Senin, 26 Juli 2021

 GENEALOGI TAULAN DAN  SANG HYANG  TA- YA 

PADA PURA-PURA DI BALI

1. Pengantar

     Bagaimana kita memaknai pura taulan di Bali? representasi apa sesungguhnya Taulan itu? Pertanyaan ini pantas dimunculkan oleh seseorang yang tangkil ke sebuah pura, dimana pura itu hanya terdiri dari beberapa batu/ taulan saja. Walaupun ada pelinggih model baru, tetapi tidak menghilangkan taksunya taulan itu, keculai ditanam di dasar pelinggih baru yang dianggap memiliki kesamaan fungsi oleh zamannya kemudian. 

    Pertanyaan itu menarik untuk dikaji secara historis dengan menggunakan model kajian simbol-simbol  yang terpancar dari benda arkeologi, yang tersisa dewasa ini. 

2. Metodologi (Sintak Kajian)     

    Pertama harus diketahui dan ditetapkan waktu/zaman munculnya benda purbakala itu. Kemudian kita kaitkan dengan sistem religi yang berkembang pada zamannya. Semuanya itu untuk dapat dipahami Jiwa zaman dan Ikatan budaya zamannya (zeitgeist en cultuurgebudenheid).  

   Kedua sistem religi yang berkembang di nusantara, sampai akhirnya masuk agama hindu ke nusantara, adalah "Sistem Religi Pemujaan Terhadap Roh Leluhur dan Sang Catur Sanaknya".

    Pengabenan (ngaba+in) sebagai bekal kubur (funeral gift) dapat dijadikan penanda zaman apa penguburan itu terjadi. Zaman Batu, Zaman Perunggu, Zaman yang lainnya dapat dilihat dari bekal kuburnya. Penguburan dan bekal kuburan wujud kasih sayang pamuncak manusia pada orang tuanya, sehingga akan membekali hidup di alam lain dengan hal-hal terbaik dan paling bernilai pada zamannya. 

3. Taulan Objek Pemujaan Awal

        Genealogi Taulan berbentuk onggokan batu dijadikan objek pemujaan. Asal kata Taulan bisa bermacam-macam karena dia hanya berupa Onggkotan Batu, sering juga disebut Palinggih Bebaturan, kalau dilihat dari maknanya "kemungkinan Ta (Tahta), Ulan (Bulan), jadi sama dengan Tahta Bulan, dalam masyarakat yang sangat menghormati benda alam (Bulan dan Matahari), maka Bulan Terang dan Bulan Mati sebagai perwujudannya. 

    Sehingga wajar desa Bali Aga di Bali memuja Bulan dan Matahari (Surya-Candra Bintang Tranggana). Sebagai dewa pujaan tertinggi, setelah masuknya Hindu ke Nusantara, maka dia menjadi dewa tertentu sebagai mana sektarian berkembang di nusantara. Semua sekta memiliki dewa tertinggi disebut dengan 'Maha Dewa' ketika Dewa Maha Dewa dalam Panca Dewata disimbulkan dengan Ta (Sang Hyang Ta Ya), maka Ta+Ulan menjadi sanghyang Ta Yanya adalah Bulan. (Sa+Ba+Ta+A+I) dengan I (Iswara/ hanya dia dapat berswara). 

    Ta+Ulan adalah pemujaan Sang Bulan, ritual dalam sistem religi dimulai dengan Paro Gelap/Kresna Paksa (Bulan Mati/Tilem), seperti: Mcaru, ruwat bhuni, dll. Dan pada ParoTerang/sukla Paksa /Purnama. Melihat dualitas sebagai Pemaknaan Taksu pada manusia, sebagai pemahaman terhadap keberadaannya karena bertemunya Lingga-Yoni (Simbol Ibu-Bapak/ Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi), paduan harmoni sehingga lahir keberadaan/eksistensi  manusia di dunia ini. 

    Keberadaan sebagai manusia yang dipahami sebagai objek riil dari purus ayah dan prana ibunya, menjadi pusat perhatiannya (tirta kehidupan/mani) pada awal kesadaran manusia akan keberadaannya. Benda-benda alam mengagumkannya, purusa-pradananya orang tua, dan saktinya benda-benda alam, seperti bambu petuk, batu mulia, batu mekocok, besi kuning, dll yang masih hidup sampai era ini dari zaman megalitikum, merupakan warisan peradaban manusia zaman megalithikum (prasejarah). 

    Revolusi mental manusia pertama muncul pada zaman perundagian, menetap dan zaman megalitikum, dengan pemujaan terhadap roh leluhur, sang catur sanak, dan kekuatan super natural tadi itu. 

    Kesadaran manusia terhadap orang mati memiliki roh adalah mengawali sistem religi, kemudian diikuti dengan persepsi hidup di alam lain, sehingga perlu bekal kubur dalam kembali kepada-Nya (objek pujaannya). Sehingga ngaben sesungguhnya hakikat terakhir dari pemujaan leluhur sebelum menjadi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

4. Ngaben dan Bekal Kubur 

        Persepsi Ngaben (ngabein/mekelin sang nyunia) sangat menentukan menentukan pemaknaan manusia terhadap kehidupan setelah mati. Di India setelah manusia mati "kembali pada-Nya: api ke api, air ke air, bayu ke bayu, apah ke apah, ether ke eter, manunggalnya bhuana alit dengan bhuwana agung. Dengan simbolik membakar (brahmanisme), nganyut (waisnawa), ke udara/gunung (Bapa akasa) pemujaan terhadap atman dianggap selesai. Sehingga Bhuwana Agung Surya (Matahari/Brahman) dipuja Dewanya (Div/Sinar) sesuai sekta yang ada, termasuk kekuatannya yang diefoskan/ dimitoskan, seperti Dewi Kali, Dewi Durga, Dewa Ganesha, Sang Anoman, Rama Sinta, Bhuda, dan sebagainya. Konsep barahman-atman aekyam tidak sampai jadi bagian pemujaan, hanya sebuah "upanisad" dalam memahami brahman dan atman. Jadi ngaben adalah bekal diberikan pada Sang Atman oleh anak-anak yang menghormatinya, sebagai bekal menghadap pada: Dewanya/sinar suci_Nya; Sungsungannya/ Pujaannya; Sesuhunannya/di kepala; Bhataranya/pelindungnya. 

    Jadi sebelum datangnya ajaran Kuturan ke Bali, Ngaben itu mengembalikan ke Dewa Sektanya (Mahadewanya), seperti air (Ngewisnuin/Ngiyehin); Mepasah/Indra Trunyan, Kala di Sembiran (waktu). Perlu diingatkan, jangan paksa orang Bali Aga untuk ngaben membakar, karena konsepnya berbeda dan persepsinya mengembalikan roh kembali pada-Nya berbeda. Jaman Mojopahit kuasa di Bali, Bali Aga dipinggirkan oleh kuasa, dan akademik hegemonik yang mewakili pemerintah untuk ikut menyiksa secara simbolik yang berbeda dengan yang kuasa (kebenaran dikonstruksi oleh kekuasaan/yang kuasa). 

5. Taulan Ong Phat Kelimo Pancer

        Umumnya taulan itu ada dua batu, lima batu, dan tahta batu, sebagai representari: Dualitas hakikat adnya manusia (Lingg-Yoni), Lima Batu satu di tengah-tengah (Saudara empat dan ke limo Pancer), sedangkan tahta batu untuk kekuatan langit turun memberikan perlindungan. Di atas tahta batu kalau ditemukan simbol patung (penunjuk sektanya). 

      Mrajapati (di setra), Anggapati (pekarangan rumah), Banaspati (di Merajan), Banaspatiraja (dimana-mana) satpam keliling dalam konsep sistem religi nyaga sastru (nyaga musuh manusia secara niskala dan niskala). Dasar kebhatinan Bali, sistem religi kebalian, dan sebagainya. Inilah yang dihegemoni menjadi PancaDewata dalam hinduisme di Bali (hibriditas sistem religi). 

6. Ritual di Bali

    Dalam konteks  brahman-Atman-Aekyam adalah menyatukan unsur pernah jadi manusia (Atman), dengan penguasa bhuana agung (Brahman) inilah ritual, upakara, termasuk ngaben dilakukan di Bali, sehingga dengan demikian mudah menjelaskan ledekan orang yang memiliki sistem religi lain. karena yang lain adalah bukan kita, maka alat ukurnya, dasar penilaiannya, serta simpulannya juga lain. Berpegang pada pikiran ini, kita dapat dengan mudah memberikan rasional dan kekuatan keyakinan kita sebagai orang Hindu di Bali.

    Pertanyaan mengapa Banten di Bali dilengkapi dengan jajan, daging, nasi, be guling, bukakak, buah-buahan, dll. Semuanya dapat dikembalikan pada pemahaman Ida Sang Hyang Widi Wasa itu. Brahman bukan lah sama dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (hibridasi Atman dengan Brahman). Dewa bukan lah Brahman, Awatara juga bukan Brahman, karena kekurang kritisan kita sering terjebak oleh dogmatis yang tidak kritis. 

    Menyebut orang lain menyembah berhala, animisme dan dinamisme, tak ketemu surga, adalah pernyataan sok tahu surga, hanya diikuti niat mendeskriditkan ajaran lain, atau mau menstigma negatif saja. Stigma negatif pada orang lain, hanya sebagai wujud kedunguan saja, karena otaknya sudah dipensiunkan, dipetieskan, atau sudah didogmatis dengan ajaran mengatasnamakan: Wahyu Tuhan, Weda, Sastra, dll. Padahal ajaran Hindu menajarkan secara gamblang bahwa Tuhan tidak berwujud, serba nir, dan tidak ada, acintya. Bagaimana dia bisa menulis?, bagaimana dia bisa ngonong? dan sebagainya. Orang dewa adalah sinar bagaimana dewa bisa bicara? dan sebagainya. 

    Ajaran terkadang diabaikan demi kepentingan "pengidiologian/ pewarisan pada pengikutnya karena takut ajarannya ditelan jaman. Inilah penyakit dalam sistem religi di Indonesia. Lupa bahwa barang impor dari Luar Negeri (agama Hindu dan Bhuda, mungkin yang lainnya pula), berusaha didominasikan dan dihegemonikan "seolah-olah lebih benar dan lebih baik, dan rela mencabut akar-akar sistem religi nusantara". Kerukunan antarumat beragama terganggu, apalagi menyebut diri Hinduisme Bali, pahal sekta India, Avatar (Awatara) disebut Brahman, emangnya semua orang dungu?

    Pertanyaan mengapa ada banyak aturan seperti tudingan penganut lain, bahwa upacaradi Bali sama dengan membuat kuburan di perut kita, karena memakan be ayam, babi, ikan, bahkan sapi dan kambing dalam ritual kita di Bali. 

    Jawaban untuk pertanyaan dan stigma negatif itu dapat dikembalikan pada esensi pemujaan roh leluhur. Itu bentuk upakara/aturan untuk atman (roh leluhur), penghormatan sejarah hidup leluhurnya "mungkin senang dengan daging ayam/babi guling, seperti saya. Sehingga wujud kasih sayang turunannya menyuguhkan nasi, daging, buah-buahan, jajan dan sebagainya, sebagaimana ketika dia masih hidup. 

    Apakah salah orang Bali menghormati roh leluhurnya, seperti pembuatan Sarchopaus di masa Prasejarah, dengan pembuatan Gedong Sineb di masa Sejarah Hindu ke Bali? Periksa Pura Purwasidi Ponjok Batu diBali Utara dan Pura Pabena Pulaki, ditemukan Sarchopagus. apa artinya ini, dan apabedanya kuburan (sachopagus) dengan Gedong Sineb? Saya rasa secara histroris serupa tetapi tidak sama. Sama untuk roh, tidak sama prosesi dan isinya. Kembali pada banten, dan wali sebagai simbolik ajaran bentunya sangat variatif (Desa-Kala-Patra). Namun secara umum untuk brahman dupam (api), air (Jalam), bunga, dan wewangian lainnya (rempah seperti cendana, gaharu, majagau). Sedangkan yang lain representasi ajaran dan untuk leluhur, sebagai konskuensi memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.  

    Jadi dalam Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ada Brahman, ada Atman, dan di dalamnya ada ajaran sesuai dengan agama/sekta yang dianut di Bali. Inilah memberikan latar belakang adanya upakara dan upacara dengan berbagai penghormatan berbasis desa-kala-patra (jelek asane). Salah atau benar saya kembalikan pada pembaca budiman. Kebajikannya "Jangan menilai bunga mawar, dengan ukuran bunga melati, sehingga menjadi salah menilai". 

7. Simpulan

        Taulan adalah objek pemujaan sejak zaman Batu (bebaturan), sebagai representasi pemujaan terhadap roh leluhur, kemudian berhibeidasi dengan dewa dari Agama Hindu. Sehingga sering disebut Dewa Bhatara/sinar pelindung. Brahman dengan Ida Sanghyang Widhi tidak sama, Brahman adalah asli weda dari India, sedangkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (keberadaannya dari (Hibridasi /bekisarisasi/penyerbukan silang) atman dengan brahman, sehingga dianggap esensi tertinggi dalam pemujaan Brahman dan Atman /roh leluhur. Konsep Nyaga Satru adalah fungsi darisang catur sanak dijadikan/dipresentasikan sebagai Bhatara/Pelindung yang hibrid menjadi Pancadewata (panca Bayu), dalam konsep Taksu di bali. 





        









0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda