Senin, 30 Januari 2023

Dompu Awang dalam Babad Buleleng

 Dompu Awang Dalam Babad Buleleng

1. Pengantar

Pembahasan babad sebagai sumber sejarah memang memiliki kesulitan tersendiri dalam menjadikannya sebagai sumber penulisan sejarah. Sejarah dalam artian "membedah kenyataan historis, sebagai peristiwa yang benr-benar terjadi, dengan agennya manusia biasa, bukan dewa dan bukan pula tuhan, yang tidak dapat dijelaskan dan harus diterima sebagai "given granted". Paling tidak ada logika historis terkait dengan waktu, tempat-agen-struktur yang berlimang di dalamnya. menentukan konteks waktunya terutama sangat penting dalan ilmu sejarah, sebagai peristiwa manusia terkait dengan waktu dan tempat kejadiannya, sebagai cara kerja wartawan dalam menulis berita menggunakan konsep 5W+H.                      

Dengan demikian sangat menarik membahas tokoh yang disebutkan Dompu Awang dalam Babad Buleleng yang banyak dijadikan sumber dalam penulisan jejak sejarah  Buleleng.  Terutama terkait dengan kapal kandas di Pura Penimbangan yang mana diceritakan kapal milik dompu awang yang kandas dibantu oleh Ki Barak Panji, kemudian kapal dapat diselamatkan dan melanjutkan perjalanannya, sedangkan Ki Barak Panji mendapatkan hadiah isi kapal itu oleh Dompu Awang, terutama secara a historis dikait-kaitkan dengan mitos saktinya keris bernama Ki Baru Semang dalam peristiwa itu.  Pertanyaannya siapa dompu awang itu? Digunakan untuk apa kekayaan yang sekapal itu oleh Ki Barak panji?

2. Pembahasan

Ada catan sejarah dalam prasasti Gondosuli (OJO III) berangka tahun 769 Caka atau 847 Masehi menyebutkan adanya pejabat Dang Pubawa(ng) Glis. Lafal Jawa kemudian dalam sumber selanjutnya menyebutkannya dengan Dang  Pubawang kemudian menjadi Dompubawang, yang berarti "Nahoda Kapal Besar atau  Saudagar kaya" , atau pemimpin perjalanan dengan kapal di laut. Sedangkann kata Dang setara dengan kata Sang adalah kata Sandang berarti orang yang dihormati; sedangkan kata Pubawang berasal dari kata pu+bawan, pu sama dihormati, sedang bawan berarti jala, kendaraan. Uraian ini ditemukan Pad Prasasti Gondosuli yang ditemukan di Lereng Gunung Sumbing; berbahasa Melayu Kuno. Itu menyiratkan pada abad ke-8-10 telah terjadi hubungan dagang antara jawa dan Sumatra sekitar tahun 700 M (Prasasti Sojomerto). Dapat juga dihubungkan antara Mataram dengan Sriwijaya pada abad ke-9. Penegasan bahwa bawan  adalah perahu dapat dilihat dalam prasasti Kubu (827 Saka berbunyi 'mwang ikanang rama i kubu-kubu...an pinaka bawan ing wai" (kemudian rama di Kubu-kubu ..bagaikan perahu di Sungai). Lihat juga prasasti Talang I (825 Caka) "makamitana ikanang kamulan muang perahu umantassakna sang bawan pratidina" (alasanya di sana {ada} kamulan dan perahu yang mendarat dan dikendarai setiap hari). 

Jadi karena bawan sama dengan perahu, Pu +Bawan sama dengan nahoda kapal terhormat, dengan denikian dapat dikatakan bahwa Dompubawang bukan manusia, tetapi jabatan sebagai nahoda kapal laut besar. 

3. Konteks Babad Buleleng 

Babad Buleleng menyebutkan kapal kandas di Lokasi Pura Penimbangan adalah milik nahoda kapal besar/ dompubawang, siapa namanya.....)tidak disebutkan). Dalam penulisan sejarah buleleng sering disebutkan seolah-olah bernama Mpu Awang (Dompu (b) awang, sehingga menjadi seperti nama nahoda kapal tersebut. Sebagai pelurusan pengertian berdasarkan prasasti yang ada sebelumnya, dari kata  Dang Pubawa(ng) Glis, menjadi Dang  Pubawang  kemudian Dompuawang. Tetapi jika dianggap sebagai manusia, tentu jabatan itu ada orangnya  yang menjabata sebagai dompuawang, sehingga secara historis kenyataan itu tidak terlalu mengubah makna yang terkandung di dalamnya, dari jabatan menjadi seperti orang, hal ini setara denga kasus Kuturan dari jabatan menjadi seperti nama Mpu Kuturan (Nama pejabat itu melekat pada jabatannya), sama dengan sebutan nama seorng menjabat dekan, bernama Sukadi, serinf disebut Pak Dekan (Sehingga dekan menjadi seperti nama). 

4. Pendirian Kerajaan di Sukasada

Untuk apa kekayaan sekapal itu kemudian? dalam sejarah dikenal ada hukum tawan karang yaitu penduduk lokal berhak menyita dan menawan kapal yang kandas di perairannya, dengan menyelamatkan kapalnya, sebagai hadiahnya diberikan untuk mengambil barang dagangan atau isi kapal itu. Secara kronologia, setelah peristiwa itu Ki Barak Panji memindahkan pusat pemerintahannya dari Panji (lokasi awal kerajaannya) setelah mengalahkan kekuasaan Ngakan Gendis, dengan memindahkan Pura Desa Gendis ke Panji dan mengawini anaknya bernama Ayu Juruh. Kemungkinan Ngurah Panji sebutannya kemudian setelah di Sukasada memindahkan pusat pemerintahannya, mendekat dengan daerah kekuasaan Desa Bali Aga, untuk mendapat dukungan penuh dari asal-usul ibunya (Pasek Gobleg), dapat dipahami hubungan Sukasada dengan Gobleg menjadi sangat erat, terbukti banyak pasukannya berasal dari Panjak Dalem Tamblingan (Gobleg), baca Babad Gobed, yaitu sebuah babad nampaknya dibuat di Sukasada, bersamaan dengan Lontar Amerta Jati, banyak mengulas ajaran Bali Gobleg berbeda dengan apa yang dipahami oleh Ngurah Panji. Bahwa bersamaan dengan babad itu juga dibuat Babad Buleleng (Di Sukasada), sehingga menjelaskan peristiwa awal perjalanan Panji Sakti (Nama setelah mengalahkan Blambangan), sampai akhirnya menunjuk daerah kuasanya (sama dengan Vissi saat babad dibuat), menunjuk persetujuan raja Dalem Tamblingan bernama Panji Landung (sesungguhnya sterilisasi/presentasi gobleg pada saat itu). 

Bahwa tidak mungkin membuat Teruna Goak di Panji karena raja masih belum punya kekayaan seperti setelah mendapatkan limpahan kekayaan dari Dompuawang. Pasukan Taruna Goak memberikan paparan simbolik, sebagai pasukan air (Pasukan peradaban air/waisnawa), seperti dipahami tamblingan sebagai kuasa danau sebagai sumber air, yang memiliki pengaruh sampai ke daerah Jatiluwih dan Soka Tabanan, ikut Nyubak di Pura gubug Danau Tamblingan. Pura Dalem Tamblingan sebagai rumah raja (Puri) sedangkan Pura Gubung adalah Pura Subak Pusatnya, yang disungsung bersama oleh orang yang ikut menggunakan air danau Tamblingan. Tentu Meru yang ada di sana ada kaitannya dengan pemujaan Leluhur/Raja/Penguasa Dalem Tamblingan, walaupun kemudian "diisi dengan nilai baru/mojopahitisasi/hisnuisasi peradaban air" menjadi seperti yang dipahami sekarang. Jika logika hsitoris ini dapat dipahami, maka dapat ditambahkan pengalaman sejarah yang hilang untuk menyakinkan alasan yang saya buat untuk mengatakan Meru itu stana dari pengausa di sana, karena Meru berasal usul (witnya) dari  Punden Berudak zaman Megalitikum. Jika di Dalem Tamblingandi temukan Patung Nenek Moyang yang sangat tua (Patung Premitif) hanya mengutakan wujud saja, maka dapat dipahami sejarah sebelum meru menjadi inti semua palinggih du Bali (Cf. Punden Berundah Selulung di Pura Mihu/Miru (h/r)). Dari awal abad masehi sampai abad ke-10 (mulai Meru merebak) sejarah daerah sekitar Tamblingan kurang diungkap, sejarah hampir 1000 tahun terlupakan, karena punden berundak adalah peradaban bangsa asia tenggara (Melayu Austronesia. Hal ini perlu digali sebagai perpanjangan wawasan ke masa silam sehingga tidak menjadi bayi setelah masa tua (sakit Invantil/ orang tua yang kekanak-kanakan).

5. Dari Sukasada ke Ibu Leleng

Kejayaan Sukasada berakhir dengan meninggalnya Danuresta (Danur Astra) dalam pernag Balmabnagn ke-2, kematian anak kesayangannya ini, menjadikan I Gusti Ngurah Panji Sakti bersedih, dia sudah semakin tua, dan Menguwi menjadi makin besar dan anaknya (selain Danuresta) tidak ada yang dianggap dapat mengantikannya, karen anaknya itulah yang didik oleh orang Belanda seperti Moses yang dijadikan penasihat kerajaan (belanda menganggap pengkianat besar). Kematian anaknya itu, mengantarkan untuk membuat Kubu Baru di tenggara sebuah palinggih ibu Leleng (sendeh) karena tergerus air, yang sekarang menjadi inti paling timur dari Pura Balai Agung (Pura Kerajaan Buleleng) zaman Panji Sakti. Sejak itulah Buleleng dibangun menjadi Ibu  Kota Singaraja, bernama Buleleng. Dikonstruksi dari folklor masyarakat Menyali dan Bulian terkait dengan "Perang manusia di Tanah Pola Jagaraga. karena dihubungkan dengan Kemong yang diberikan pada Bulian, dan kemong itu sepertinya dimaknai seperti kemong adu ayam di Bali. Padahal itu adalah terkait dengan Stupa Kecil yang ada di ujung Desa Bulian, sebagai perwujudan keyakinan Bhuda awal di masa lalu, yang sering menimbulkan konflik antara Menayali dengan Bulian yang sama-sama sebagai ketua Banwa di masa lalu (zaman melayu austronesia, pra kerajaan di Bali). Sedangkan dalam cerita itu kedua desa itu punay kekuatan masing-masing: Menyali punya Ilmu Manik Sekecap, sedangkab Bulian punya Paica Juwuk Linglang, sama sama bisa menghidupkan orang mati. Dikaitkan dengan ilmu manik kekecap itu pula diceritakan kapal dompuawang dapat terangkat, di samping mitos keris "Ki Baru Semang" yang selalu dipasupati oleh I Kedosot dan Kedumpyung seorang warga Pande besi yang dikirim ke Singaraja untuk menjadi abdi dalem Panji Sakti (jejaknya dapat dise;urusi di banjar Jawa Bll, yaitu pada Orang Jumaan di banjar jawa leluhur dan ketrunan Ida Mpu Pande Nyoman Genpol, finisepuh PSHT (silat diajarkannya di Padang saat pengasingannya zaman Belanda, hingga sekarang hidup di Jawa Tengah). 

6. Simpulan 

Dompuawang bukan nama, tetapi jatan, panji sakti sebagai pendiri kerajaan buleleng memiliki genealogi dari Panji-Sukasada-Buleleng, membawa seorang Pengikut Pande Besi setia, dari awal sampai turunannya sangat setia, jejaknya sampai zaman kolonail belanda, menurunkan Nyoman Gempol: beranak perwira Jro Jempiring (Istri I Gusti Ketut Jelantik), Jro Ratna (ibund Mr.I Gusti Ketut Pudja), dan Jero banjar (Istri Ida Made Rai). semoga ada manfaatnya. 







0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda