetapi agama Hindu memuja leluhur dan widhi tetap berlanjut sampai abad negerasi Z yang akan datang. Setelah uug Beratan, pand dimanapun berada tetap mencari dan memuja leluhurnya yang hybrid dengan brahmanisme, terkait dengan pemahaman Ida Sang Hyang Widhi Wasa (da/beliau, Sang/terhormat, hiyang (atman sudah newata), widhi/wedha/ilmu pengetahuan; wasa/kuasa/penentu nasib. Disingkat ISWD yang merupakan hybrid dari dasar sumber india yaitu brahman-atman aekyam. (Pageh, 2018).

 

B.    Rekomendasi:

 

1.     Kembalikan pemujaan klan Bhuda dan Agni termasuk Pande di dalamnya terhadap pemujaan leluhurnya, agar tidak terjadi “penyiksaan sejarah/kebenaran sejarah” gara-gara moneytheism (pariwisata-uang-kapital)/hedonism.

2.     Masalah dapatt dinegosiasikan terkait dengan penghasilan yang ada di pura itu, dengan catatan jangan mengubah kebergamaan kita bersama, karena salah sejarahnya (ahistoris), dipenggal sesuai dengan kepentingannya saja, sengaja melupakan, karena dibutakan oleh “agama baru/moneytheisme” yang berpotensi merusak generasi masa depan.

3.     Pemerintah dan jarahnitra Bali dan Balai Arkeologi Bali perlu meluruhkan “Living Museum: yang ada di sekitar danau Beratan, agar masa depan peradaban nara balidwipa dapat bertumbuh beradaptasi dengan perkembangan zaman yang sudah ada sejak zaman prasejrah.  

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda