Kamis, 19 Januari 2023

Orasi Ilmiah

 

ORASI ILMIAH

 

INDIGENOUS KNOWLEDGE HISTORY AND LIVING MUSEUM:

KAJIAN KRITIS SEJARAH KEBERAGAMAAN NARA BALI DWIPA

KONTEMPORER

 

Oleh:

 

Prof. Dr. Drs. I Made Pageh, M.Hum.

FHIS UNDIKSHA

Rabu, 18 Januari 2023

Bidang Ilmu Kajian Sejarah

 

Om Swasti Astu, Om Awignam astu Namosidham.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh  

Namo buddhayo

Salam Kebajikan, Salom,

Salam Sejahtera bagi kita semua

Salam Harmoni

 

Yang terhormat

-        Rektor Universitas Pendidikan Ganesha beserta jajarannya.

Yang saya hormati:

-        Ketua Senat beserta seluruh anggota Senat Universitas     Pendidikan Ganesha

-        Para Dekan, Direktur Pascasarjana dan Staf Pimpinan di         masing-masing Fakultas dan Pascasarjana di lingkungan Universitas Pendidikan Ganesha.

-        Panitia, Bapak, Ibu Undangan yang saya hormati.

-        Para Sahabat, Andai Tolan, dan Keluarga, Serta semua hadirin, undangan lain yang saya muliakan.

 

Puji syukur saya panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga kita dapat berkumpul dalam acara pengenalan Jabatan Guru Besar saya pada hari Rabu tanggal 18 Januari 2023 ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya pula saya sampaikan atas kesediaan Bapak/Ibu, saudara, serta hadirin semuanya yang sudah memenuhi undangan kami hari ini. Selanjutnya saya mohon diijinkan untuk  menyampaikan orasi ilmiah pengenalan jabatan Guru Besar saya dengan judul Indigenous Knowledge History And Living Museum: Kajian Kritis Sejarah Keberagamaan Nara Bali Dwipa Kontemporer.

 

I.      Pendahuluan

Indigenous knowledge yang dimaksudkan adalah pengetahuan tradisi lokal Bali, dan Living Museum  adalah artefak sejarah zaman megalitik, yang masih live-hidup secara ajeg difungsikan dalam sistem religi di Bali.

Orasi ini bertujuan untuk menyampaikan hasil meta analisis kritis, dari peninggalan peradaban zaman prasejarah, untuk melihat representasinya dalam kehidupan keberagamaan di Bali kontemporer. Objek utamanya Indigenous knowledge dan Living Museum yang ada di Desa  Selulung, Trunyan, Tamblingan, Ponjok Batu yang masih fungsional dalam keberagamaan Nara Balidwipa kontemporer.

Kajian menggunakan metode sejarah dengan pendekatan kritis, yaitu teori poskolonial “mimikri dan hibridasi/bekisarisasi” (H. K. Bhabha), dan konsep “genealogi pengetahuan dan arkheologi budaya”, Michael Foucault secara eklektik. Sesuai dengan pengukuhan Guru Besar saya dalam “Ilmu Kajian Sejarah”.

 

II.  Temuan Penting  dalam Keberagamaan Bali Kontemporer:

 

A.    WIT HYANG WIDHI (Brahman-Atman Aekyam)

Hang Widhi diwujudkan “keberadaannya” dengan tindakan ngaben, memfungsikan Atman dan Sang Catur Sanak, menjadi Bhatara dan Hyang-Widhi.

1.     Ngaben tindakan mengubah manusia menjadi Hyang. Ngaben wit-nya dari Bekal Kubur (Funeral Gift) dalam sejarah. Jadi ngaben (Ngaba+in)  adalah mengubah status manusia  menjadi Hyang. Jadi dibekisarisasi di Bali menjadi Hyang Widhi. Nama lain ngaben, ngewisnuin, mepasah, bea tanem, dll. Ngaben membakar, baru ditradisikan setelah tahun 1001 (Jejak Samuan tiga).  

2.     Lingga-Yoni (Living Museumi di Pura tua): Simbol Penciptaan, agar memahami posisi taksu/hidup/tenget Bali itu ada di: (1) Daerah Liminitas (ruang antara/ambang); dan (2) di Sadpata (Astral) disebut Catus Pata; (3) dan di Margatiga.

3.     Atman ditunggalkan dengan Wedha/Widhi (Vid/Ilmu Pengetahuan) menjadi Hyang Widhi distanakan di Gedong Sineb. Jadi Gedong Sineb wit-nya Sarkopagus.  

4.     Sedangkan Sang catur Sanak distanakan Nyatur, saya sebut Konsep Nyaga Satru: senyatanya di bali diposisikan: (1.) Prajapati (Ulun Setra/ Pura Mrajapati); (2.) Anggapati (Jro Gede Penunggun Karang); (3.) Banaspati (Panglurah Agung di Maraja);  (4.) Banaspatiraja (Ngider bhuwana (di Sadpata, Penjaga Pintu Masuk, dan di daerah tenget lainnya). Di Bali menjadi Nabenya LIAK; Nabenya Dukun; menjadi Dewa Nyatur setelah pengaruh Hindu,.

 

B.    Wit dari Keberamaan di Bali:

 Tabel 5.1: Living Museum dan Keberlanjutan dalam Keberagamaan di Bali Kontemporer

Living Museum

Hasil Analisis Wit dari Keberadaan

Keberagamaan Bali

Kontemporer

 

 

 

 

 

 

Pura Candi di Desa Selulung

 

Punden berundak wit  Meru, Wadah, Dansil, di Bali Jani.  

Ada Lima Pura Candi hingga sekarang di Desa Selulung

 

    Meru Tumpang Ganjil

Sarkopagus Ponjok Batu

 

Sarkopagus Wit  Gedong Sineb Didedikasikan pada Ratu Ayu Mas Syahbandar.

Pelinggih Kang Cengwie

 

 

Patung Perwujudan Jayapangus dan Istrinya, arca di Desa Selulung; Wit Barong Landung di Bali. Konsep Kultus Dewa Raja.

 

Dan patung Megalitik di Dalem Tamblingan, Wit Daksina Linggih.

 

 

 

Patung nenek moyang wit Dewa-Dewi, Pratima, Simbolik lebih menukik Living Museum Lingga-Yoni, Celakkontong-Lugeng Luwih, Dalem Tamblingan.

Tahta Batu menjadi Padma Capah,  Surya, dan Padmasana.

Padma Capah dan Surya dasar filosopisnya Tapak Dara (+) sedangkan Padmasana (Nawa Sanga/Padma Bhudaisme). Padma Capah (Tirta Empul; Padma Trilingga (Beratan); Surya (Matahari), Padmasana (Sanghyang Licin).

Hasil Penelitian dan Literasi Digital (Desember 2022)

 

C.    Ilmu Sejarah Kritisnya   

Agama Asli Bangsa Melayu Austronesia (Bali termasuk) percaya pada kekuatan gaib yang dimiliki oleh roh leluhur/ ketua suku, raja, rsi, menjadi pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Hyang+Wedha/Widhi); Sang Catur Sanak menjadi Bhatara (Pelindung) Desa (Mrajapati), pelindung pekarangan Tugu Karang; Pelindung Mrajan (Anggapati); dan Pelindung dimana-mana (banaspatiraja). Dengan bukti Living museum sudah memiliki jejak keberadaan zaman prasejarah yaitu zaman megalitikum (sekitar 2500-1500 SM). Di Bali kepercayaan ini disebut kepercayaan Bali Mula/Mula Bali atau Bali Asli/asli Bali, disebut Nara Balidwipa (manusia pulau Bali).

Babakan sejarah gelombang ideologi agen perubahan datang ke Bali: (1) Rsi Markandya, datang awal ke-8, disebut zaman Bali Aga; (2) datang Mpu Kuturan akhir abad ke-10 dengan konsep Trimurtinya di Bali disebut zaman Bali Kuno; (3) Pengaruh Dang Hyang Nirartha, pada abad ke-16 pengaruh Majapahit; 4. Pengaru sampradaya berideologi memisahkan pemujaan roh leluhur dengan pemujaan dewa-dewa hinduisme, sehingga muncul berbagai riak budaya dalam keberagamaan Bali kontemporer.  Dengan indigenous knowledge (pengetahuan lokal/tradisi/adat Bali), agama bangsa melayu Austronesia (Bali Mula) ini menjadi dasar keberagamaan Nara Balidwipa, dibekisarisasi/hybridization,  dengan pengaruh pengetahuan India (wedha/widhi sama dengan pengetahuan India) local genius menjadi wujud agama baru, bukan Bali dan bukan India, menjadi wujud baru (bengkiwa, bekisar, hybrida).

Membuktikan “taksu/tenget/kesujatian” (dengan ngelakoni/ngelmu) dicari di (1) daerah liminitas/harmoni pada ruang antara. Sandikala, antara segara-gunung,  di Sadpata/Astral; margatiga, dll. Dengan ajaran “Bhuwana Agung lan Bhuwana Alit Nyawiji Mring Sariran Ingsun”, ajaran kalepasan. Pohon dan matahari adalah Ibu dan Bapaknya yang sujati, pohon dipahami sebagai yogin terbaik di seluruh dunia, karena dari tapanya dapat anugrah oksigen dan energi makanan, untuk makluk hidup (pahami visi undiksha, trihita Karana).

Jadi hakikat agama di Bali bukan hanya Dresta Bali/tradisi lokal dan bukan pula hanya tradisi Wedha/agama asing, tetapi hibridisasi (bekisarisasi) dari keduanya menjadi Agama Hinduisme di Bali kontemporer. Kecerdasan dan kebajikan Bali menjadikan Bali tetap eksis berkarakter Bali dan bertumbuh menjadi sempurna dalam perubahan zaman dari zaman megalitik sampai Bali globalisasi.  Sistem religi yang berpengaruh belakangan, bukan hanya hinduisme, tetapi juga sistem religi Arab, melayu, sunda, cina, Kristen dan barat dapat dibekisarisasi.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa jati diri keberagamaan Nara Balidwipa adalah “Pemujaan Roh Leluhur, Sang Catur Sanak Nara Balidwipa, dan supernatural (bumi dan matahari), jejak peradaban zaman megalitikum dan sistem religi lain dari penjuru dunia dapat hidup dan beradaptasi damai di tanah Bali, dengan catatan dapat menghormati sistem religi lokal, yaitu pemujaan Roh Leluhur, Sang Catur Sanak, dan supernatural (Matahari dan peradaban air).

Masa peradaban air di Bali, Matahari/Raditya/Surya disejajarkan dengan Brahman sebagai sumber dewa/sinar menjadi sumber hidup (oksigen) dan sumber energi (pangan), dan pohon sebagai yogin terbaik di dunia sangat dihormati untuk keberlangsungan hidup manusia, sebagaimana dijadikan basis visi Undiksha, menuju Undiksha Unggul di Asia Tenggara tahun 2045 berbasis Trihita Karana. Sistem religi Bali menjadi agama bekisar (hybrid) Bali-India. Kemampuan untuk menghybrid ini disebu kecerdasan berdasarkan indegineous knowledge Nara Balidwipa, sehingga lahir “agama Hindu di Bali tidak bisa dipisahkan dengan hinduisme dari India, hidupa secara harmonis dan berkelanjutan. (Salam Harmoni).

 

D.    Penutup

D-1 Simpulan

Living Museum dapat bukti kemapanan indigenous knowledge Nara Balidwipa memang hebat, genius, tangguh dan berkarakter. Juga dibuktikan oleh kontinuitas peradabannya dapat bertahan eksis menembus abad ke-21, era komputasi awan.

Hyang Widhi adalah hibridasi/bekisarisasi dari hyang dengan ilmu pengetahuan tradisi India (Wedha), menjadi sama-sama eksis dalam keberagamaan orang Bali sampai saat ini.

Keberagamaan Bali kontemporer dapat dipahami, bahwa  banyak makna sejarah yang tersembunyi dalam keberamaan disebut tradisi lokal yang “dimusuhi” oleh tradisi asing (indianisasi, westernisasi, arabisasi, cinanisasi, dll), namun sampai sekarang tetap selamat.

 

 D-2 Rekomendasi

1. Bahwa tidak ada alasan untuk mengabaikan indigenous knowledge lokal Bali yang unggul local genius dan local wisdomnya dalam menjaga kelangsungan hidup manusia secara universal,

2. Bahwa pandangan bhuwana agung lan bhuwana alit nyawiji mring sarirannya, mengadung makna universal we are one in the world, tatwam asi dalam konsep Bali. Bermakna keesaan manusia dengan alam jagat raya, dan sesame manusia secara universal.

3. Bahwa visi Undiksha diwujudkan terkait dengan, peradaban air dan pohon-pohon besar (oksigen dan sumber makanan) THK (M-A), Matahari pemberi berkah alam, pohon dan manusia (M-T), manusia dengan kecerasan lokal dan kebajikan lokal melakukan hidbidasi dengan kemajuan asing, sehingga bertumbuh menjadi warga dunia yang universal (M-M).  bertumbuh secara harmonis.

4. Bahwa agar Bali tetap Bali dan tidak tertutup dari kebajikan dan pengetahuan luar, hanya saja konsep hibridasi/bekisarisasi diterapkan dalam adaptasi peradaban ke depan agar Bali tetap memiliki karakter Bali dan tidak rentan dalam pemertahanan budaya dan peradabannya. (Salam Harmoni).

 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda